Kali Cilambe yang tercemar di samping tumpukan sampah. Foto : Kawali.
BEKASI, BERITALINGKUNGAN.COM-Kabut pagi menggantung lembut di atas Kali Cijambe, membungkus sungai dengan ketenangan semu. Namun di balik lanskap yang tampak tenang di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat itu, ada yang jauh dari damai.
Saat tim relawan KAWALI melangkah menyusuri tepian sungai, udara dipenuhi bau tajam yang menusuk, air berubah keruh, dan garis-garis hitam lindi mengalir seperti luka terbuka di tubuh alam.
Sungai ini bukan lagi sekadar jalur air, ia telah menjadi saksi bisu dari kelalaian manusia. Di balik arus yang tenang, Kali Cijambe membawa cerita tentang pencemaran yang merayap perlahan, menggerogoti ekosistem, dan mengancam kehidupan yang bergantung padanya.
Lindi Mengalir, Nyawa Ekosistem Menyusut
Air lindi—campuran cairan hasil pembusukan sampah organik dan limbah industri—seharusnya diproses melalui sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebelum bisa kembali ke lingkungan. Tapi menurut KAWALI (Koalisi Kawali Indonesia Lestari), itu hanya teori di atas kertas.
“Kami melihat langsung aliran air hitam yang mengalir ke Kali Cijambe tanpa penyaringan memadai. Tidak ada pagar, tidak ada perlindungan. Sampah bahkan jatuh bebas ke saluran air,” ujar Sopian, Ketua KAWALI DPD Bekasi, yang memimpin investigasi lapangan.
Bersama timnya, ia mendokumentasikan bagaimana limbah dari TPA Sumur Batu merembes perlahan-lahan, menyusup ke dalam ekosistem sungai yang selama ini menopang kehidupan ribuan warga, hewan air, dan tumbuhan lokal.
IPAL yang seharusnya menjadi garda terakhir pengolahan justru diduga hanya menjadi “hiasan proyek.” Tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pencemaran Sistemik di Balik Tembok Sampah
Kondisi TPA Sumur Batu hari ini mencerminkan kegagalan sistemik: minimnya infrastruktur pelindung, pengelolaan yang buruk, dan dugaan adanya aktivitas pengolahan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) di luar prosedur. Semua itu memperparah potensi racun yang masuk ke dalam air tanah dan sungai.
Menurut KAWALI, pelanggaran ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi pelanggaran terhadap amanat konstitusi.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang secara tegas melarang tindakan pencemaran dan kelalaian tata kelola limbah.
“Ini bukan sekadar pencemaran. Ini perampasan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Dan itu adalah hak konstitusional,” tegas Sopian.
Seruan untuk Negara, Saatnya Turun Tangan
KAWALI mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) tidak lagi menunggu.
Mereka menuntut inspeksi menyeluruh ke TPA Sumur Batu, pemantauan aliran air lindi dari hulu hingga ke Kali Cijambe, dan penegakan hukum atas kelalaian yang terbukti.
“Kami meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, segera turun tangan, mengambil tindakan nyata tidak hanya sebatas inspeksi lokasi, tapi juga menyisir aliran air lindi dari TPA hingga ke Kali Cijambe, serta mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang lalai atau terbukti melakukan pencemaran,” tegas Sopian kepada Beritalingkungan.com (18/07/2025).
Selain tindakan hukum, KAWALI juga menuntut pemulihan ekosistem sungai yang kini tercemar. Sebuah pekerjaan berat, namun mutlak dilakukan untuk mengembalikan kualitas air, kehidupan mikroorganisme, hingga keamanan masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya dari air sungai.
Cijambe, Sungai yang Minta Dihidupkan Kembali
Di tepi Kali Cijambe, air masih mengalir, namun tidak lagi jernih. Aroma asam masih menyengat, dan riak yang dulunya membawa benih kehidupan kini membawa sisa kelalaian.
Dalam dunia yang terus berkembang dan membuang lebih banyak dari yang bisa diolah, potret Kali Cijambe menjadi pengingat, bahwa alam menyimpan catatan kesalahan manusia. Dan pada titik tertentu, ia menuntut kita untuk bertanggung jawab untuk kembali memulihkannya ekosistem sungai (Marwan Aziz).