Penghadangan yang dilakukan di jalan oleh keamanan perusahaan. Jalan ini adalah jalan satu-satunya untuk berwisata ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Foto : Greenpeace. |
Tim Mata Harimau Greenpeace sudah berputar arah saat ingin bertandang ke Desa Pemayungan, Jambi. Saat ingin keluar dari Kampung Mergo itu dan menemui Suku Anak Dalam di hutan dekatnya, lagi-lagi pihak keamanan PT Wira Karya Sakti (WKS), Grup Sinar Mas, tak mengizinkan. Berikut kisah mereka diceritakan melalui blog Greenpeace.
Selepas berjibaku memutar arah demi masuk Desa Pemayungan untuk menyaksikan kondisi salahsatu habitat Harimau Sumatera yang terdapat di provinsi Jambi, Tim Mata Harimau Greenpeace berniat mengunjungi salah satu kelompok Orang Rimba yang hidup di hutan dekat desa Pemayungan 4 Oktober 2011.“Dalam kepercayaan Orang Rimba, para dewa ada dalam wujud binatang. Salah satunya Dewa Mergo (Harimau) yang mereka agungkan,” kata Diki Kurniawan dari WARSI (Komunitas Konservasi Indonesia).
Secara adat Orang Rimba kerap berpindah untuk “membuang sial” setiap kali mereka tertimpa kemalangan atau kematian dalam kelompok. Karenanya Suku Anak Dalam (Orang Rimba) tak pernah memiliki rumah permanen. Paling-paling hanya beratap rumbia. Tak jarang mereka yang percaya dirinya sebagai bagian dari alam, memilih tidur beratapkan langit. Meski demikian tak pernah ada terdengar kisah Orang Rimba dimangsa atau memangsa Sang Dewa Mergo. Entah apa kiat mereka jika berpapasan dengan Panthera Tigris Sumatrae itu di alam liar.
Tim Mata Harimau bersama kawan-kawan dari WARSI dan WALHI Jambi memetakan jalur perjalanan menuju tempat Suku Anak Dalam. Untuk menghormati Suku Anak Dalam inilah, pada 4 Oktober 2011, Tim Mata Harimau Greenpeace yang terdiri dari lima pengendara motor berbaju loreng harimau dengan motor bercorak sama, menyempatkan diri masuk hutan.
Meski Ahmad Baki, 50 tahun, tetua Desa Pemayungan menyatakan Kelompok Suku Anak Dalam tetangga mereka itu sudah semakin bergerak masuk ke dalam hutan. Pasalnya, sejak 2009 hutan tempat mereka hidup turun-temurun jadi rebutan tenurial lahan wilayah hutan adat desa dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Lestari Asri Jaya (LAJ), suplayer kayu untuk perusahaan bubur kertas APP, Group Sinar Mas di Jambi.
Dan tak sampai 10 menit Tim Mata Harimau melintas di jalan tanah liat selebar dua meter yang biasa disebut “Jalan Koridor” menuju hutan, sebuah mobil patroli “keamanan” berplat nomor BH 9093AQ segera mengejar dan memotong dari depan. Dua petugas berseragam safari hitam keluar dan mendekati lima pengendara motor. Suhartanto yang bersafari hitam dengan pin emas di dada kiri lantas merebut satu persatu kunci 6 mobil pengiring Pengendara Motor Mata Harimau. Pin emas Suhartono itu berlambang gambar PT Wira Karya Sakti (WKS), Grup Sinar Mas.
Penghadangan yang dilakukan di jalan oleh keamanan perusahaan. Jalan ini adalah jalan satu-satunya untuk berwisata ke Taman Nasional Bukit Tigapuluh“Kalian mau apa di sini? Saya sudah tahu kampanye kalian itu sejak dari Peranap (Riau)!”, kata Suhartanto, sambil merebut paksa kunci mobil. Suhartanto mengklaim jalan itu adalah milik perusahaan karena dibangun oleh PT WKS.
Menurut Peta Pemilikan dan Pengembangan Lingkungan yang diklaim sepihak PT LAJ, wilayah itu memang masuk konsesi PT LAJ. Namun karena PT WKS yang membangun jalan, maka Sinar Mas Grup seakan mengatur bahwa PT WKS lah yang berhak “mengatur” siapa saja yang keluar masuk.“Kalau tak ada perusahaan ini, tidak akan ada pula jalan ini!,” kata Suhartanto, berteriak.
Karenanya, menurut dia, perusahaan tak mengizinkan sembarang orang boleh keluar masuk jalan itu. Termasuk orang-orang yang hanya ingin berwisata alam ke Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, tempat konservasi Harimau Sumatera yang dipagar betis oleh wilayah konsesi Grup Sinar Mas, atau pun mereka yang ingin menemui Suku Anak Dalam di hutan desa seperti Tim Mata Harimau. Bahkan penduduk lokal Desa Pemayungan sendiri harus melapor ke pos penjagaan setiap kali ingin berladang jika ladang mereka itu dianggap masuk wilayah konsesi PT LAJ.
Tak pelak perdebatan pun terjadi antara pihak keamanan PT WKS dengan Tim Mata Harimau. Situasi memanas saat Suhartanto berusaha meninju Kepala salah satu dari Tim Mata Harimau Rusmadya Maharrudin. Dari jauh, seorang anggota Brimob asal Markas Kepolisian Jambi, Kasdir, 30 tahun, melenggang menghampiri sambil membawa sepucuk senapan laras panjang yang belum terkokang. Namun Kasdir tak banyak bicara dan hanya mendengarkan.
“Kami ini tak ingin ada masalah. Kami hanya ingin mengunjungi Suku Anak Dalam sebagai bagian dari Kampanye Mata Harimau. Jika bapak tidak percaya, silahkan kawal kami keluar masuk hutan menemui mereka,” kata Rusmadya.
Permintaan ini ditolak dan tarik ulur kembali terjadi. Akhirnya Suhartanto baru bersedia mengembalikan kunci-kunci mobil dengan syarat : Tim Mata Harimau harus keluar ke wilayah Desa Pemayungan dikawal mereka. Tim Mata Harimau pun batal mengunjungi Suku Anak Dalam. Perdebatan kembali terjadi kembali saat mobil patroli PT WKS itu masih mengikuti hingga Tim Mata Harimau telah berada di jalan yang lebih kecil yang disebut “Jalan Pemda”. Perdebatan baru berakhir ketika mobil PT WKS akhirnya mundur dan masuk kembali ke Jalan Koridor. Begitu sulit masuk dan keluar Kampung Mergo. Tak sembarang orang bisa melakukannya. (Tim Mata Harimau).