Perwakilan NASA (Jack Kaye, Michelle Gierach, Piers Sellers, dan Daniel Irwin) saat menghadiri Sidang ke-20 Konferensi Perubahan Iklim (COP 20) di Lima, Peru. Foto : Nasa. |
JAKARTA, BL- Skema kebijakan internasional dalam penanganan perubahan iklim dinilai telah gagal dan justru menimbulkan berbagai persoalan dalam pengelolaan hutan dan perampasan tanah di berbagai negara. Hal ini terungkap dalam Pertemuan Internasional bertajuk “Perubahan iklim, trend pengelolaan hutan dan perampasan tanah” yang diselenggarakan oleh Eksekutif Nasional WALHI pada tanggal 15 – 16 April 2015, di Pendopo Walikota Mataram.
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 60 orang peserta yang berasal dari kalangan Pemerintah Daerah, masyarakat, dan aktivis WALHI setidaknya dari 20 provinsi.
Pengelolaan hutan dan lahan di berbagai negara menunjukkan praktik yang tidak relevan dengan krisis iklim dunia. Pengelolaan hutan dan lahan justru lebih mengutamakan kepentingan korporasi untuk ekspansi industri ekstraktif. Masyarakat di berbagai negara yang memiliki hutan luas seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin justru menghadapi keadaan yang semakin sulit. Selain menghadapi masalah akibat dampak buruk perubahan iklim, mereka juga berhadapan dengan masalah perampasan tanah akibat ekspansi industri ekstraktif, proyek-proyek uji coba REDD+, dan berbagai skema baru pengelolaan hutan dan lahan dengan tujuan mitigasi perubahan iklim. Akibatnya, deforestasi, degradasi hutan, dan konflik perampasan tanah justru semakin meningkat.
Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Eknas WALHI menyampaikan dalam presentasinya, Indonesia telah mengalami 4 (empat) fase penguasaan dan pengerukan sumber daya alam; logging, ekstraksi, monokultur, dan green washing. Monopoli hutan dan lahan oleh industri ekstraktif; Logging (25 juta Ha), HTI (10,1 juta Ha), Perkebunan sawit (12,5 juta Ha), dan tambang (3,2 juta Ha). Sampai di tahun 2014, 4 sektor ini telah menguasai sekitar 57 juta ha dari total 132 juta Ha kawasan hutan Indonesia dan diprediksi mencapai 80 juta Ha pada tahun 2020. Tahun 2014, deforestasi di Indonesia telah mencapai 5,6 juta Ha per tahun.
“Trend pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia akan memicu meningkatnya konflik perampasan lahan. Kementerian Kehutanan di tahun 2014 telah mengalokasikan 2,7 juta Ha untuk bisnis karbon dan restorasi melalui skema restorasi ekosistem meliputi Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Papua, dan Maluku.”ujarnya melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Negosiasi internasional Conference of the Parties (COP) 20 di Lima, Peru telah menghasilkan keputusan Lima Call for Global Climate Action. Semua Negara Pihak menyepakati bahwa upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim masa depan akan dilaksanakan di bawah Konvensi Perubahan Iklim dengan menggunakan keluaran legal yang akan disepakati pada tahun 2015. Namun secara keseluruhan, hasil COP-20 Lima dinilai lebih mengutamakan kepetingan negara-negara maju dan korporasi, dan tidak signifikan dalam mengurangi emisi secara drastis sebelum tahun 2020.Beberapa pihak justru menyebutnya sebagai a ´Roadmap for Global Burning’,karena tidak ada rencana aksi yang penting hingga tahun 2020.
Dalam presentasinya, Winnie, Koordinator World Rainforest Movement (WRM) menegaskan, seperti halnya di Indonesia, perampasan tanah juga terjadi di negara-negara Amerika Latin dan Afrika sebagai wilayah yang kaya dengan hutan.
Perampasan tanah terjadi akibat ekspansi perusahaan kayu, tambang, konsesi minyak dan gas, serta ekspansi perkebunan sawit dan tebu, agribisnis (peternakan, kedelai, ethanol), infrastruktur (hydrodam, jalan, rel kereta api, saluran air). Kebijakan utama untuk menghentikan deforestasi telah gagal (1980an -Tropical Forestry Action Plan (TFAP) of World Bank/FAO; 1990an Sustainable Forest Management (SFM); 2007-2014: REDD+; dan sekarang Zero Deforestation – NY declaration on forests 2014). Landscape REDD, Climate-Smart Agriculture, Biodiversity Offset, and BECCS – bioenergy berbasis hutan tanaman industri menjadi trend baru mitigasi perubahan iklim. Namun, sebenarnya skema ini lebih berorientasi bisnis dan hanya akan memunculkan konflik perampasan tanah model baru (green grabbing) di berbagai negara.”
Di sesi akhir pertemuan, seluruh peserta berpartisipasi dalam perumusan tuntutan dan strategi terkait penanganan krisis iklim, pengelolaan hutan, dan perampasan tanah. Tuntutan utama dalam rumusan ini bahwa semua skema kebijakan internasional dan nasional dalam penanganan iklim yang justru hanya mengutamakan kepentingan negara maju dan korporasi dan menciptakan perampasan tanah di berbagai daerah mesti ditolak dan dikampanyekan ke dunia internasional.
Mereka menekankan pentingnya menguatkan posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan upaya penyelesaian konflik perampaasan tanah. Kearifan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan semestinya menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan pengelolaan hutan baik di level nasional ataupun internasional.
–>