Hutan Bukan Sekadar Kayu, Forum Konservasi Dorong Paradigma Baru Pengelolaan Hutan Indonesia

Berita Lingkungan Environmental News Hutan Terkini

Ilustrasi hutan tropis. Foto : Dok Beritalingkungan.com.

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Di balik meja-meja kayu yang panjang ruang rapat Komisi IV DPR RI, suara perubahan mulai menggema dari para aktivis kehutanan yang tergabung dalam Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI).

Mereka bukan sekadar menyuarakan koreksi teknis, namun ajakan untuk menggugat cara kita memandang hutan, bukan sebagai ladang eksploitasi, melainkan sebagai ruang hidup, warisan adat, dan penyangga masa depan bangsa.

FDKI adalah aliansi organisasi masyarakat sipil yang berakar dalam kerja-kerja advokasi sosial dan ekologi, menyerukan lima agenda strategis dalam revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

“Kita butuh kehutanan yang berpihak pada keadilan ekologis dan hak masyarakat adat, bukan melulu produksi dan izin konsesi,” tegas perwakilan FDKI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama DPR RI pada tanggal 15 Juli 2025 di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.

FDKI adalah platform kerja bersama bagi 11 organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang fokus pada isu lingkungan, konservasi, keadilan sosial, dan tata kelola sumber daya alam. Yang anggotanya antara lain: Sawit Watch, Yayasan KEHATI, Garda Animalia, Yayasan Penabulu, Perkumpulan HUMA, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Oceans Justice Initiative (IOJI), Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia Parlimentary Centre (IPC), Yayasan PILI, dan Sajogjo Institute.

Hutan yang Adil, Bukan Sekadar Negara

Salah satu sorotan utama FDKI adalah pentingnya pengakuan tegas terhadap hutan adat dan hak masyarakat adat, selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012.

Dalam pandangan FDKI, status hutan harus dibagi menjadi tiga: hutan negara, hutan hak, dan hutan adat, dengan basis pengakuan bukan sekadar administratif, tapi fakta sosial dan budaya.

Di tengah dominasi 54% kawasan hutan Indonesia yang diperuntukkan untuk produksi, FDKI menyuarakan perlunya redefinisi: hutan permanen yang tidak bisa dikonversi, dan hutan cadangan yang pengelolaannya harus transparan dan inklusif.

“Jika kita gagal melindungi hutan, kita sedang gagal melindungi ruang hidup bersama,” lanjutnya.

Ambang Batas Ekologis

Agenda ketiga adalah penetapan ambang batas ekologis yang tidak bisa dikompromikan. Minimal 30% luas daratan provinsi harus tetap berhutan—dan bahkan lebih ketat untuk wilayah pesisir, pulau kecil, dan daerah aliran sungai.

Prinsip ini, menurut FDKI, harus diadopsi sebagai benteng terakhir menjaga iklim, air, dan keanekaragaman hayati.

Menutup Celah Izin dan Korupsi

Reformasi tata kelola kehutanan juga menuntut perombakan sistem perizinan. FDKI menekankan perlunya pemisahan skema perizinan korporasi dari perhutanan sosial, serta pencabutan izin untuk kasus korupsi atau konflik dengan masyarakat lokal. Sistem kehutanan yang bersih adalah syarat utama untuk masa depan yang lestari.

Data Kehutanan

Selain itu, mereka juga menaruh perhatian pada data kehutanan, menurut FDKI, selama ini dikelola seperti rahasia negara, bukan aset publik.

Mereka mendorong agar inventarisasi hutan dilakukan partisipatif, diperbarui setiap tahun, dan dibuka ke publik. Bahkan, ada usulan sanksi administratif dan pidana bagi instansi yang lalai memperbarui data secara akurat.

Catatan Kritis bagi DPR

Dalam paparannya, FDKI juga menyentil isi draft revisi versi DPR yang masih menyimpan “roh lama” kehutanan: narasi bahwa “seluruh hutan dikuasai negara,” minim pengakuan adat, dan tidak membatasi pelepasan hutan bahkan di wilayah yang telah kritis secara ekologis.

“Konservasi tak bisa sekadar normatif. Kita butuh perlindungan tegas, bukan basa-basi legislasi,” tegas FDKI.

Revisi UU Kehutanan bukan hanya tugas teknokrat dan anggota dewan, tapi merupakan tanggungjawab  bagi seluruh pemangku kepentingan, masyarakat adat, komunitas lokal, akademisi, aktivis, dan warga kota yang udara dan airnya bergantung pada hutan yang jauh dari pandangan.

Masa depan kehutanan Indonesia bukan diukur dari jumlah kayu yang ditebang, tapi dari berapa banyak ruang hidup yang berhasil kita jaga bersama

Dalam rilisnya, Ayut Enggeliah dari FDKI mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik di parlemen maupun eksekutif, untuk melihat revisi UU Kehutanan sebagai langkah strategis membangun masa depan Indonesia yang adil secara ekologis, menghormati hak lokal dan adat, dan menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan bangsa.(Marwan Aziz).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *