Temuan para peneliti ini meningkatkan kekhawatiran tentang bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi tingkat metilmerkuri pada ikan dan kerang. Foto : Johnér Bildbyrå AB
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Ketika suhu Bumi terus menghangat dan laut kehilangan oksigennya, sesuatu yang tak terlihat sedang bangkit dari kedalaman laut: mikroorganisme penghasil racun saraf mematikan.
Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature Water mengungkapkan bagaimana perubahan iklim ribuan tahun lalu di Laut Hitam memicu ledakan mikroba penghasil metilmerkuri, senyawa neurotoksin kuat yang kini menjadi ancaman bagi kehidupan laut—dan manusia.
Penelitian yang dipimpin oleh Eric Capo, ahli ekologi dari Universitas Umeå di Swedia, menunjukkan bahwa hilangnya oksigen di laut akibat pemanasan iklim pada masa lalu memungkinkan mikroorganisme tertentu berkembang pesat dan mengubah merkuri anorganik menjadi metilmerkuri, zat beracun yang menumpuk di ikan dan hasil laut lainnya.
“Temuan kami menunjukkan bahwa pemanasan iklim dan kehilangan oksigen saja—tanpa adanya pencemaran merkuri dari industri—sudah cukup untuk menciptakan ‘hotspot’ produksi metilmerkuri,” jelas Eric Capo seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman resmi UMEA University (13/10/2025)
Racun Tak Kasatmata di Dalam Laut
Metilmerkuri adalah senyawa beracun yang sangat berbahaya bagi sistem saraf manusia. Racun ini tak bisa dilihat, tak bisa dicium, dan tak bisa dirasakan, namun ia menyebar melalui rantai makanan laut. Ketika ikan kecil mengandung metilmerkuri dimakan oleh ikan yang lebih besar, konsentrasinya meningkat—dan berakhir di meja makan manusia dalam bentuk ikan atau kerang.
Kini, para ilmuwan khawatir skenario serupa sedang terulang di laut modern. Pemanasan global menyebabkan zona laut kekurangan oksigen meluas, terutama di perairan pesisir seperti Laut Baltik. Suhu air yang meningkat membuat laut menjadi lebih stagnan, menghambat pencampuran air dan memicu ledakan alga yang memperparah kehilangan oksigen di lapisan bawah laut.
“Ini menimbulkan kekhawatiran serius, karena perluasan wilayah laut yang kekurangan oksigen dapat meningkatkan paparan manusia terhadap racun saraf ini melalui konsumsi makanan laut,” kata Meifang Zhong, peneliti muda dalam tim Capo.
Jejak dari Masa Lalu
Dengan menganalisis DNA purba dari sedimen Laut Hitam yang berusia lebih dari 13.500 tahun, para peneliti menemukan gen hgcA—penanda utama mikroorganisme penghasil metilmerkuri. Menariknya, gen tersebut paling banyak ditemukan pada periode hangat dan lembap antara 9.000 hingga 5.500 tahun lalu, saat kadar oksigen laut menurun drastis.
Kondisi tersebut sangat mirip dengan yang kini terjadi di lautan modern. Bedanya, jika dulu penyebabnya murni alami akibat perubahan iklim, kini faktor manusia—seperti pencemaran merkuri industri dan eutrofikasi (ledakan nutrien di laut)—turut memperparah situasi.
Pelajaran dari Laut Hitam
Dengan membandingkan sinyal mikroba purba dengan mikroba masa kini, tim peneliti menemukan kesamaan yang mengkhawatirkan. Baik dulu maupun sekarang, perubahan iklim menjadi pemicu utama ledakan mikroorganisme penghasil racun ini.
Hasil penelitian ini memperingatkan kita bahwa laut bukan sekadar korban perubahan iklim, tetapi juga penyebar dampak baliknya. Saat lapisan laut kehilangan oksigen, kehidupan mikroba berubah, dan dengan itu, racun-racun alamiah yang selama ini tersembunyi bisa muncul ke permukaan rantai makanan manusia.
Dalam dunia yang semakin hangat, ancaman dari kedalaman laut ini menjadi peringatan baru bagi upaya menjaga keseimbangan ekosistem laut—dan kesehatan manusia (Marwan Aziz).