“Two of us, reach the summit (Everest) together at same time.”
—Sir Edmund Hillary
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Don Hasman, seorang fotografer alam dan budaya yang gemar mendaki gunung, masih ingat betul, seperti apa perjalanan yang dilakukannya 45 tahun silam. Saat itu ia memutuskan mengunjungi Kathmandu, Nepal untuk pertama kalinya.
Ia menjadi orang Indonesia pertama yang melakukan petualangan hingga ke Everest Basecamp, ketika Nepal belum populer sebagai daerah tujuan wisata petualangan (minat khusus). Tujuannya saat itu adalah ingin mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Everest dan jika memungkinkan, ia ingin mendokumentasikannya dalam bentuk foto.
Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, Don berpendapat, kota Kathmandu dan layanan pelualangan yang ditawarkan telah banyak berubah. Kini, tak sulit untuk mencari informasi terkait lokasi wisata ataupun rute tracking yang diinginkan.
Bagi pria kelahiran Jakarta, 7 Oktober 1940 itu, rintisan perjalanannya ke Himalaya tak bisa dilepaskan dari pencapaian Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay (sherpa Nepal) di tahun 1953. Mereka adalah sumber inspirasi Don Hasman di dunia petualangan.
Karena itu, Don menyebut pendakian Hillary dan Norgay pada 29 Mei 1953 sebagai catatan sejarah yang layak dikenang. Perlu diingat, karena menggapai Everest tidaklah mudah. Belum lagi, sejumlah ekspedisi yang digelar kala itu, selalu berujung pada kegagalan.
Itu juga yang menjadi alasan, mengapa Don setuju, ketika ada pendapat yang menyebut, pencapaian Everest tak ubahnya pendaratan manusia pertama ke bulan. Sebuah momentum terbaik bagi peradaban manusia.
“29 Mei 1953, merupakan momen bersejarah bagi pencapaian manusia karena berhasil mendaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest (8848m),” ujar Don Hasman pada sesi diskusi bertajuk “Pariwisata Gunung Berkelanjutan” yang digelar oleh Federasi Mountaineering Indonesia (FMI).
Saat itu, Edmund Hillary dan Tenzing Norgay menjadi bagian dari tim ekspedisi Kerajaan Inggris, yang mengemban misi sebagai manusia pertama di atap dunia.
“Siapa sangka, 68 tahun yang lalu, sherpa Tanzing Norgay dan Edmund Hillary asal Selandia Baru menjadi manusia pertama yang berhasil menjejak Everest,” ujar Don Hasman, yang juga anggota senior Mapala UI.
Menurut Don, di hari yang sama dicapainya puncak gunung tertinggi di dunia itu, Tanzing merayakan hari ulang tahunnya yang ke-39. “Sebuah momen yang sangat istimewa bukan?” ujar Don Hasman saat membuka diskusi.
![]() |
Don Hasman memotret Edmund Hillary saat menghadiri peringatan 100 tahun Explorer Club di Amerika Serikat pada tahun 2004 (sumber: koleksi pribadi Don Hasman) |
Pada tahun 2004, Don beruntung punya kesempatan bertemu langsung idolanya di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Saat itu dia diundang menghadiri peringatan seratus tahun Explorer Club, sebuah perkumpulan profesional multidisiplin ilmu yang berbasis di Amerika Serikat. Klub yang didirikan di New York pada 1904 itu bertujuan mempromosikan eksplorasi ilmiah, yang kemudian berfungsi sebagai ajang pertemuan bagi para penjelajah dan ilmuwan ternama dari seluruh dunia.
“Inilah sosok Sir Edmund Hillary (merujuk pada sebuah foto) yang saya rekam foto ini di tahun 2004, persis empat tahun sebelum beliau meninggal dunia,” ujar Don Hasman yang sempat mengenyam pendidikan formal di Fakultas Hukum UKI pada 1964.
Pada perjumpaan itu, Don sempat mengutarakan pertanyaan nakal, tentang siapa sebenarnya yang pertama sekali tiba di puncak Everest. Pertanyaan itu ia utarakan, sebelum acara dimulai.
“Saya bilang, Sir Edmund Hillary, siapa diantara anda berdua yang sampai lebih dahulu di puncak Everest,” tanya Don Hasman.
Mendapat pertanyaan itu, Edmund Hillary kaget. Dia tidak menyangka mendapat shock therapy yang membuatnya terhenyak dan diam. Namun bukan Edmund Hillary namanya jika tidak mampu menjawab pertanyaan dengan baik dan diplomatis.
“Dia menjawab dalam bahasa Inggris; Two of us, reach the summit together at same time,” papar Don yang juga penerima penghargaan Presiden RI, kategori Pelestari Budaya Bangsa di tahun 2009.
Mendengar jawaban itu, Don yakin, Edmund Hillary masih menyembunyikan sesuatu. Don tidak yakin, apakah jawaban Hillary itu benar atau tidak, namun faktanya, hingga saat ini tidak pernah seorang pun yang tahu, siapa sebenarnya yang tiba lebih dahulu di puncak Everest.
“Yang pasti, saya bangga bahwa usahanya yang berkali-kali itu berhasil mencapai puncak tertinggi di dunia,” ungkap Don Hasman yang sempat masuk Fakultas Teknik Sipil, IKIP Manado pada tahun 1965-1966.
Selain mengapresiasi pencapaian Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, Don Hasman juga mengingatkan bahwa perjalanan ke Everest telah dimulai, jauh sebelum tahun 1953.
“Selain memperingati capaian puncak Mt. Everest, kita juga tak boleh lupa tentang seabad upaya perintisan pendakian yang dilakukan pertama kali di tahun 1921,” kata Don Hasman.
![]() Aktivitas warga di Lhasa, Nepal pada saat Don Hasman mengunjungi negeri itu di tahun 1987. (sumber: koleksi pribadi Don Hasman) |
Pencapaian Everest
Gunung Everest terletak di Pegunungan Himalaya, berada di perbatasan antara Nepal dan Tibet. Orang Tibet menyebut gunung tersebut sebagai Chomo-Lungma, yang berarti “Ibu Dewi Alam Semesta” (Mother Goddes of the Universe). Sedangkan penduduk Nepal menyebutnya Sagarmatha atau Kepala langit (Head of the sky). Sementara orang Inggris menamainya Everest, sebagai bentuk penghargaan kepada Sir George Everest, seorang surveyor Inggris abad ke-19 di Asia Selatan.
Sejarah mencatat, upaya penaklukkan Everest pertama dilakukan pada tahun 1921 oleh tim asal kerajaan Inggris, melalui ekspedisi besar menyusuri dataran tinggi Tibet sejauh 645 kilometer. Upaya tersebut terhenti, ketika badai dahsyat menerpa, memaksa tim membatalkan pendakian ke Chomo-Lungma.
George Leigh Mallory, salah satu anggota tim sangat bersemangat dengan ide tersebut. Baginya, Everest merupakan pencapaian terbesar yang tak semua manusia mampu melakukannya.
Tahun 1922, Inggris kembali melakukan ekspedisi yang kedua, dengan memasukkan Mallory sebagai anggota tim, karena dianggap berpengalaman. Sayangnya, hanya dua pendaki, George Finch dan Geoffrey Bruce yang berhasil mencapai ketinggian 8.229 meter. Sebuah pencapaian yang sangat impresif kala itu.
Masih di musim yang sama, 7 Juni 1922, Mallory bersama dua rekannya dibantu 14 sherpa berupaya menembus salju di Puncak Utara pada ketinggian 7.000 meter. Mereka dihadang longsoran salju dalam jumlah masif yang menyapu 9 orang porter, membawa mereka masuk ke dalam celah jurang yang dalam. Menakjubkan, mereka berhasil menemukan 2 porter dalam keadaan hidup, untuk kemudian terpaksa meninggalkan jasad 7 lainnya dalam beku abadi Everest.
Inggris kembali menggelar ekspedisi ketiga di tahun 1924, masih dengan cita-cita yang sama, menggapai puncak sejati Everest. Saat itu, pendaki Edward Norton berhasil mencapai ketinggian 8573,4m atau hanya berjarak 274 meter dari puncak jika dihitung vertikal.
Empat hari kemudian, George Mallory dan Andrew Irvine mendapat giliran selanjutnya untuk menaklukkan Everest. Namun sayang, sejak saat itu keduanya tak pernah kembali ke camp. Mereka dianggap hilang di Everest.
Sejumlah ekspedisi juga digelar dari rute di sisi timur laut Tibet, namun semua berakhir dengan kegagalan. Percobaan penaklukkan Everest kemudian terhenti selama Perang Dunia II dan gunung itu tertutup bagi orang asing.
Baru di tahun 1949, Nepal kembali membuka pintu bagi pendaki asing yang tertantang menaklukkan Everest. Pada tahun 1950 dan 1951, Inggris kembali menggelar ekspedisi sebagai upaya penaklukkan Everest lewat rute sebelah tenggara.
![]() Mount Everest dilihat dari pesawat dari Drukair di Bhutan. (sumber: https://commons.wikimedia.org/) |
Pada tahun 1952, lonjakan besar dilakukan oleh tim asal Swiss, ketika memilih rute melewati Khumbu Icefall yang terkenal berbahaya. Upaya mereka terbilang berhasil, ketika dua pendakinya, Raymond Lambert dan Tenzing Norgay mampu menjejak di ketinggian 8.598m atau hanya beberapa meter dari puncak selatan Everest. Sayangnya, mereka berdua kehabisan perbekalan, sehingga tidak melanjutkan pendakian ke puncak.
Tertantang oleh tim ekspedisi Swiss yang nyaris mencapai puncak Everest, Inggris kembali menghelat ekspedisi besar-besaran di tahun 1953, dipimpin Kolonel John Hunt. Selain menyertakan para pendaki elit terbaik, tim juga mengundang Tenzing Norgay, yang sebelumnya nyaris sukses bersama ekspedisi Swiss.
Para pendaki terbaik dari seluruh persemakmuran Inggris dikerahkan, termasuk pendaki asal Selandia Baru, George Lowe dan Edmund Hillary, yang kala itu berprofesi sebagai peternak lebah, jika tak sedang mendaki gunung. Pendakian itu dilakukan pada April dan Mei 1953.
Saat itu, para pendaki dilengkapi sepatu dan pakaian khusus, peralatan komunikasi, dan sistem pesokan oksigen. Mereka juga membangun serangkaian perkemahan di beberapa titik, sebagai upaya untuk menyukseskan ekspedisi tersebut.
Sebuah jalur baru dibuat menembus Khumbu Icefall dan para pendaki tiba di Western Cwm, melintasi Lhotse Fce, dan South Col di ketinggian 26.000 kaki alias 7.925 dari permukaan laut.
Pada 26 Mei 1953, Charles Evans dan Tom Bourdillon menggelar percobaan pertama dan terhenti dalam jarak hanya 300 kaki atau sekitar 91m dari puncak, karena perangkat oksigen mereka tidak berfungsi normal.
Edmund Hillary dan Tenzing Norgay mendapat giliran kedua pada 28 Mei. Setelah mendirikan kemah di ketinggian 8.503 m dan menghabiskan malam yang beku dan nyaris tanpa tidur, mereka melanjutkan pendakian.
Keduanya berhasil mencapai Puncak Selatan pada pukul 09.00 waktu Nepal dan tiba di sebuah tanjakan batu yang curam setinggi 12 meter satu jam kemudian, yang kelak dikenal dengan nama Hillary Step.
Dengan segenap upaya, pada pukul 11.30 waktu setempat, Hillary dan Tenzing akhirnya tiba di puncak tertinggi dunia pada 29 Mei 1953.
Akibat pencapaian itu, Edmund Hillary dan pemimpin ekspedisi Kolonel John Hunt diganjar gelar ksatria oleh Ratu. Sementara Tenzing Norgay, karena bukan warga persemakmuran, mendapatkan penghargaan yang cukup bergengsi, yaitu Medali Kekaisaran Inggris.
![]() Don Hasman maestro fotografi dengan spesialisasi etnofotogari menghantarkannya masuk predikat 100 Famous Fotografer In The World dari Pemerintah Perancis. (sumber: koleksi pribadi Don Hasman) |
Rintisan Indonesia
Bagi Don Hasman, pendakian ke Everest merupakan impian. Itu sebabnya, sejak tahun 1976 ia telah mengunjungi Nepal. Hal pertama yang ia lakukan adalah mendatangi Everest Base Camp. Sebelum kesitu, ia bergerak ke Gorakshep, yakni pemukiman kecil di tepi danau yang berada di ketinggian 5.164 meter.
Selain itu, Don Hasman juga mendaki Kalapathar (5.643 m) dan Lobuche (6.119 m) yang terpaut jarak sekitar 4 km. “Saya datang hanya sendiri saja saat itu,” kata Don Hasman.
![]() |
Surat izin masuk ke Nepal yang diberikan kepada Don Hasman pada 1976 dan 1978. (sumber: koleksi pribadi Don Hasman) |
Menurut Don, kemampuan beradaptasi dengan alam menjadi pengetahuan penting yang harus dimiliki setiap pendaki yang hendak ke Everest. Pasalnya, dari tahun ke tahun, Everest menunjukkan banyak perubahan, Salah satunya berkaitan dengan ketinggian.
“Ini saya potret di kota Lhasa yang ketinggiannya 8843.13m (merujuk pada sebuah foto). Lalu dua hari lalu, (Kamis, 27 Mei 2021), tercatat ada peningkatan ketinggian 75mm,” ujar Don Hasman.
Saat tiba di puncak Kalapathar (5.643 m), Don sempat membayangkan, tentang siapa manusia Indonesia pertama yang akan mencapai puncak Everest.
“Saya coba-coba berkhayal, kira-kira siapakah orang Indonesia pertama yang akan mencapai puncak yang ada awan artikulasinya itu,” kata Don Hasman.
![]() Don Hasman bersama Clara Sumarwati yang diambil pada 26 April 1997. (sumber: koleksi pribadi Don Hasman) |
Ternyata apa yang Don bayangkan, baru terwujud 20 tahun kemudian, ketika Clara Sumarwati pendaki wanita Indonesia tiba di puncak Everest pada tanggal 26 September pukul 11.30 waktu setempat atau pukul 4.30 WIB.
“Dan orang itu saya tahu, dia adalah ahli bioritmik. Dia itu semangatnya lagi sedang menggebu-gebu, nyaris mencapai puncak,” kata Don.
Bioritme merupakan teori yang berhubungan dengan kondisi fisiologis (tubuh) manusia berdasarkan siklus (ritme) tertentu. Umumnya bioritmik digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui pengaruh hari-hari seseorang berdasarkan fisik, emosi dan intelektual.
“Itu jarang sekali orang memanfaatkan bioritme untuk berbagai kegiatan. Dan saya tahu orang Indonesia pertama yang mencapai Everest di tahun 1996 itu, dia emosi atau semangatnya sangat mengebu-gebu. Kira-kira 93% dan dia berhasil mencapai puncak dengan mendaki selama 10.5 jam,” terang Don Hasman.
Meskipun jarak dari basecamp Everest ke puncak hanya 14 Km, menurut Don Hasman, setiap pendaki harus mengikuti hukum alam. Salah satunya terkait pola adaptasi.
“Itu sebabnya, dulu pendakian ke Everest baru bisa berhasil dengan waktu antara 80-100 hari,” kata Don Hasman.
Seiring waktu, perubahan pola pendakian terjadi di Everest. Menurut Don Hasman, durasi pencapaian puncak kini bervariasi. Ada yang melakukannya dalam 55 hari, seperti yang dilakukan tim Indonesia di tahun 1997. Namun tak sedikit yang menuntaskannya dalam durasi singkat.
“Yang tercepat saat ini 26 jam, dilakukan pendaki wanita asal Hongkong. Ia mengalahkan rekor sebelumnya, oleh seorang sherpani asal Nepal, selama 39 jam. Jika tidak salah, pencapaiannya itu untuk yang ketiga kali di musim yang sama,” ungkap Don Hasman.
Selanjutnya pada 1978, Don Hasman kembali mengunjungi Nepal, tepatnya pada 25 Juni. Kali ini ia datang tidak sendiri, namun bersama sahabatnya Hadidjojo Nitimihardjo (Mapala UI) untuk durasi 1 bulan.
Saat itu, mereka tiba di bulan Juni, sebuah waktu yang salah jika ingin mengunjungi Everest Base Camp. Pasalnya, kawasan Himalaya tengah dilanda musim hujan yang dingin dan musim penjelajahan baru saja usai, yakni bulan April hingga Mei.
Di Kathmandu, tepatnya dari Hotel Eden Kath, Don Hasman dan Hadidjojo menyusun ulang rencana perjalanan mereka. Karena dana yang terbatas, mereka dipaksa berhemat, juga harus cermat untuk menentukan rute perjalanan.
“Saat Itu, kami akhirnya jalan 1 bulan, mulai dari Lamosangu ke Everest Basecamp pulang pergi. Jaraknya cukup jauh,” ujar Don Hasman.
![]() Ripto Mulyono berpose dengan latar pegunungan Himalaya di tahun 1997. (sumber: koleksi pribadi Ripto Mulyono) |
Indonesia Everest 1997
Ripto Mulyono, seorang veteran Everest menilai pendakian ke Himalaya sangat prestisius dan menjadi impian banyak pendaki. Tak heran jika Edmund Hillary dan Tenzing Norgay di tahun 1953 sangat berambisi mencapai puncak Everest.
“Saya sebagai pelaku dari tim Everest Indonesia 1997, jika kita melihat sejarah pendakian ke Everest adalah gengsi. Gengsi untuk negara, atau pribadi atau organisasi,” ujar Ripto yang juga menjabat dewan pengawas FMI.
Karena itu, menurut Ripto, menggapai puncak Everest ibarat keharusan bagi sebagian orang atau institusi. Tentu saja, karena tiba di puncak Everest menjadi ajang kehormatan.
Jika flashback ke masa lalu, pencapaian Tanzing dan Hillary, tak ubahnya gengsi dari sejumlah negara. Mulai dari Amerika, Inggris atau negara-negara Eropa lainnnya.
“Jadi di kita pun juga, efek itu sampai,” tegas Ripto.
Bagi Indonesia, mimpi mencapai Everest telah dimulai sejak 1978, ketika Don Hasman dan Hadidjojo, senior mapala UI berangkat ke Everest Basecamp.
“Saat mereka di Himalaya, Don bermimpi, kapan suatu saat ada orang Indonesia yang sampai ke puncak,” ujar Ripto yang juga bersertifikat pemandu gunung Ahli BNSP.
Beruntung mimpi itu terwujud, beberapa tahun kemudian, ketika sejumlah rintisan dimulai. Di tahun 1990, misalnya, anggota Eka Citra UNJ Aryati berhasil menaklukkan Island Peak/Imja Tse (6189m) dan berlanjut ke Annapurna IV (7525m) di penghujung 1998. Puncak lain yang juga berhasil didaki adalah Aconcagua (6962m) gunung tertinggi di benua Amerika pada 1993.
Sementara itu, Alm. Muhammad Gunawan, akrab disapa Ogun, pendaki Wanadri juga berhasil menorehkan catatan gemilang dengan mencapai puncak Pumori (7.161 m) di tahun 1988.
Kemudian pada tahun 1994, Ogun memulai pendakian ke Everest melalui sistem Pay Member. “Dia membayar ke suatu provider di Jerman, namanya IMC, kemudian mendaki lewat sisi utara. Namun sayang, ia kurang beruntung,” papar Ripto
![]() Don Hasman bersama Asmujiono, pendaki pria Indonesia pertama di puncak Everest (sumber: koleksi pribadi Don Hasman) |
Rintisan berikutnya terjadi pada tahun 1997, ketika tim Indonesia tiba di Everest melalui jalur Selatan atas nama Misirin dan Asmudjiono (keduanya anggota Kopassus), sementara Ogun tengah berjuang di jalur utara yang terhadang cuaca buruk di segmen akhir, 200 meter menjelang puncak.
Beberapa tahun sebelumnya (baca: 1994), pendaki putri Clara Sumarwati juga sempat bertandang ke Everest. Lalu di tahun 1996, Clara dan beberapa rekannya kembali ke Himalaya.
Setahun kemudian, godaan puncak Everest kembali menyeruak, ketika Prabowo Subianto (Danjen Kopassus kala itu) mendengar tim Malaysia tengah bersiap menuju Everest.
“Setelah mendengar itu, Prabowo berinisiatif mewujudkan mimpi Indonesia mencapai puncak Everest,” kata Ripto.
Kemudian diutuslah Kapten Rochadi, seorang perwira dari Dansat 81 Kopassus yang diberi mandat untuk memprakarsai pendakian ke Everest. Bersama rekan pendaki sipil, Monty Sorongan, rencana pendakian Everest-97 dipersiapkan secara matang.
Lalu direkrut pendaki-pendaki sipil, diantaranya dari Wanadri, Mapala UI, FPTI, Rakata, dan beberapa organisasi lainnya. “Saat itulah pendaki-pendaki sipil dan militer bersatu untuk mewujudkan impian mencapai puncak Everest,” papar Ripto.
Upaya itu segera diwujudkan pada tahun 1996, dengan dibukanya pendaftaran pada bulan September – Oktober. Sejak itu dimulailah pembentukan tim Everest.
“Dari peserta yang ada 40 lebih, lalu diciutkan menjadi 29 yang siap pakai untuk diberangkatkan ke Nepal,” terang Ripto.
Saat itu, ada rencana untuk melakukan latihan pendakian ke Carstensz Pyramid, sebagai bentuk dari latihan pemantapan. Namun, Prabowo tidak setuju karena suasana di Papua sedang tidak kondusif.
“Akhirnya diputuskan semua peserta diberangkatkan menuju Nepal pada November 1996,” kata Ripto.
![]() Dokumentasi tim Indonesia Everest-97 (sumber: koleksi pribadi Ripto Mulyono) |
Selama di Nepal, seleksi kembali dilakukan, dibawah arahan pelatih Anatoli Nikolaevich Boukreev (Kazakhastan) dan Richard Pawlosky (Polandia) serta dibantu Vladimir Bashkirov yang dipercaya menjadi film-maker. Sedangkan Evgeni Vinogradski didapuk menjadi dokter tim.
“Mereka yang melakukan rekrutmen terhadap pendaki asal Indonesia,” kata Ripto.
Seleksi pertama dilakukan di gunung Paldor (5.896 m) yang berada di kawasan Khumbu Himal. Dari 29 pendaki, diseleksi ulang, hingga menyisakan 21 orang.
Pada Februari 1997, seleksi kembali digelar di gunung Island Peak atau Imja tse (6.189 m), sehingga tersisa 16 pendaki yang kemudian menjadi tim inti Indonesia Everest-97.
Dari 16 pendaki, kemudian dibagi menjadi 2 tim, yakni tim Selatan dan tim Utara. “Tim selatan beranggotakan 10 orang, dikomandoi Iwan Setiawan, dengan anggota Masirin, Asmujiono, Suparno, Eddy Waluyo, Darlin dan pendaki sipilnya Ripto Mulyono, Galih Donakara, Kweceng dan Sugiharto,” terang Ripto.
Sementara tim Utara dikomandoi Sudharto, dengan anggota Mahmudi, Sunardi, Tarmudi, Rudi Nurcahyo (Rudi Becak). “Jadi 16 orang itu yang terpilih untuk mendaki puncak Everest,” katanya
Pada 26 April 1997, tim Selatan berhasil mencapai puncak Everest menjelang sore hari. Normalnya, pendakian Everest dilakukan pada pagi hari dan biasanya dilakukan pada bulan Mei.
“Hal itu sengaja dilakukan untuk mendahului tim Malaysia dan kami mencapai puncak pada bulan April, sehingga Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mencapai puncak Everest,” kata Ripto.
Di waktu yang bersamaan, tim Utara dari Tibet juga melanjutkan pendakian ke puncak. “Namun karena keputusan dari Jakarta, tim Utara harus ditarik mundur mengingat cuaca yang tidak memungkinkan. Akhirnya dari dua tim itu, hanya tim Selatan yang sampai ke puncak Everest,” terang Ripto.
Mengutip pernyataan Prabowo Subianto kala itu, Ripto Mulyono setuju jika pencapaian puncak Everest adalah kesempurnaan. Sehingga jika tim Selatan telah menjejak puncak, Prabowo tak ingin membagi beban dengan tim Utara yang terkena badai pada waktu itu.
“Jadi yang bisa disimpulkan adalah, kebanggaan mencapai puncak Everest adalah kehormatan bagi negara. Makanya saat tiba di puncak, Prabowo kemudian mengundang sejumlah pejabat negara menjemput para pendaki di Nepal,” kata Ripto.
Benar saja, Panglima TNI kala itu, Jenderal TNI Feisal E Tanjung dan stafnya menjemput tim yang baru kembali di Nepal. “Itu adalah suatu kebanggaan, bahkan kita juga disambut bak pahlawan saat di Halim Perdanakusuma,” papar Ripto.
![]() Dokumentasi tim Indonesia Everest-97 bersama Prabowo Subianto (sumber: koleksi pribadi Ripto Mulyono) |
Saat itu, Prabowo berpesan kepada para pendaki, bahwa pencapaian puncak Everest bukan hanya kebahagiaan bagi Indonesia, namun juga kebangkitan pariwisata Indonesia. Pasalnya, dengan melihat pariwisata di Nepal, yang memang menjadi sumber devisa negara mereka, Indonesia seharusnya mampu melakukan hal serupa.
“Selain kebanggaan atas pencapaian itu, bagi Indonesia ada hal lain, yakni pengembangan pariwisata yang bisa kita pelajari dari masyarakat Nepal,” ujar Ripto.
Selama pendakian Everest, Ripto menyebut, tim Indonesia berada dibawah koordinasi beberapa provider terkenal seperti: Adventure Consultant dan American International. Mereka yang menata kawasan basecamp bak istana.
“Ibarat masyarakat Baduy di padang pasir. Memasang tenda, seperti kondisinya saat di rumah,” terang Ripto.
Mengingat mendaki Everest membutuhkan waktu yang lama (long distance), Ripto setuju jika para pendaki mendambakan kenyamanan dan adaptasi yang baik dengan lingkungan sekitar. Kondisi itu tidak berubah, meskipun sudah 100 tahun rintisan Everest berlalu. (Jekson Simanjuntak)