Oleh : Jekson Simanjuntak
“Dunia sedang menghadapi kehancuran dan bencana ekologis. Masyarakat adat di seluruh dunia, hanya merekalah yang akan menyelamatkan Bumi dan umat manusia dari bencana kehancuran total.”
Noam Chomsky
Sekeliling mulai gelap, saat Depati Njalo, perwakilan Orang Rimba bertutur tentang upaya mereka melindungi hutan alam yang tersisa ditengah ancaman pandemi Covid-19. Ia hadir di sela-sela diskusi online Peringatan Hari Bumi ke-50 yang digelar pada 22 April lalu.
Seperti Orang Rimba lainnya, Depati Njalo setia melindungi hutan melalui tradisi yang dipertahankan hingga sekarang. Hutan yang dimaksud adalah Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang menjadi rumah, sekaligus sumber penghidupan mereka sejak lama.
Proses interaksi dengan hutan telah membentuk peradaban dan budaya saling membutuhkan antara Orang Rimba dengan alam. Hubungan yang harmonis itu menghasilkan tatanan tradisi yang kuat, dibuktikan dengan adanya aturan adat serta kearifan lokal lainnya.
Budaya Melangun salah satunya. Budaya ini sebagai bentuk penghormatan kepada anggota keluarga yang telah meninggal. Selanjutnya, anggota kelompok yang tersisa akan berkelana meninggalkan tempat asalnya dalam waktu tertentu (baca: sekarang 1-12 bulan). Adapun jenazah diletakkan di Tanah Pasoron (lokasi pemakaman)
“Tanah Pasoron itu tempat meletakkan jenazah Orang Rimba yang meninggal. Dan tempat itu tidak boleh dibuka jadi kebun atau pohonnya diambil.” ujar Depati Njalo.
Bagi Depati Njalo, Tanah Balubalai dianggap sebagai penghormatan terhadap Bumi dan sang pencipta. Di Tanah Balubalai yang merupakan zona adat, Orang Rimba biasanya melaksanakan peribadatan. Tempat itu disakralkan dan diyakni dijaga oleh Dewo (dewa) dan ruang adat itu tidak boleh diganggu.
“Tanah Balubalai, sebagai tempat Orang Rimba melakukan ritual adat dan tempat sembayang yang tidak boleh diganggu”, tegas Depati Njalo.
Tanah Perano’on yang merupakan tempat Orang Rimba melahirkan, menurut Depati Njalo juga disakralkan. Di lokasi itu, pohonnya tak boleh ditebang sembarangan. Apabila ditebang, pelakunya mendapat nasib sial.
Orang Rimba sangat memperhatikan detil lokasi yang dijadikan Tanah Perano’on, seperti: tanahnya harus datar, kesuburan tanah serta jenis tanaman yang cocok sangat disesuaikan.
“Tanah Perano’on dipilih khusus, tempat Orang Rimba melahirkan sekaligus membesarkan anak-anak mereka”, kata Depati Njalo
Selain itu, masih banyak aturan adat dan ritual Orang Rimba yang masih terpelihara hingga sekarang. Hal itu, menurut Depati Njalo, sebagai upaya melindungi hutan, ditengah alih fungsi lahan yang terus terjadi. Akibatnya, ruang gerak Orang Rimba terbatas.
“Ketika hutan semakin sempit, imbasnya kembali pada kami. Seperti misalnya pada keberadaan pohon Setubung, yang ditanam ketika anak-anak lahir, bisa jadi musnah”, papar Depati Njalo.
Orang Rimba memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan, khususnya pohon Tenggeris dan Setubung. Kedua jenis pohon itu sangat dibutuhkan Orang Rimba.
Pohon Tenggeris, misalnya, digunakan untuk menanam ari-ari anak yang baru lahir. Sedangkan Setubung diambil kayunya lalu yang diusapkan ke dahi anak yang baru lahirdan dipercaya bisa menolak bala.
Kedua pohon itu menjadi semacam identitas bagi anak yang baru lahir. “Jika pohonnya ditebang, dipercayai si anak mendapatkan penyakit,” papar Depati Njalo.
Bagi Orang Rimba, pembabatan hutan yang berisi pohon Tenggiris atau Setubung, sama saja seperti nyawa mereka ikut hilang. Penghilangan nyawa merupakan pelanggaran berat bagi Orang Rimba. Sebagai kompensasi atas hilangnya nyawa, pelanggarnya didenda 500 lembar kain. Ini merupakan denda tertinggi di komunitas Orang Rimba.
Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi, mengidentikkan pohon Tenggeris dan Setubung sebagai personifikasi bayi Orang Rimba, sekaligus bukti kedekatan terhadap alam.
“Orang Rimba ketika lahiran, akan meletakkan ari-ari bayi di bawah pohon Tenggiris”, kata Rudi Syaf yang terlibat dalam pendampingan Orang Rimba sejak lama.
Menurut Rudi, jika pohon Tenggiris bertambah besar, diyakini kesehatan anak juga ikut membaik. Kesehatannya beriringan dengan pertumbuhan pohon tersebut. Namun akan muncul masalah, ketika pohon Tenggiris ditebang, misalnya dijadikan perkebunan kelapa sawit atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Akibatnya si anak, seperti tercerabut dari akar kehidupannya. Itulah mengapa pohon Tenggiris dan Setubung dianggap sakral”, papar Rudi Syaf yang menekuni dunia sosial dan advokasi masyarakat miskin di dalam hutan.
Jika pada praktiknya ada yang berani menebang pohon tersebut, dan kawasan itu masih mereka kuasai, menurut Rudi, pelakunya akan mendapatkan hukuman berat.
Namun, fakta menunjukkan jika perkebunan kelapa sawit telah begitu masif, dan Orang Rimba tidak mampu menolak. “Pilihan selanjutnya adalah mundur. Dan itu sangat menyakitkan bagi orang rimba”, kata Rudi Syaf.
Lalu, ketika hutan habis, Rudi menyebutnya sebagai kiamatnya Orang Rimba. “Layak disebut kiamat, karena Orang Rimba memiliki hubungan yang sangat personal dengan hutan”, ujar Rudi.
Bagi Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup yang sangat peduli terhadap kelestarian sumberdaya alam, menilai Orang Rimba memiliki wisdom (kearifan lokal) yang perlu dipelajari. “Peranan orang rimba, adalah pengalaman local wisdom yang tinggi, yang mampu meningkatkan sumber daya alam hayati”, ujar Emil Salim.
Karena itu, menurut Emil Salim, sudah saatnya kearifan lokal digali bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, pohon Tenggiris yang menjadi tempat disimpannya ari-ari Orang Rimba. “Ari-ari menjadi hal penting yang dikenal di dalam plasma nuftah, khususnya terkait sel punca. Saat ini banyak orang berlomba-lomba mempelajarinya”, ujar Emil Salim.
Lalu, mengapa pohon Tenggiris, mengapa tidak pohon lain? Emil Salim menilai hal itu perlu diselidiki. “Apa fungsi, peranan dan manfaat dari pohon tenggiris itu”, tanya Emil Salim
“Besesandingon” Social Distancing Versi Orang Rimba
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, dimana lebih dari 3 juta orang terinfeksi dengan angka kematian mencapai 219,463 jiwa (data 29 April 2020), hal itu menjadi keprihatinan tersendiri. Untuk memutus penyebaran virus, sejumlah negara menganjurkan warganya melakukan social/physical distancing yang tak lain dari pembatasan jarak agar terhindar dari virus SarsCov-2.
Di sela-sela pandemi yang merebak sebulan lalu, Orang Rimba ternyata memiliki antisipasi dengan cara kembali ke tengah hutan. Mereka menyebutnya “Besesandingon”, atau mengasingkan diri dari orang sakit atau yang diduga mengidap penyakit.
“Orang rimba memegang tradisi menyendiri di dalam hutan, yang saat ini kita analogikan dengan istilah WFH, social distancing atau physical distancing,” ujar Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno melalui siaran persnya yang diterima Berita Lingkungan pada 16 April lalu.
Dalam siaran pers bernomor 148/HUMAS/PP/HMS.3/4/2020, Wiratno, menyebut ada banyak kearifan lokal di nusantara yang selaras dengan alam. Nilai-nilai kearifan itu menjadi fondasi dalam konservasi di era modern.
“Pandemi Covid-19, seperti momentum bagi kita untuk lebih arif, dimana Bumi, perlu istirahat dari gegap gempitanya kegiatan manusia. Dari Orang Rimba, kita juga belajar kembali kepada alam,” ungkap Wiratno.
Sementara itu, Kepala Balai TNBD Haidir menyebut tradisi Besesandingon diterapkan sejak lama oleh Orang Rimba. Itu merupakan kearifan lokal yang terpelihara hingga sekarang, agar terhindar dari wabah penyakit.
Sebagai contoh, bila ada anggota keluarga yang baru pulang dari luar hutan yang jaraknya jauh, maka tidak boleh tinggal di rumah. Tetapi ditempatkan di Sudung (rumah tenda) yang jaraknya 200 meter dari rumah utama.
Tujuannya, agar tidak menulari yang lain, jika ternyata membawa penyakit dari luar. Jika tinggal di Sudung selama 1 minggu, dan ia tetap sehat, berarti bisa tinggal di rumah utama.
“Budaya Besesandingon merupakan kearifan lokal yang sangat relevan dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini,” pungkas Haidir.
Mantan Temenggung Tarib, atau H Jaelani yang kini menjadi tetua adat Orang Rimba dari Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, menyebut Besesandingon sebagai cara agar Orang Rimba terhindar dari penyakit menular. Terbukti, sejak dulu, Orang Rimba berhasil selamat karena mematuhi pantangan dan larangan adat.
“Contoh, zaman dulu jika ada yang sakit batuk, ia tidak boleh melewati jalan yang biasa dilewati orang di dalam hutan. Kalaupun terpaksa, si penderita harus memberi tanda, sehingga jalan tersebut tidak dilewati orang sehat, selama minimal 7 hari”, ujar Tarib, mantan Tumenggung Sungai Terab yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden SBY di tahun 2006.
Rudi Syaf, Direktur Direktur Eksekutif KKI Warsi, menyebut Besesandingon sebagai praktik physical distancing ala Orang Rimba. Cara itu menunjukkan jika mereka sangat peduli dengan kesehatan komunitasnya.
“Besesandingon, yaitu physical distancing untuk melindungi diri dari wabah jika ada yang sakit”, ujar Rudi Syaf.
Sementara bagi Akhmad Arif, penulis buku “Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas” menilai kemampuan physical distancing ala Orang Rimba patut dicontoh.
“Salah satu kunci sukses mereka adalah kemampuan mengisolasi diri, di ruang dimana mereka mampu beradaptasi dengan baik”, ungkap Akhmad Arif.
Namun, Akhmad Arif kawatir jika Covid-19 hadir di komunitas Orang Rimba. Meski faktanya mereka mampu beradaptasi dengan penyakit-penyakit lama, namun untuk Covid-19, pastinya dibutuhkan waktu yang lama dan bisa jadi jumlah Orang Rimba akan berkurang.
Berburu Dan Meramu Ciri Orang Rimba
Berburu menjadi penanda bagi Orang Rimba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Rimba merupakan pemburu ulung dan tidak mengenal tradisi beternak. Secara umum, ada dua teknik berburu yang dikembangkan Orang Rimba, yakni memasang jerat, dan menangkap langsung hewan buruan.
Memasang jerat merupakan teknik berburu yang paling banyak dipraktekan. Tidak seperti menangkap langsung, yang tentunya lebih sulit, memasang jerat bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk anak-anak.
Sehingga jangan heran, jika anak-anak Orang Rimba sangat terlatih membuat jerat. Adapun hewan yang dijerat, diantaranya: babi hutan, rusa, kancil, musang, trenggiling, landak, tikus dan tupai.
Sementara teknik kedua, yakni menangkap langsung hewan buruan memerlukan ketrampilan dan keberanian. Berburu model ini dilakukan berkelompok, dibantu anjing pemburu, serta dilengkapi sejumlah alat, seperti: tombak, parang, dan tali untuk mengikat.
Kini, binatang buruan semakin langka dan untuk mendapatkannya harus menempuh jarak yang jauh. Hewan buruan yang mudah didapat hanyalah babi hutan. Hewan lainnya seperti rusa, kancil, dan kijang sudah jarang ditemui.
Orang Rimba juga dikenal sebagai peramu, yaitu mengumpulkan dan meramu makanan dari hutan. Belakangan Orang Rimba juga mampu berkebun, dalam arti sebidang lahan ditanami tanaman-tanaman keras, seperti: durian, nangka, cempedak, duku, salak hutan, pisang, jengkol, petay, dan karet yang getahnya disadap setiap hari.
Orang Rimba memiliki kebun yang jauh berbeda dengan kebun orang desa. Kebun Orang Rimba lebih mirip hutan dengan berjenis-jenis tanaman keras, bercampur tanaman asli hutan. Karen tidak dirawat dan mirip hutan, kebun tersebut dijadikan tempat menjerat aneka jenis hewan.
KKI Warsi menilai Orang Rimba yang hidupnya bergantung pada berburu dan meramu, berpotensi terpinggirkan seiring ruang gerak yang terbatas. “Saat ini, banyak Orang Rimba tinggal di kebun sawit, baik milik perusahaan atau milik masyarakat lain. Kemudian ada juga yang hidup di kawasan HTI”, ujar Rudi Syaf.
Menurut Rudi, Orang Rimba di luar hutan alam (TNBDB) mampu bercocok tanam dengan sistem monokultur. Tentu saja, karena banyak yang hidup di kawasan hutan Akasia, atau perkebunan karet. “Itu yang sekarang dikenal sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI)”, tegas Rudi Syaf.
Orang Rimba yang hidup di luar kawasan hutan alam, menjadi marjinal, karena sumberdaya alam yang terbatas. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari meramu dan berburu.
“Berbeda dengan yang masih tinggal di kawasan TN Bukit Duabelas. Mereka masih bisa meramu dan berburu”, kata Rudi.
Populasi Orang Rimba Menurun
Akhmad Arif, Penulis buku ‘Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas’ beruntung bisa menyaksikan bagaimana Lembaga Eijkman mengambil sampel DNA Orang Rimba di kawasan TN Bukit Duabelas. Saat itu, Aik, nama panggilan Akhmad Arif dibantu tim dari KKI Warsi.
“Di 2016, saya jalan bersama Warsi, bukan hanya untuk mengetahui asal usul Orang Rimba, tetapi tapi juga mencari tahu jenis penyakit yang ada di sana”, ungkap Akhmad Arif.
Menurut Aik, yang menarik dari temuan Eijkman adalah mengenai identitas genetik Orang Rimba, usai meneliti mithocondria DNA perempuannya, diketahui mulai terbentuk sekitar 400 tahun lalu.
“Yang jika dihitung, sekarang baru sebanyak 20 generasi”, ujar Aik yang sedang menyelesaikan bab-bab akhir dari buku ‘Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas’.
Di dalam bukunya, Aik menyebut nenek moyang Orang Rimba kemungkinan telah bergabung dengan etnis-etnis yang lain di sekitarnya. “Bisa jadi dari Sumatera Barat dan lain lain. Lalu kemudian mereka membentuk populasi sendiri di sekitar hutan”, ujar Aik.
Selain itu, merujuk pada studi Lembaga Eijkman, Aik heran mengapa populasi Orang Rimba menurun drastis dalam 50 tahun terakhir. “Mungkin ini bersesuaian dengan cerita perubahan ekologi yang masif pada periode-periode itu”, kata Aik.
Padahal, menurut Akhmad Arif, ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, beberapa etnis termasuk Orang Rimba telah mampu beradaptasi dengan lingkungan hutan. Lalu ketika kemerosotan populasi terjadi hanya dalam waktu 50 tahun, diduga adanya faktor eksternal. Pasalnya, Orang Rimba memiliki adaptasi DNA yang luar biasa, termasuk menghilangkan mutasi gen yang merugikan.
“Mereka sebenarnya populasi kecil yang melakukan inbreeding (perkawinan dekat), namun ternyata jarang Orang Rimba mengalami kecacatan fisik. Ini artinya, daya adapatasi mereka cukup bagus”, ungkap Aik.
Di sisi lain, temuan Eijkman bersama Warsi di 2015 memperlihatkan prevalensi Hepatitis B sebesar 33,9 persen dari 583 Orang Rimba yang diperiksa. Penyakit yang menjangkiti sepertiga dari populasi Orang Rimba itu dapat menyebabkan kanker hati.
“Ditengah adapatasi yang positif, ternyata cukup mengkhawatirkan ketika prevalensi hepatitis B dan malaria cukup tinggi, dan mungkin yang tertinggi di Indonesia”, kata Akhmad Arif.
Akhmad Arif berkeyakinan, penyakit-penyakit itu dibawa oleh orang luar yang berinteraksi dengan Orang Rimba. “Dulu mereka tidak divaksin, tidak masalah, karena tubuh mereka mampu beradaptasi dan melakukan seleksi alam. Lalu muncul penyakit baru. Akhirnya yang tidak mampu beradaptasi, bisa jadi hilang”, ungkap Aik.
Keterbukaan akses dalam 50 tahun terakhir, interaksi yang masif, hingga terbukanya ruang hidup Orang Rimba dari yang sebelumnya terisolasi, menurut Aik, berpotensi memperbesar kerentan itu.
Selain itu, Akhmad Arif mengkhawatirkan kerentanan yang bukan hanya soal adaptasi tubuh, tetapi juga kerentanan sosial ekonomi. Ketika model pembangunan seperti sekarang terus dipaksakan, keberadaan Orang Rimba pasti terancam.
“Pada akhirnya, yang kita lihat adalah penyempitan ruang hidup, yang membawa kekhawatiran terhadap hilangnya Orang Rimba”, ujar Aik.
Ancaman Etnosida
Semakin luasnya alih fungsi hutan alam menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Jambi membuat Orang Rimba terdesak. Jika dibiarkan, mereka terancam mengalami Etnosidadalam beberapa tahun ke depan.
“Nah yang paling buruk, yang kami cemaskan adalah apa yang kami sebut dengan Etnosida. Jadi secara etnis pada akhirnya mereka akan Musnah”, Ujar Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf.
Etnosida merujuk kepada eksterminasi budaya nasional sebagai komponen genosida. Bartolomé Clavero membedakannya dengan menyatakan, Genosida membunuh orang, sementara Etnosida membunuh budaya sosial melalui pembunuhan jiwa-jiwa individual.
Dugaan Etnosida menguat, pasca temuan KKI Warsi, dimana banyak Orang Rimba telah keluar dari kawasan hutan alam (TNBD) dalam 1 dekade terakhir. Mereka memilih tinggal di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera, di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Bungo.
Kehidupan ekonomi mereka juga buruk, karena kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun sawit/ karet, penjual obat tradisional, atau dimobilisasi pemilik modal untuk berburu satwa liar.
KKI Warsi juga mencatat, sedikitnya ada 10 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Total keseluruhan areal HTI 318.648 hektar, dimana sebagian merupakan kawasan hunian dan sumber mata pencarian Orang Rimba.
Belum lagi, hutan di Jambi beralih fungsi sebagai areal transmigrasi. Sejak 1968, pemerintah menempatkan sedikitnya 600.000 pendatang yang sebagian besar dari Jawa, hidup bersama 1.600 orang rimba.
Kebijakan itu sempat menimbulkan gegar budaya bagi Orang Rimba. Mereka yang semula terbiasa hidup berburu dan meramu, dipaksa menjalani kehidupan modern.
Ini secara tidak langsung menghancurkan akar budaya Orang Rimba. Karena itu, Rudi Syaf menekankan, apa yang terjadi pada Suku Sakai di Riau, kemungkinan juga dialami Orang Rimba.
“Hari ini, bisa dibilang kita tidak akan menemukan Suku Sakai. Karena umumnya sudah menyebut dirinya Melayu. Nah itu kan, berarti sifat keetnisannya hilang dan ini yang kami cemaskan pada Orang Rimba”, papar Rudi Syaf.
Pendampingan Warsi
Saat membawakan presentasi berjudul ‘Masyarakat Tiang Utama Konservasi’, Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi menyebut Warsi sebagai NGO telah mendampingi Orang Rimba dalam 30 tahun terakhir.
“Ketika memulainya di tahun 1991, kami mencoba merawat apa yang ada di Orang Rimba, ketika mereka mampu melakukan enrichment terhadap alam”, ujar Rudi Syaf
Selama ini Orang Rimba mengenal istilah-istilah, seperti Bukit Bedewo, Imbo Larangan, Imbo Prabukalo, Imbo Pusako, dan Imbo Hulu Air. “Itu merupakan penamaan untuk kawasan hutan alam, yang mereka jaga”, kata Rudi.
“Apakah dijaga untuk keperluan air, untuk masa depan anak cucu, atau dijaga untuk pemanfaatan sumber daya alam non kayu. Mereka sangat memperhatikan alam”, lanjut Rudi.
Kendati demikian, Rudi juga menemukan potensi terdegradasinya kearifan lokal Orang Rimba. Terbukti, mereka yang selama ini arif mengelola hutannya, tidak mampu menahan laju penghancuran, lewat alih fungsi lahan.
“Nah, kami mencoba bersama sama masyarakat, untuk paling tidak kita bisa pertahankan”, kata Rudi.
Selain itu, KKI Warsi juga berupaya agara Orang Rimba mendapatkan pengakuan negara melalui batas hutan adat. Orang Rimba perlu diakui, termasuk juga oleh masyarakat desa yang ada di luar mereka.
“Kemudian Warsi membuat motto adalah Konservasi Bersama Masyarakat”, kata Rudi Syaf.
Menurut Rudi, tagline itu sengaja digaungkan, karena pada medio 80-an, ada taman nasional besar, yaitu TN Kerinci Seblat meliputi empat provinsi (Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Bengkulu) memiliki luas 1,4 juta Ha yang didalamnya terdapat masyarakat adat.
“Saat itu, pengelolaan kawasan konservasi konsepnya seperti botol. Jadi tidak boleh ada orang berintraksi di taman nasional. Satu Ranting patah, itu sudah pelanggaran”, pungkas Rudi.
Lalu KKI Warsi hadir di kawasan konservasi untuk mendorong penguatan masyarakat lokal, termasuk Orang Rimba, karena merekalah yang menjadi garda terdepan dalam mengamankan kawasan hutan.
Pentingnya Resource Enrichment
Ketika Orang Rimba mampu bertahan dikala pandemi, dengan mempraktikkan kearifan lokal, Emil Salim, tokoh lingkungan Indonesia menyebutnya sebagai Resourse Enrichmentatau pengayaan sumberdaya alam hayati.
Disaat pandemi, alam terlihat membaik, ditandai langit biru, udara bersih, lubang ozon mengecil, laut semakin bersih, dan ikan-ikan berhasil tumbuh. Menurut Emil Salim, itu membuktikan jika alam mampu melakukan rehabilitasi.
“Mengapa Alam membaik? Karena kegiatan manusia berhenti. Dan alam membaik karena pola manusia yang berbangun dengan pola ekonominya berubah”, ujar Emil Salim.
Ketika orang memilih diam rumah, tidak melakukan mobilitas, lalu mengambil jarak, praktis pembangunan gaya lama berhenti. “Jadi ada dua kontras, di tahun 1970 (peringatan Hari Bumi pertama), alam rusak dan masyarakat ekonominya booming/ naik. Di tahun 2020, alam membaik, manusia babak Belur”, papar Emil Salim.
Dari situ, Emil Salim menarik pelajaran berharga, bahwa membangun di masa depan, yakni alam tetap terjaga, dimana membangun tidak bersifat eksploitasi, namun melakukan enrichment, atau memperkaya sumber daya alam.
“Jadi pola pembangunan kedepan, manusia perlu mengembangkan ekonominya dengan membuat sejumlah perubahan”, kata Emil Salim.
Karena itu, di momen Hari Bumi ke-50, Emil Salim meminta setiap orang melakukan refleksi tentang social/ physical distancing, belajar/ bekerja dari rumah dan dampaknya terhadap Bumi. “Ini pelajaran penting dari hari Bumi sekarang ini”, katanya.
Apa yang dilakukan Orang Rimba, tentang memanfaatkan alam tanpa merusak, namun malah memperkaya alam, menurut Emil Salim sebagai praktik enrichment yang sesungguhnya.
“Dari Orang Rimba kita belajar cara memperlakukan alam. Eksploitasi yang merusak, memeras, menggali, menghantam menjadi memperkaya. Itu memerlukan ilmu yang harus kita gali tanpa merusak alam”, pungkas Emil Salim.
Bagi Emil Salim, resource (sumber daya) harus diperkaya, tidak hanya berbicara tentang sumber daya alam, tetapi juga sumber daya manusia. Karena itu, ilmu pengetahuan perlu dikembangkan, termasuk dengan menggali kearifan lokal yang ada di Indonesia.
Setuju dengan konsep Resource Enrichment, Akhmad Arif, penulis buku ‘Menjadi Indonesia: Konstruksi Sosial atas Identitas’ menilai pandemi sebagai momen yang pas untuk berubah. Momentum untuk belajar dari kesalahan masa lalu, karena sejatinya ekonomi mampu selaras dengan lingkungan, juga bisa selaras dengan dengan kemanusiaan.
“Dan ada banyak model yang mendukung itu. Ini yang seharusnya kita kedepankan”, ujar Akhmad Arif.
Ketika, Orang Rimba memiliki pengetahuan lokal dan mampu bersinergi dengan alam serta terbukti mampu beradaptasi dalam waktu lama, maka Aik menyebutnya sebagai: “pengalaman berharga dan menjadikan kita lebih hormat terhadap alam, termasuk kepada mereka yang memiliki pengetahuan lebih dari kita”.
Hal ini penting, karena kita sedang mengalami masalah yang sama yaitu kehancuran Bumi, dan pandemi menurut Akhmad Arif seharusnya membuka mata kita, bahwa salah kelola alam mengakibatkan kita mengalami bunuh diri ekologi.
“Pada gilirannya, bukan hanya mengancam populasi kita, tetapi juga populasi spesies yang ada di Bumi, termasuk mereka yang merupakan penjaga rimba terakhir”, pungkas Aik.***
–>