SHARM EL-SHEIKH, BERITALINGKUNGAN.COM – Para delegasi dari hampir 200 negara di Konferensi Iklim COP27 Mesir akhirnya menyetujui usulan negara-negara berkembang terkait pembentukan inisiatif pendanaan kerugian dan kerusakan (loss and damage) akibat krisis iklim. Pendanaan tersebut khusus diperuntukkan bagi negara-negara kecil dan berkembang yang terdampak krisis iklim.
Meskipun molor dua hari dari jadwal, inisiatif tersebut merupakan bagian dari keadilan iklim mengingat negara kecil dan berkembang paling menderita akibat krisis iklim. Fakta juga menunjukkan bahwa negara-negara tersebut memberikan dampak paling kecil terhadap kerusakan Bumi.
Keputusan itu diumumkan Presiden COP27 Sameh Shoukry pada 18 November 2022, setelah sebelumnya sejumlah negara maju menentang pembentukan inisiatif dana loss and damage dengan alasan pengumpulan dana tersebut memerlukan proses yang serius dan waktu yang lama.
Delegasi Swiss, misalnya, meminta waktu 30 menit untuk mempelajari draf kesepakatan soal loss and damage. Sementara itu, Uni Eropa yang awalnya menolak kemudian setuju dengan syarat COP27 dengan menekankan pada kesepakatan menahan suhu bumi 1,5C.
Dengan persetujuan itu, bank-bank pembangunan dunia diimbau untuk mengalokasikan dana demi membantu negara berkembang, negara kecil, dan negara kepulauan agar selamat dari bencana iklim. Kekeringan, cuaca ekstrem, topan, gelombang panas merupakan jenis-jenis bencana hidrometeorologi yang terjadi akibat krisis iklim.
“Loss and damage adalah nilai krugian dan kerusakan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang tidak bisa kembali,” tegas Shoukry.
Kerusakan dan kerugian umumnya terjadi di negara-negara berkembang. PBB sempat menghitung nilai kerugian dan kerusakan akibat iklim di negara berkembang mencapai US$ 1 triliun.
“Nilai kerusakan antara lain gagal panen di negara berkembang akibat perubahan cuaca yang memicu kelangkaan pangan,” terangnya.
Para delegasi COP27 juga setuju bahwa kelangkaan pangan akibat bencana iklim terjadi karena produksi gas rumah kaca yang besar di negara-negara maju. Sehingga pembentukan dana loss and damage ini menjadi utang ekologi negara maju terhadap negara berkembang.
Isu loss and damage ini mengemuka selama Konferensi COP27. Anak-anak muda berdemonstrasi sejak hari pertama menuntut para delegasi membahas dan menyetujui soal ini.
“Dana loss and damage lebih luas dari sekadar mobilisasi dana US$ 100 miliar yang disepakati dalam COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu,” ujar Shoukry.
Lebih jauh, Shoukry mengatakan bahwa mobilisasi dana mesti lebih besar dari US$ 100 miliar mengingat kebutuhan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang rendah emisi mencapai US$ 4-7 triliun per tahun hingga 2030. “Jika dunia hendak mencapai target Perjanjian Paris 2015,” tegasnya.
Dengan demikian, dana loss and damage akan menjadi bantalan bagi negara berkembang untuk menciptakan ketahanan iklim sebagai wujud dari konsep keadilan iklim yang sedang diperjuangkan saat ini. (Jekson Simanjuntak)