Ilustrasi huta
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 telah mengeluarkan kebijakan baru tentang penertiban kawasan hutan. Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam, terutama terkait dengan pendekatan militeristik yang diambil dalam penanganan kawasan hutan.
Pendekatan ini dinilai berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di kawasan hutan. Perpres tersebut membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan dengan struktur yang dipimpin oleh TNI dan Polri, yang menjadi sorotan. Hal ini mengindikasikan penggunaan kekuatan militer dalam proses penertiban, yang dikhawatirkan dapat merugikan masyarakat yang selama ini hidup di sekitar kawasan hutan dan menjadi korban dari konflik agraria atau klaim sepihak negara atas wilayah mereka.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menilai bahwa kebijakan ini lebih cenderung untuk menertibkan masyarakat kecil yang terdampak oleh penetapan kawasan hutan secara sepihak, ketimbang mengatasi akar masalah berupa tindakan ilegal oleh korporasi besar yang menguasai kawasan hutan. “Perpres ini seharusnya berfokus pada penindakan terhadap korporasi besar yang melakukan kerusakan lingkungan, bukan justru melibatkan militer untuk menertibkan rakyat kecil,” ujar Uli di Jakarta (24/01/2025).
Keterlibatan institusi pertahanan dalam Perpres ini, termasuk Menteri Pertahanan dan TNI, memicu perdebatan. Menurut Uli, hal ini bertentangan dengan tugas dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai aparat yang menangani masalah lingkungan dan kehutanan. Hal ini pun memunculkan pertanyaan terkait persetujuan DPR untuk melibatkan TNI dalam operasi ini, mengingat Operasi Militer Selain Perang (OMSP) membutuhkan persetujuan dari lembaga legislatif.
Selain itu, salah satu kekhawatiran yang muncul adalah bahwa Perpres ini dapat digunakan untuk menggusur pemukiman dan perladangan masyarakat di kawasan hutan dengan alasan untuk membuka lahan bagi pangan dan energi, yang saat ini menjadi fokus pemerintah. Bahkan, program ini telah diusulkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Penggusuran ini dinilai lebih mudah dilakukan daripada menindak korporasi besar yang telah menguasai kawasan hutan secara ilegal.
Selain pendekatan militeristik, Perpres ini juga menimbulkan ketidakpastian terkait penanganan kerusakan hutan akibat aktivitas korporasi. Kebijakan ini mengatur penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara, tetapi tidak memberikan solusi konkret untuk pemulihan ekosistem yang telah rusak. Hal ini tentu menjadi isu besar mengingat bahwa pemulihan kawasan hutan yang rusak adalah langkah yang sangat penting untuk keberlanjutan lingkungan.
Namun, pemerintah diminta untuk lebih memperhatikan keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam implementasi Perpres ini. Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menekankan pentingnya transparansi terkait informasi perusahaan-perusahaan yang beroperasi ilegal di kawasan hutan, agar penertiban dapat berjalan dengan adil dan tidak digunakan untuk melegitimasi pemindahan paksa masyarakat adat yang telah tinggal turun-temurun di kawasan tersebut.
Abdul Haris dari Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyarankan bahwa Perpres ini dapat digunakan untuk penanganan lahan kelapa sawit yang melibatkan ribuan perusahaan, dengan mengedepankan penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan lingkungan di sektor perkebunan dan kehutanan (Marwan Aziz).