GALESONG, BERITALINGKUNGAN.COM — Hujan deras disertai gelombang tinggi yang terjadi dalam tiga hari berturut-turut di Desa Kanaeng dan Desa Popo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan mengakibatkan terjadinya abrasi. Abrasi menyebabkan puluhan rumah di dua desa tersebut rusak.
Perwakilan Lembaga Mitra Lingkungan (LML) Saleh Yasin yang sempat meninjau lokasi terdampak, mengatakan bahwa ketinggian air sempat mencapai 2 meter hingga menggenangi jalanan dan rumah warga. Di beberapa lokasi, sejumlah rumah terancam ambruk dan berpotensi terseret arus akibat tingginya gelombang.
“Kedua desa itu terletak di Kecamatan Galesong Selatan dengan curah hujan yang cukup tinggi sejak Selasa (20/21),” ujar Saleh.
Akibat tingginya gelombang, warga yang rumahnya dekat dengan pantai terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka meninggalkan rumah karena takut, bencana yang lebih besar bisa terjadi sewaktu-waktu.
“Bahkan rumah ketua kelompok di Desa Popo sudah masuk air yang ada beberapa jarak dari bibir pantai,” katanya.
Begitu menyadari ancaman abrasi dan gelombang tinggi, sejumlah pemuda yang merupakan anggota kelompok dampingannya ASPPUK segera turun ke dua desa tersebut. Mereka datang membantu untuk meringankan penderitaan warga.
“Beberapa pengurus dampingan yang ada di Desa Kanaeng dan Desa Popo turut aktif membantu warga yang berada di pesisir pantai Galesong,” ungkap Saleh.
Sementara itu, di Desa Popo terdapat satu dusun yang mengalami dampak terparah. Namanya Dusun Panambu. Di tempat itu, akibat angin kencang, atap rumah warga banyak yang hilang. Sementara rumah yang berada di tepi pantai, beberapa tiang-tiangnya tersapu gelombang tinggi.
Data yang dihimpun oleh aparat desa di dua desa tersebut menunjukkan ada 15 rumah mengalami rusak berat di Desa Kanaeng. Sisanya rusak sedang sebanyak 26 rumah. Sementara di Desa Popo terdapat 43 rumah mengalami rusak sedang. Sisanya 3 rumah rusak berat.
Saat ini, menurut Saleh, masyarakat di kedua desa sangat membutuhkan bantuan dari semua pihak, termasuk pemerintah. Bantuan tersebut terkait dengan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Disamping itu, masyakarat juga membutuhkan bantuan makanan.
“Bantuan seperti seng dan balok memang diperlukan, tetapi makan minum harian sangat dibutuhkan,” jelasnya.
Saat ini, curah hujan yang tinggi membuat interaksi Saleh dengan masyarakat terdampak menjadi terganggu. Dia kesulitan untuk menghubungi warga untuk menanyakan update terkini terkait kebutuhan mereka.
“Cuacanya cukup ekstrem menurut penilaian saya. Cuaca buruk yang terjadi ketika masuk musim hujan seperti di bulan-bulan sekarang ini memang agak rawan,” kata Saleh.
Karena itu, kepala desa dari dua desa tersebut telah melayangkan surat ke pemerintah kabupaten. Harapannya, pemerintah segera melakukan aksi tanggap darurat untuk meringankan beban warga.
Sementara itu, sehari pasca dilantik, Penjabat Bupati Takalar, Setiawan Aswad langsung meninjau abrasi pantai yang terjadi di pesisir pantai Galesong khususnya di Desa Kanaeng dengan Desa Popo, pada Jum’at (23/12/2022).
Untuk mengurangi resiko abrasi, Setiawan Aswad meminta BPBD Takalar segera berkoordinasi dengan OPD terkait memberikan pengaman pantai.
“Setiawah Aswad langsung meninjau Desa Kanaeng dan Desa Popo untuk melihat dampak langsung akibat abrasi disertai hujan deras, mengakibatkan air sempat naik hingga pelataran jalan,” kata Saleh.
Desa Dampingan ASPPUK
Dua desa terdampak, yakni Desa Kanaeng dan Desa Popo merupakan lokasi dampingan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) untuk program Power of Voice Partnership (PVP) Fair for All (Fair4All). Program tersebut bertujuan meningkatkan dukungan kolaborasi bersama perusahaan, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkan rantai nilai/rantai pasok yang adil, inklusif, dan berkelanjutan di sektor perikanan dengan memastikan keterlibatan perempuan dan kaum muda menuju perdagangan yang adil dan berkelanjutan.
Selama periode Agustus 2021 hingga Maret 2022, ASPPUK bersama Lembaga Mitra Lingkungan (LML) telah melakukan pembentukan kelompok dan pendampingan terhadap kelompok yang ada di desa Kanaeng dan desa Popo, Kecamatan Galesong Selatan.
“Konsentrasi kita selama ini, memang di dua desa itu, mengingat program PVP Fair for All. Tetapi sebenarnya hampir semua pesisir pantai Galesong juga berdampak,” ujarnya.
Untuk mewujudkan program tersebut, ASPPUK dan LML menjalankan dua model pendekatan, yakni melalui kelompok perempuan dan kelompok pemuda. “Jumlah kelompok merupakan representasi dari jumlah KK,” ungkapnya.
Khusus di Desa Kaneng, anggota kelompok pemuda berjumlah 12 orang, dan jumlah anggota kelompok perempuan sebanyak 15 orang. Sementara di Desa Popo, anggota kelompok perempuan berjumah 15 orang dan anggota kelompok pemuda sebanyak 11 orang.
Dampak Perubahan Iklim
Saleh menjelaskan bahwa masyarakat Desa Popo dan Desa Kanaeng telah memiliki inisiatif untuk membangun tanggul pemecah ombak. Hanya saja, upaya tersebut dianggap tidak efektif, karena gampang rusak.
“Alasannya karena gelombang laut yang lebih tinggi, bahkan sempat merobohkan tanggul di Desa Kanaeng, sehingga menjadi tidak maksimal untuk mengatasi persoalan. Kurang efektif,” tegas Saleh.
Oleh sebab itu, Saleh berharap ada tindak lanjut yang lebih kongkret dari Pemerintah Kabupaten Takalar untuk memikirkan soal perbaikan lingkungan atau pembaruan titik-titik lokasi pemecah ombak.
“Dan dua desa tersebut sangat strategis jika upaya yang dilakukan tidak hanya terkait tanggul. Masih ada upaya lainnya” katanya.
Peristiwa abrasi dan gelombang tinggi, menurut Saleh, berkaitan erat dengan krisis iklim. “Itu yang kemudian menjadi dampak dari perubahan iklim itu sendiri,” katanya.
Secara umum, jika berbicara tentang perubahan iklim, berarti ada dua pendekatan, yakni akibat perilaku manusia dan faktor alam. “Saya kira dampak disitu muncul. Soal bagaimana akibat langsung atau tidak langsung terhadap bencana yang lebih khusus, yaitu gelombang tinggi, adalah soal melihat aktivitas manusia di sekitar pesisir,” terang Saleh.
Hal itu tentu berdampak buruk terhadap lingkungan dan ekosistem. Terbukti, ketika kedua desa, yakni Kanaeng dan Popo yang letaknya berhadapan langsung dengan selat Makassar, harus menanggung dampak yang sangat besar akibat perubahan iklim.
“Jadi langsung berhadapan dengan laut lepas. Sehingga tidak ada kegiatan yang lebih mendukung soal bagaimana mengantisipasi dampak gelombang dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut pengamatan Salah, peristiwa gelombang tinggi dan abrasi terus terjadi dalam 10 tahun terakhir. Bahkan dari tahun ke tahun, kondisinya semakin mengkhawatirkan.
“Menurut teman-teman pengurus, di dua tahun terakhir ini, dampaknya cukup parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Saleh menambahkan, “Ini merupakan dampak krisis iklim karena ketika berbicara tentang perubahan iklim juga berdampak dari aktivitas manusia yang ada disekitar pesisir. Misalnya bagaimana memanfaatkan sumberdaya laut dengan tidak ramah lingkungan juga turut andil memberi efek negatif.”
Hal itu menjadi poin penting, ketika bencana tak kunjung surut, bahkan terkesan lebih parah dari sebelumnya. Dengan begitu, rencana yang sifatnya jangka panjang harus dilakukan. Karena jika diabaikan, warga yang akan menanggung dampaknya.
Jika dibandingkan dengan peristiwa serupa dalam 20 tahun sebelumnya, frekuensi gelombang tinggi yang mengakibatkan abrasi, tidak separah saat ini. Ini membuktikan bahwa perubahan iklim telah terjadi.
“Curah hujan yang tinggi, gelombang tinggi disertai angin akan berdampak pada desa-desa di pesisir,” ungkap Saleh.
Ketika krisis iklim terjadi akibat ulah manusia, hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah intervensi pemerintah. Upaya itu, menurut Saleh harus dipertegas, karena selama ini terkesan adanya pembiaran.
Aksi mitigasi, seperti membangun tanggul tidak cukup. Upaya yang lebih ambisius, seperti melakukan penghijauan, justru lebih berdampak signifikan untuk mengurangi abrasi.
“Kita harus mendorong masyarakat melakukan penghijauan dengan menanam mangrove, untuk kedepannya. Ini harus menjadi poin penting bagi pemerintah,” ungkapnya.
Apa yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah sangat minim. Pemerintah hanya datang ketika bencana terjadi. Setelah itu, masyarakat dibiarkan sendiri.
“Dalam 5 tahun terakhir ini hanya datang, lalu memberikan bantuan, kemudian masalah utamanya terlupakan,” paparnya.
Mengingat tidak adanya tindakan yang benar-benar riil terkait aksi mitigasi dan adaptasi penanggulangan abrasi, tidak mengherankan jika peristiwa serupa kembali terulang. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, kampung nelayan yang berada di Pantai Galesong akan ikut lenyap.
“Tahun depan jika tidak diantisipasi akan terulang lagi dengan kondisi yang sama,” ujar Saleh.
Jika saja pemerintah peduli dan ikut bertanggungjawab, masyarakat akan turut berparitisipasi dalam upaya pencegahan. Pasalnya, mereka yang merasakan langsung dampak dari perubahan iklim. Mereka tak ingin rumahnya hilang disapu gelombang tinggi.
“Cara-cara yang dilakukan pemerintah selama ini sifatnya seperti emergency dan terkesan seperti pemadam kebakaran,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)