Hutan Lambusango kaya akan keanekaragaman hayati, harus terus dilestarikan. Foto: Yos Hasrul/BL. |
BUTON, BL- Embun masih menempel di dedaunan ketika Saya dan beberapa jurnalis televisi melintas belantara Lambusango. Saat itu musim panas baru saja tiba di bulan September. Pohon-pohon besar tumbuh cukup rapat, membuat tanah di bawahnya melembab sepanjang tahun.
Kami melewati jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kering. Entah ribuan bahkan jutaan dedaunan jatuh menutupi seluruh permukaan tanah Lambusango. Dari puncak kanopi, suara burung-burung dan jangkrik saling adu nyaring , seolah menyapa setiap pelintas alam. Sungguh perpaduan harmoni yang indah. Perjalanan sekitar empat kilometer menembus hutan benar-benar tak terasa. Hutan lebat telah menutup cahaya matahari. Padahal musim panas tahun ini cukup panjang.
Kami ditemani dua petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sultra dan seorang tokoh Desa Kakenauwe, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, La Aete (60). Kami mendapat penjelasan banyak dari mereka. Dari merekalah kami mengetahui jika hutan Lambusango masih seperti kondisi aslinya sejak zaman leluhur dan menjadi rumah berbagai keanekaragaman hayati, khususnya endemis Sulawesi. Endemis itu di antaranya anoa, kuskus sulawesi, rangkong sulawesi, dan babirusa.
“Hutan terjaga baik berkat kearifan lokal warga yang turut menjaga kelestarian hutan di sana.”kata La Aete. Salah satunya terbungkus dalam upacara adat bernama Bataana Tombi, yang berarti ’membanting bendera’. Ritual itu dilakukan tokoh adat dan perwakilan warga desa di dalam hutan.
La Aete mengatakan, salah satu prosesi melibatkan pengucapan sumpah yang mengutuk siapa pun yang merusak hutan secara sewenang-wenang, dengan kesulitan hidup. Upacara itu dilakukan lima tahun sekali. Dengan adanya sumpah itu, warga tak berani merusak hutan. “Prose situ membuat warga taat karena takut terkena sumpah,” kata La Aete, yang juga mantan Kepala Desa Labundo- bundo itu.
Pemerhati lingkungan hidup Dr Edi Purwanto yang hampir dua puluh tahun mencurahkan perhatiannya pada lingkungam Lambusango mengatakan, kondisi hutan Lambusango yang masih terawat dengan baik menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu bagian dari paru-paru dunia.
Hutan tersebut, selain surga bagi pengamat burung dan tujuan wisata ilmiah, juga sebagai sumber mata air masyarakat di Pulau Buton serta seluruh anak-anak sungai yang terdapat di pulau tersebut, utamanya Buton bagian Selatan berasal dari Hutan Lambusango.
Hutan Lambusango merupakan rumah bagi berbagai satwa endemik sulawesi, termasuk yang langka dan dilindungi seperti satwa Kuskus beruang sulawesi (Ailurops ursinus), yang kami jumpai bertengger di salah satu pohon di kawasan Hutan yang dijuluki hutan Labundo-bundo.
Hutan yang terletak di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara selama ini dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan mewakili daerah hutan di zona Wallacea pada umumnya. Tak heran Lambusango mendapat tempat dihati para pecinta lingkungan dan peneliti.
Ada banyak jenis hewan yang ada di dalam hutan lambusango antara lain, anoa, kus-kus, tarassus, burung enggang/halo/rangkong dan masih banyak lagi hewan lainnya yang ditemukan belum tercatat.
Keanekaragaman hayati yang tinggi membuat hutan ini, saban tahun menjadi tujuan wisatawan asing untuk datang melakukan penelitian.Jumlah wisatawan asing yang datang, selain untuk menikmati kondisi alam hutan juga melakukan penelitian, mencapai 300 – 500 orang setiap tahunnya. Pada bulan Juli, Agustus, September setiap tahunnya, wisatawan asing mulai berdatangan ke Lambusango.
Banyak ancaman yang dapat merusak hutan tersebut seperti program transmigrasi, tambang maupun perambahan hutan sehingga jika hutan tersebut tidak dijaga bersama maka, sumber mata air akan mati dan butuh waktu yang sangat lama untuk mengembalikannya seperti sekarang ini.
Kondisi Hutan Lambusango bagian bawahnya adalah batuan kapur yang tanahnya tipis dan menyulitkan pertumbuhan akar tanaman atau kurang subur, menyebabkan daerah tersebut menjadi sasaran pencurian kayu serta menjadi lokasi pembukaan lahan pemukiman baru.
Hutan yang diapit oleh 53 desa tersebut sewaktu-waktu dapat dimasuki oleh oknum tertentu untuk menebangi pohon-pohon yang ada, sehingga dapat mengancam aneka satwa yang ada di dalamnya serta merusak kelestarian alam.
Ancaman perambahan hutan terjadi karena kurangnya lahan subur yang dapat dijadikan lahan pertanian maupun perkebunan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga akan mengandalkan hasil hutan. Butuh kerjasama semua pihak, baik dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, pihak kepolisian dan pemerintah daerah untuk terus melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan. “Kami berharap hutan ini akan terus bertahan, sehingga sumber mata air tetap ada dan kelangsungan hidup berbagai jenis satwa hutan bisa terus berkembang,” ujar Edi. (Yoshasrul)