
Eksploitasi di Surga Tropis – Aktivitas tambang nikel di Pulau Manoram, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, mengancam kelestarian ekosistem pulau kecil yang kaya keanekaragaman hayati. Foto : FWI.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Kebijakan pemerintah yang berencana memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi menuai kritik tajam dari berbagai kalangan akademisi dan pegiat lingkungan.
Dalam diskusi publik dan media briefing bertajuk “Forum Akademisi Timur Menolak Tambang Masuk Kampus”, yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Forum Akademisi Timur Melawan Tambang di Pulau Kecil beberapa waktu lalu.
Para akademisi menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi merusak integritas perguruan tinggi dan memperburuk krisis lingkungan, khususnya di wilayah pulau kecil seperti Pulau Manoram, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Perguruan Tinggi Kehilangan Netralitas?
Kebijakan ini dinilai sebagai upaya merendahkan posisi akademisi yang seharusnya berperan sebagai penjaga moral, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Dr. Sitti Marwah mengingatkan bahwa perguruan tinggi bukan tempat untuk kepentingan bisnis ekstraktif.
“Pemerintah menawarkan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi adalah tindakan yang merendahkan martabat akademik. Jika kampus mulai mengelola tambang, maka netralitas dan daya kritisnya akan semakin melemah,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh Dr. Andi Chairil Ichsan yang menegaskan bahwa netralitas akademik harus tetap menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya alam. “Jika kebijakan ini dibiarkan, maka kampus akan terjebak dalam konflik kepentingan antara dunia akademik dan industri ekstraktif. Ini adalah ancaman serius bagi perguruan tinggi,” imbuhnya.
Tambang di Pulau Kecil: Pelanggaran Regulasi?
Pulau Manoram di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi salah satu contoh nyata ancaman industri pertambangan di pulau kecil. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, aktivitas tambang di pulau kecil dilarang karena dampaknya yang sangat merusak ekosistem. Namun, kenyataannya, kegiatan eksploitasi tambang tetap berlangsung.
“Dagelan bagi-bagi izin tambang ke kampus dan ormas bukanlah solusi kemandirian ekonomi, justru membuka ruang kolusi baru dalam eksploitasi sumber daya alam yang destruktif,” tegas Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Haluoleo Kendari.
Ia mengingatkan bahwa alih-alih memperkuat kemandirian, kebijakan ini justru memperparah tata kelola sumber daya alam yang selama ini bermasalah.
Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa sebanyak 149 IUP tersebar di 242 pulau kecil di Indonesia. Tambang di kawasan hutan bahkan telah mencakup hampir 5 juta hektare, termasuk ekosistem esensial dan lahan gambut. Deforestasi akibat pertambangan di pulau-pulau kecil mencapai 271.642,78 hektare atau sekitar 3% dari rata-rata deforestasi nasional. Dengan pemberian IUP kepada perguruan tinggi, angka ini bisa semakin meningkat.
Peran Akademisi dalam Menjaga Keberlanjutan Lingkungan
Di tengah ancaman ini, akademisi dan civitas akademika harus tetap bersatu dan berpihak pada kepentingan lingkungan serta masyarakat.
Hafidah Nur, S.P., M.Si., mengingatkan bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan, bukan justru menjadi bagian dari perusakan.
“Seharusnya perguruan tinggi hadir untuk mencari solusi atas permasalahan lingkungan, bukan justru menjadi pihak yang diam atau bahkan mendukung kegiatan tambang yang merusak,” tegasnya.
Sebagai langkah strategis, Prof. Agus Kastanya menyarankan adanya pembahasan bersama yang melibatkan forum rektor agar mereka memahami konsekuensi dari pemberian IUP tambang kepada kampus. “Forum akademisi perlu mengkaji secara mendalam kebijakan ini agar tidak merugikan masyarakat dan lingkungan, terutama di wilayah Indonesia Timur yang memiliki banyak pulau kecil rentan,” ujarnya.
Pemberian IUP kepada perguruan tinggi bukan hanya mengancam netralitas akademik, tetapi juga memperparah eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Pemerintah harus mengevaluasi kebijakan ini dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial, bukan hanya kepentingan ekonomi semata. Sebab, tanpa langkah konkret untuk melindungi pulau-pulau kecil, kita hanya akan mewarisi kehancuran ekosistem kepada generasi mendatang (Marwan Aziz).