KLATEN-BERITALINGKUNGAN.COM — Kepala Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (DPKPP) Klaten Widiyanti menjelaskan bahwa Kabupaten Klaten memiliki visi mewujudan Klaten yang maju, mandiri dan sejahtera. Dari visi tersebut diturunkan menjadi misi, yaitu membangun dan mewujudkan perekonomian rakyat yang berbasis pada sumberdaya lokal.
“Salah satu program utama dari dinas pertanian, selaku yang melaksanakan misi tersebut, program unggulan kita adalah Klaten Mandiri Pangan atau Klaten Mapan,” ujarnya.
Program tersebut diwujudkan agar Klaten bisa mandiri dalam produksi pangan. Mandiri dalam arti luas, yakni ada pangan pokok, ada sumber protein dan ada sumber pangan lainnya.
Namun yang terpenting, kata Widiyanti adalah di sektor pangan pokok yaitu beras atau padi, meskipun Klaten memiliki potensi besar dalam komoditas ubi kayu, jagung dan kedelai.
“Alhamdullilah, selama ini dari luasan yang setiap tahun hampir rata-rata 73 ribu Ha, khusus padi. Di tahun ini malah naik menjadi 74 ribu Ha,” terangnya.
Jika dibandingkan antara ketersediaan pangan dengan kebutuhan pangan pokok, dalam 1 tahun berproduksi, Widiyanti memastikan jika Kabupaten Klaten mampu menghidupi warganya selama 2 tahun.
“Jadi kita selalu surplus, jika dilihat dari aspek ketersediaan pangan pokok, yaitu beras,” ungkapnya.
Dari sisi luas tanam terhadap jumlah penduduk di Kabupaten Klaten yang jumlahnya 1.27 juta jiwa, Widiyanti menjelaskan bahwa dibutuhkan sedikitnya 9700-an ton beras/ bulan.
“Jika berpikir untuk Kabupaten Klaten semata, itu cukup sebenarnya. Kita sudah over produksi” ungkapnya.
Selama ini Kabupaten Klaten dikenal sebagai lumbung padi Jawa Tengah dan juga secara nasional. Hal itu, membuat Klaten tidak jumawa dengan mementingkan ego daerah semata. Klaten justru terlibat untuk mencukupi kebutuhan beras di sejumlah wilayah di Indonesia.
“Karena ada beberapa daerah atau kabupaten yang belum bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Mungkin karena lahan yang terbatas dan sebagainya, kita harus saling menutupi kelebihan pangan disini untuk menutupi kekurangan pangan di daerah lain. Caranya dengan menggerakkan pada aspek bisnis,” terangnya.
Selain beras, Klaten juga mengalami surplus di komoditas jagung dan ubi kayu. Jika ditotal, surplusnya 140 ribu ton setara beras setiap tahunnya.
Bahkan ketika ada proyek Pembangunan Strategis Nasional (PSN) berupa pembangunan jalan tol di Kabupaten Klaten yang akan mengurangi luas lahan seluas 375 Ha, hal itu tidak berpengaruh terhadap luas lahan pertanian yang telah ditetapkan di Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Klaten.
“Di RTRW sudah dilakukan ploting kaitannya dengan kebutuhan pola ruang di masing-masing program kegiatan secara di tingkat kabupaten,” ungkapnya.
Khusus terkait lahan sawah produktif di Klaten luasannya mencapai 32ribu Ha. Dari jumlah itu, sebanyak 25.375 Ha direncanakan melalui Perda sebagai lahan pertanian berkelanjutan.
“Kita masih berproses sambil melakukan sinkronisasi antara data Penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR dengan data yang ada di RTRW,” papar Widiyanti.
Surplus Pangan
Dengan luasan lahan pertanian berkelanjutan mencapai 25 ribu Ha, Kabupaten Klaten telah menyusun sejumlah langkah, kaitannya dengan kebutuhan pangan dibandingkan jumlah lahan yang tersedia.
Menurut Widiyanti, secara eksponensial, jika dibandingkan dengan kebutuhan pangan dalam 20 tahun mendatang dengan luasan 25 ribu Ha yang memiliki indeks pertanaman 2.3 seperti saat ini, disertai profitas sekitar 6.2 ton per Ha, potensinya cukup besar.
“Di 20 tahun yang akan datang masih mencukupi untuk kebutuhan pangan masyarakat Kab. Klaten,” ujarnya.
Seandainya ingin menambah surplus dengan menggunakan teknologi, hal ini juga berpeluang besar. Ditambah dengan aspek luasan lahan disertai profitas yang memadai, produktivitas pertanian di Kabupaten Klaten berpotensi meningkat.
“Nanti tinggal kita tingkatkan dari aspek sistem budidayanya untuk meningkatkan produktivitas maupun indeks pertanamannya, yang sekarang dikenal dengan sebutan OPIP atau Optimalisasi Peningkatan Indeks Pertanaman, baik yang 2 jadi 3 atau 3 jadi 6 dan sebagainya,” ungkapnya
Selain itu, pertanian tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan, khususnya struktur dan kualitas tanah. Pasalnya, hanya lahan subur yang bisa menghasilkan produksi padi secara optimal. Lahan yang memiliki penggunaan pupuk secara efisien.
“Di tahun 2021 dan 2022, stressing program dalam rangka untuk Klaten di era pandemi, diusahakan untuk bisa mengoptimalkan dan meningkatkan pemanfaatan pupuk organik untuk memperbaiki lahan yang ada,” kata Widiyanti.
Sehingga lahan yang dimiliki petani tidak jenuh. Dengan penggunaan pupuk organik, misalnya, terbukti efektif untuk memperbaiki struktur dan tekstur tanah. Selanjutnya petani akan lebih efisien di dalam penggunaan pupuk.
“Karena sebanyak apapun pupuk yang diaplikasikan, jika tanahnya tidak bagus, tidak akan bisa menghasilkan dengan baik. Di tanah yang keras, akar tidak bisa berkembang dengan baik. Ketika akar tidak berkembang, otomatis tidak mampu menyerap unsur hara yang ada di tanah,” jelasnya.
Widiyanti menambahkan, “Ini yang menjadi konsen kita saat ini dalam rangka memperbaiki kondisi pertanaman yang ada.”
Pertanian Presisi
Pembangunan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Klaten diwujudkan dalam bentuk program “Mandiri Pangan”. Program Mandiri Pangan sangat tergantung pada payung hukum dalam bentuk Perda. Untuk itu, Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sangat dinantikan, sebagai alat penjamin kegiatan pangan berkelanjutan.
Selain itu, ketersediaan lahan menjadi faktor utama. Jika tidak memiliki media lahan, sulit untuk melakukan budidaya pertanian, meskipun saat ini berkembang sejumlah metode seperti hidroponik dan aeroponik. Di sisi lain, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan kecukupan pangan dengan harga yang terjangkau.
“Dengan begitu, benar-benar masih membutuhkan ketersediaan tanah. Pemerintah mempertahankan LP2B sebagai lahan untuk menyediakan kebutuhan pangan kita,” ungkap Widiyanti.
Langkah selanjutnya, mengembangkan teknologi di kegiatan budidaya tanaman. Itu sebabnya pemerintah sangat mendukung dengan kehadiran banyak pihak, seperti KRKP dan Rikolto yang mengusung konsep Sustainable Rice Program (SRP) atau Program Beras Berkelanjutan.
“Jika selama itu memberikan manfaat besar kepada petani, tidak ada salahnya,” tegasnya.
Pemerintah, menurut Widiyanti, tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan pembangunan pertanian. Harus bersama-sama dengan semua stakeholder, termasuk pihak swasta. “Harus bersama-sama, termasuk dengan masyarakat,” katanya.
Jika pemerintah tidak memiliki rakyat, maka tidak akan bisa membangun pertanian. “Rakyat tidak punya pemerintah juga tidak bisa. Mungkin bisa, tapi nanti cuma sekedar nanam, namun pengawalan terhadap tanaman,” imbuh Widiyanti.
Ketika pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder bekerja bersama, maka hasilnya akan lebih baik. Itu sebabnya, stakeholder yang memiliki teknologi harus berbagi sehingga bisa diterapkan secara massal.
“Swasta yang menyediakan segala kelengkapannya harus bersama-sama. Kita gak bisa membangun pertanian itu sendiri,” ujarnya.
Teknologi yang dimiliki oleh KRP melalui dukungan Rikolto yang dikenal dengan sebutan SRP atau Program Beras Berkelanjutan, menurut Widiyanti sebagai pertanian presisi. Presisi karena penggunaan pupuk didasarkan atas kebutuhan tanaman, bukan atas kebutuhan si petani.
“Penggunaan unsur hara yang tepat bagi tanaman. Kami juga akan memperbaiki struktur dan tekstur tanah itu sendiri,” katanya.
Kendati demikian, Widiyanti menjelaskan bahwa tidak mudah untuk mengubah pola pikir petani dalam waktu singkat. Semua butuh proses dan waktu. “Kaitannya dengan teknologi SRP oleh KRKP dan Rikolto, petani sebetulnya sangat antusias,” terangnya.
Hal itu baru dari aspek produksi. Sementara bicara aspek bisnis, menurut Widiyanti, pemerintah juga tidak bisa kita sendiri. Harus bekerjasama untuk membentuk jejaring yang lebih luas.
“Itu sebabnya ketika membicarakan pembangunan pertanian berkelanjutan, yang dilihat tidak hanya aspek produksi semata, tetapi bagaimana aspek produksi yang tinggi dibarengi dengan pembangunan jejaring pasar,” ungkap Widiyanti.
Khusus terhadap petani, Widiyanti menjelaskan bahwa petani tidak hanya berproduksi untuk diri mereka sendiri. Hasilnya pasti dijual untuk menambah penghasilan. Sehingga, ketika produksi mereka tidak laku, petani tidak akan termotivasi untuk menanam kembali.
“Sehingga sangat gampang untuk memotivasi petani. Motivasinya hanya pada pasar,” tegasnya.
Menanti Perda LP2B
Widiyanti mengatakan bahwa sinkronisasi data Kementerian ATR dan RTRW Kabupaten Klaten masih terus berlangsung. Jika sinkronisasi selesai, selanjutnya pembahasan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) bisa dilaksanakan.
Penyusunan Perda LP2B telah dimulai sejak tahun 2020. Pembahasannya terhenti lantaran terdapat perbedaan data tentang Penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) dari Kementerian ATR dengan RTRW. “Lahan sawah yang dilindungi ini oleh Kemen-ATR tidak sama luasannya dengan yang ada di RTRW. Ini kan harus kita clear kan dulu. Kita samakan dulu,” jelasnya.
Widiyanti menambahkan, “Setelah nanti klik antara LSD dengan penetapan di RTRW, kita lanjut membahas Perda. Tapi kemarin kita berhenti dulu, ketika kita sudah ajukan, bicarakan dan komunikasikan di Pansus DPRD. Sudah ada pansus kaitannya dengan penyusunan Perda LB2B, kemudian berhenti sambil menunggu clear-nya lahan.”
Pilihan berhenti diambil agar lebih memudahkan dan tidak membuang energi percuma karena bekerja dua kali. “Begitu nanti Kemen ATR dan RTRW sudah bisa disinkronkan, mana zona yang ditetapkan, maka nanti kita akan lanjutkan penyusunan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),” ungkap Widiyanti.
Sembari menunggu sinkronisasi data, Dinas Pertanian Kabupaten Sleman menyiapkan sejumlah data spasial yang dibutuhkan. Di tahun ini, Widiyanti menjelaskan bahwa pihaknya telah menyelesaikan data spasial untuk 13 kecamatan sebagai dasar dalam penyusunan data spasial di masing-masing petani.
“Harapannya di tahun berikutnya kita lanjutkan, sambil menunggu penetapan LSD yang ada. Biar sinkron dan tidak ribet dua kali kerja,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)