BANDUNG, BL-Sungai Citarum saat ini tercemar berat, yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Hal tersebut terungkap dalam laporan Greenpeace berjudul ‘KonsekuensiTersembunyi’.
Laporan yang diluncurkan Greenpeace pada bulan Mei lalu itu memperlihatkan bahwa pencemaran sumber air oleh industri telah mengakibatkan biaya ekonomi, sosial dan lingkungan yang sangat besar dalam jangka panjang dan ini harus dibayar mahal oleh masyarakat.
Institute of Ecology Universitas Padjadjaran, menemukan potensi resiko pencemaran di Sungai Citarum terhadap manusia dan lingkungan sudah memasuki tahap yang serius. Sedimen sungai ditemukan makin kehilir makin beracun, keanekaragaman biota menurun akibat bahan-bahan kimia berbahaya dan telah terjadi akumulasi logam berat pada ikan-ikan di Sungai Citarum.
Hasil polling Greenpeace bersama LP3ES pada bulan Maret yang lalu menunjukkan bahwa sebanyak 79.8% masyarakat tau bahwa Sungai Citarum telah tercemar oleh limbah beracun dan berbahaya industri dan 92,3% masyarakat mengetahui bahwa limbah beracun dan berbahaya mempunyai dampak yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Sebanyak 81,5% masyarakat mengetahui bahwa mereka mempunyai hak untuk bertanya mengenai limbah beracun dan berbahaya yang mencemari sungai dan air dan 63.5% masyarakat setuju untuk mengambil peran aktif dalam menjaga dan mencegah pencemaran Sungai Citarum dari pencemaran industri. Sementara itu 81% masyarakat setuju Industri harus berhenti membuang limbah berbahaya dan beracun ke dalam Citarum.
Pada 3 Mei 2011 lalu, Greenpeace meluncurkan kampanye penyelamatan sumber air bersih di Indonesia. Kampanye bertajuk “Citarum Nadiku, Mari Rebut Kembali” berfokus pada Sungai Citarum, sungai paling penting di Jawab Barat, yang juga disebut beberapa pihak sebagai sungai terkotor di dunia. Dalam peluncuran itu, Greenpeace juga mengumumkan hasil jejak pendapat yang diantaranya adalah 81 persen masyarakat sekitar Bandung setuju bahwa industri harus segera menghentikan polusi di sungai itu.
Sungai Citarum serupa dengan Chao Phraya, Neva, Marilao dan Yangtze yang merupakan sumber air minum, pemasok air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, juga memenuhi kebutuhan kota-kota besar seperti Shanghai, Bangkok dan St. Petersburg. Meski sering tidak terlihat mata telanjang, banyak substansi beracun, persisten dan bioakumulatif ditemukan di sungai-sungai ini, dimana sebagiannya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan sulit ditangani.
“Dampak polusi ini kepada kesehatan manusia, lingkungan dan ekonomi lokal jarang dipertimbangkan atau dikompensasi. Bukan karena semua itu sulit untuk dihitung, tetapi karena sulitnya melacak pelaku polusi dan sulitnya membawa industri pelaku polusi itu untuk bertanggung jawab membersihkan polusi itu. Akibatnya, kita pembayar pajak yang harus menanggung semua itu,”kata Ahmad Ashov Birry, Juru Kampanye Air Greenpeace Asia Tenggara.
Sebelumnya Asian Development Bank (ADB) juga pernah menempatkan Citarum sebagai merupakan sungai yang paling tercemar di dunia, disebabkan oleh sejumlah industri yang berada di sekitar Citarum membuang limbah beracun dan berbahaya ke sungai.
Greenpeace menyerukan pemerintah Indonesia dan industri untuk berkomitmen mewujudkan masa depan bebas limbah beracun, dengan mengambil aksi nyata segera yang transparan untuk menghilangkan penggunaan substansi-substansi limbah beracun berbahaya. (Marwan Azis)