Subak Bali. Foto : dok Wikipedia. |
BALI, BL– Subak, sistem irigasi sawah khas Bali telah dianugerahi status Warisan Dunia untuk kategori lanskap budaya dari UNESCO.
Selama lebih dari 1000 tahun, subak berhasil menjaga keberlangsungan jasa lingkungan pertanian, namun kini terancam akibat kepopulerannya.
Dengan lebih dari 2 juta pengunjung setiap tahunnya, subak, sistem irigasi sawah khas Bali, terancam keberlanjutannya justru karena rasa kagum yang teramat besar.
“Lanskap dan tradisi budaya subak sangatlah populer, sehingga petani pun menjual sawah mereka kepada pengembang, dan membuat luas lahan produksi berkurang 1000 hektar setiap tahunnya,” kata Steve Lansing, antropolog ekologi yang telah mempelajari subak sejak 1974.
“Karena subak adalah sebuah sistem yang terpadu, maka ketika sebagian lahan dijual, beban yang ditanggung oleh persawahan di sekitarnya akan meningkat. Kondisi ini memberikan tekanan yang lebih besar bagi petani untuk menjual sawahnya, yang kemudian mengancam keberlangsungan seluruh sistem. Jika laju hilangnya lahan tetap berlanjut seperti sekarang, maka seluruh lahan subak terancam dan jika tidak ada tindakan yang diambil dalam beberapa tahun keseluruhan sistem akan hancur.”jelasnya melalui keterangan persnya (29/8).
Untuk mencegah hal ini, UNESCO mengadopsi model bottom-up yang selama ini telah digunakan subak sebagai rencana perlindungan sistem tersebut. Dalam rencana yang dikembangkan oleh Steve dan rekan-rekannya yang merupakan penduduk Bali, sebuah Dewan Pengurus yang terdiri dari kepala desa dan subak bertugas mengelola wilayah warisan dunia ini. Dewan inilah yang memutuskan aspek mana dari lanskap yang dapat melibatkan pengunjung, menarik biaya kunjungan mereka, dan menggunakan pendapatan ini untuk kepentingan bersama.
“Subak akan menjadi situs UNESCO pertama di Asia yang dikelola secara lokal, dan bukan oleh pemerintah,” ujar Steve dalam Annual Ecosystem Services Partnership (ESP) Conference keenam di Bali. “Kami berharap dewan tersebut dapat bertindak cepat untuk mengatasi ancaman terhadap keberadaan subak.”tambahnya
“Perkembangan penting yang perlu dicatat di sini adalah bagaimana usaha pelestarian tidak hanya dilakukan di lahan persawahan, tapi juga di sistem pengelolaannya,” kata Meine van Noordwijk, kepala peneliti di World Agroforestry Centre yang merangkap sebagai ketua penyelenggara konferensi.
Subak mengelola sistem pengairannya sendiri yang terkait erat satu sama lain. Hal ini berbeda dengan situs warisan UNESCO lainnya di Asia, di mana biasanya dibentuknya sistem pengelolaan dengan pendekatantop-down.
Ketahanan subak sebelumnya teruji oleh Revolusi Hijau di tahun 1970-an, ketika pemerintah Indonesia memperkenalkan teknologi-teknologi modern seperti varietas baru padi, pupuk kimia, dan pestisida organik. Saat itu, petani didorong untuk menanam padi sesering mungkin dengan pupuk dan pestisida jenis baru, yang penggunaannya melampaui pola sistem pura air yang terkontrol, yang sebenarnya memberikan pasokan pupuk dan pengendalian hama alami.
Steve menjelaskan, kebijakan ini memiliki hasil yang tidak direncanakan. Jeda antar masa produksi yang tidak berlangsung bersamaan menyebabkan ledakan hama. Peralihan ke teknologi modern mempengaruhi aspek lingkungan lain, contohnya penggunaan pupuk pada air yang telah kaya nutrisi berarti pupuk tersebut akan larut ke sungai dan mengalir ke laut, kemudian memicu pertumbuhan ganggang yang menutupi dan membunuh terumbu karang. Kini, sistem pura air telah kembali digunakan, namun masalah yang disebabkan oleh penggunaan pupuk berlebihan masih terjadi.
Di Bali, sistem pura air yang diwariskan nenek moyang memungkinkan subak untuk mengatur kegiatan di sepanjang aliran sungai. Naskah leluhur dari raja-raja Bali di abad kesebelas menyebutkan tentang sistem subak dan pura air yang sebagian masih berfungsi sampai sekarang. Sistem pengairan dianggap sebagai anugerah dari dewi penguasa danau yang terbentuk dari kawah. Setiap subak memberikan persembahan kepada para dewa dewi di pura air masing-masing. Pura ini juga menjadi tempat bertemu bagi para petani guna memilih pemimpin dan membuat keputusan bersama tentang jadwal pengairan mereka. Kelompok-kelompok subak yang memiliki sumber air yang sama membentuk perkumpulan pura air per wilayah, di mana semua subak menyepakati jadwal tanam di Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Melalui cara ini, setiap pura desa mengendalikan air yang mengalir ke teras sawah terdekat sedangkan pura wilayah mengendalikan air yang mengalir ke daerah yang lebih besar,” jelas Steve. “Pengaturan air merupakan faktor penting untuk pertumbuhan padi. Ini disebabkan oleh dua hal: pertama, air mengalir melalui bebatuan vulkanis yang kaya akan mineral seperti fosfat dan potasium. Di sini, sawah berfungsi seperti kolam buatan, di mana air yang subur menghasilkan efek seperti akuarium, yaitu proses ketika air membantu pertumbuhan padi melalui penyediaan nutrisi. Kedua, daerah hulu subak memastikan bahwa air mengalir ke hilir. Ini mencerminkan pola tanam dan panen yang berlangsung bersamaan yang ternyata merupakan sistem pengendalian hama yang sangat baik dan menguntungkan semua pihak.”
Dengan menyelaraskan jadwal irigasi antar subak yang berdekatan, populasi hama dapat dikendalikan ketika musim panen dan pengairan, yang menghilangkan makanan dan habitat hama..
“Subak telah mencapai kesuksesan dengan menerapkan skala kerja sama yang tepat melalui suatu sistem pengendalian dan pembagian air yang membentuk sistem pengairan terpadu di Bali, yang telah menjaga keseimbangan lingkungan lahan persawahan selama lebih dari 1000 tahun,” kata Steve. (Marwan Azis).