Ilustrasi kenaikan permukaan air laut yang membanjiri kota pesisir. Foto: Dave/Creative Commons
NEW YORK, BERITALINGKUNGAN.COM– Kapan dunia bertindak sama pentingnya dengan seberapa besar kita bertindak. Itulah pesan kuat dari sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature Climate Change (10 Oktober 2025) oleh tim ilmuwan dari Cornell University.
Mereka memperingatkan bahwa waktu pelaksanaan pengurangan emisi—bukan sekadar kecepatan atau volumenya—akan menentukan apakah dunia mampu menghindari ambang bencana pencairan es dan kenaikan permukaan laut yang cepat.
Perlombaan dengan Waktu
Menurut model iklim yang dikembangkan tim peneliti yang dipimpin oleh Vivek Srikrishnan, asisten profesor teknik biologi dan lingkungan di Cornell University, periode antara 2065 hingga 2075 akan menjadi titik kritis.
Pada rentang waktu itulah, dampak dari emisi masa kini mulai menjadi faktor dominan dalam menentukan seberapa cepat dan besar laut akan naik.
“Sekitar tahun 2065, emisi mulai menjadi faktor penentu utama—termasuk ketidakpastian seperti titik balik pencairan Lapisan Es Antarktika,” jelas Srikrishnan. “Artinya, mitigasi yang kita lakukan sekarang akan sangat menentukan nasib permukaan laut beberapa dekade mendatang.”ujarnya seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman resmi Cornell University (13/10/2025)
Para ilmuwan memperkirakan bahwa jika dunia gagal menurunkan emisi sebelum tahun 2050, maka kemungkinan untuk mencapai ambang pencairan es yang akan menaikkan permukaan laut setidaknya 0,4 meter mencapai lebih dari 50 persen. Bahkan, kenaikan bisa menembus 0,5 meter, tergantung pada seberapa besar panas diserap oleh samudra.
Kenaikan setengah meter mungkin terdengar kecil, tetapi bagi kota-kota pesisir dunia, itu bagaikan bencana berantai.
Peneliti menghitung, risiko banjir di sebagian besar stasiun pasang surut bisa meningkat 10 kali lipat, dan di lebih dari separuh lokasi, lonjakannya bisa mencapai 100 kali lipat.
Tak Ada “Peluru Perak”
Srikrishnan menekankan bahwa menunggu solusi sempurna hanya akan memperburuk keadaan.“Tidak ada peluru perak. Semakin cepat kita mengurangi emisi, semakin baik. Tapi bahkan pengurangan kecil jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa,” ujarnya.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ketidakpastian terbesar abad ke-21 terkait dengan Lapisan Es Antarktika, tetapi pada abad ke-22, Greenland bisa menjadi pemain utama.
Lapisan es di Greenland memiliki potensi volume pencairan yang sangat besar—cukup untuk mengubah garis pantai di banyak belahan dunia.
Menatap Masa Depan yang Tak Pasti
Berbeda dari studi sebelumnya yang hanya memusatkan perhatian pada kenaikan suhu, penelitian Cornell ini memadukan berbagai model iklim—termasuk model dinamika lapisan es—untuk menelusuri bagaimana perubahan emisi dan proses laut yang kompleks saling berinteraksi hingga tahun 2200.
Tujuan utamanya bukan sekadar memprediksi, tetapi membangun sistem peringatan dini: mencari “tanda-tanda penunjuk jalan” (signposts) yang bisa memberi waktu bagi pembuat kebijakan dan masyarakat untuk menyesuaikan diri sebelum terlambat.
“Kita tidak bisa memprediksi masa depan dengan presisi, tapi kita bisa mempersempit ketidakpastian,” kata Srikrishnan. “Kita perlu tahu indikator apa yang bisa memberi peringatan dini sebelum sistem iklim mencapai titik ketidakstabilan.”
Seruan dari Ilmuwan
Studi ini, yang juga melibatkan peneliti dari Stanford University dan Rochester Institute of Technology, didanai oleh U.S. Department of Energy dan National Science Foundation.
Temuannya menjadi seruan moral dan ilmiah: bahwa setiap tahun keterlambatan dalam pengurangan emisi karbon sama dengan mempercepat ancaman bagi kota pesisir, pulau kecil, dan miliaran manusia yang hidup di dekat laut.
“Tindakan hari ini akan menentukan bentuk dunia yang akan kita tinggali pada abad berikutnya,” tulis para peneliti. “Waktu bukan sekadar faktor dalam krisis iklim—ia adalah garis batas antara adaptasi dan kehilangan.”tambahnya (Marwan Aziz).