Hal ini diungkapkan oleh Ketua Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Rudy Tambunan dalam diskusi bertajuk “Jakarta (selalu) Berpotensi Banjir” di Mayapada Tower, beberapa waktu lalu.
Kondisi di lapangan menunjukkan pembangunan BKT masih terganjal dengan pembebasan lahan di sejumlah titik sehingga pembangunan terputus-putus. “Namun, seandainya BKT selesai, Jakarta masih rawan banjir,” tegasnya.
Dalam kajian yang pernah dilakukannya, ia mengatakan, penyelesaian BKT harus diikuti dengan sistem restorasi sungai di bagian selatan dan bagian hilir kanal itu karena di bagian-bagian ini banyak daerah aliran sungai penopang atau situ yang sudah rusak.
Hal ini dibenarkan oleh Pitoyo Subandrio, ketua tim pembangunan BKT. Menurutnya, sangat riskan BKT bekerja maksimal, jika penghuni di bantaran sungai masih banyak. Selain itu, sekitar 40 persen wilayah daratan Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Minimnya lahan kosong sebagai daerah resapan air, dan daya tampung sungai dan aliran air terhambat menjadi faktor yang turut berpengaruh.
Selain itu, Jakarta merupakan daerah aliran sungai/kali yang menyebar merata di semua wilayah. Di bagian timur terdapat Kali Cakung, Kali Jati kramat, Kali Buaran, Kali Sunter dan Kali Cipinang. Di bagian tengah Kali Ciliwung, Kali Cideng dan Kali Krukut. Sedangkan di bagian barat Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Angke, Kali Mookevart dan Kali Sekretaris.
“Terhadap warga yang selama ini menghuni bantaran sungai, seharusnya tidak memaksa mereka pindah jika tidak dipersiapkan terlebih dahulu rumah pengganti untuk disewakan kepada warga. Itu sebabnya nantinya, disebuah lokasi yang telah disediakan akan di bangunkan rumah sederhana bagi mereka” ujar Pitoyo yang juga Kepala Balai Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC).
Persoalan yang ada di kawasan bantaran sungai pun bukan semata-semata persoalan banjir, tetapi juga persoalan kemanusiaan, ekonomi, maupun sosial. Contohnya, keluarga yang berdiam di kawasan pinggir Sungai Ciliwung mencapai 70.000 keluarga. “Kalau dibangun rumah yang bisa disewakan kepada mereka, perhitungan sementara rata-rata biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 500 miliar” lanjut Pitoyo.
Selain peran sungai, setu (telaga) sebagai sarana penyimpan air, belum dimanfaatkan secara maksimal. Pasalnya, jumlah situ penopang di daerah Jakarta dan sekitarnya mencapai 226 buah, tetapi yang masih berfungsi baik hanya 33 buah. Menurut Direktur Lingkungan Hidup Perkotaan Institute Hijau Indonesia Selamet Daroyni, Pada faktanya, tugas pemerintah daerah, terutama Dinas Pekerjaan Umum menjadi lebih berat.
Di samping merevitalisasi 200 situ dengan dana sekitar Rp 250 miliar berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Pemprov DKI Jakarta juga harus segera membangun pompa air dengan kapasitas yang jauh lebih besar dari pompa air di Pluit, Jakarta Utara, tutur Daroyni menambahkan.
Pengembang perumahan juga harusnya tidak menguruk situ-situ yang tersisa, tetapi mereka justru harus membangun situ atau kolam pancing di situ-situ yang mulai kering. “sehingga jangan heran jika banyak perumahan sekarang, bukan lagi kawasan bebas banjir, tapi kawasan banjir bebas masuk” ungkap Pitoyo menambahkan.
Selain Percepatan pembangunan Banjir Kanal Timur dan peninggian Banjir Kanal Barat yang harus selesai dalam waktu dekat, sebenarnya beberapa upaya dapat dilaksanakan dalam mengelola air hujan ini, diantaranya:
Mewajibkan membuat resapan air hujan, untuk setiap bangunan gedung sesuai dengan ukurannya, berdasarkan luas lahan (minimal 150 m2) dan intensitas hujan tertinggi. Contoh, luas kepemilikan lahan 150 m2, intensitas hujan tertinggi 150 mm/jam rata-rata selama satu jam, jumlah air hujan adalah 150 m2 x 150 lt/m2 = 22.500 lt = 22,5 m3 atau minimal harus disediakan lubang rembesan air yang berukuran 30 m3 yang diberi batu-batuan, krikil dan pasir termasuk ijuk di bagian bawahnya, luas lahan 1.000 m2 ukuran lubang resapan minimal 1.000 m2 x 150 lt/m2 = 150 m3. Kalau dimaksudkan untuk memanen air hujan agar dapat dipergunakan lagi tentunya harus beberapa kali besarnya lubang tadi ditambah lubang resapan, khusus untuk lubang resapan sebaiknya kedalamnnya sampai air tanah.
Membuat danau buatan, waduk atau embung, di beberapa tempat termasuk di tengah kota, untuk menampung air kelebihan air hujan dan dimanfaatkan di musim kemarau.Lalu, membuat gorong-gorong atau saluran yang memadai dan airnya tidak dialirkan ke laut tapi ditampung di danau atau waduk atau embung dsb untuk dipakai lagi di musim kemarau.
Pengerukan sungai-sungai yang telah mendangkal dengan alat modern dan tenaga manusia untuk mengurangi pengangguran juga penting dilakukan. Serta tidak ketinggalan membenahi manajemen daerah aliran sungai (DAS) terutama yang sudah kritis atau sangat kritis, sesuai skala prioritas.
Diharapkan, alternatif pemanfaatan air permukaan ini bisa meminimalkan dampak yang timbul ketika kondisi air melimpah. Nantinya, banjir yang sedianya menjadi ancaman ketika musim penghujan tiba, tidak lagi menjadi kendala bagi masyarakat ibukota. (jacko_agun)
(animasi: http://lintasjakarta.com)