Biasakan minum air putih. Foto : theage.com.au |
Oleh : Andy Hendraswanto*
Bumi Indonesia yang terbentang dari pulau Sabang hingga Merauke dengan rangkaian pulau besar dan kecil mengandung air yang cukup melimpah sebagai sumberdaya atau aset nasional yang harus dijaga kelestariannya sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945.
Air merupakan kebutuhan pokok yang menunjang aktivitas masyarakat sehari-hari baik untuk kebutuhan minum dan masak hingga kebutuhan untuk sektor industri dalam memproduksi produk secara massal.
Namun dalam perjalanannya, Ketersediaan air belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara tepat akibat pertambahan penduduk dan aktivitas ekonomi. Dari 691.314,6 juta meter kubik per tahun hanya pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang masih memiliki cadangan air yang cukup besar sementara pulau Jawa telah mengalami defisit air yang cukup mengkhawatirkan.
Ketersediaan(penawaran) air di pulau Jawa hanya 30.569,2 juta meter kubik per tahun sementara angka kebutuhan air selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2000, pulau Jawa membutuhkan air sebesar 83.378,2 juta meter kubik sehingga ada defisit air sebesar 52.809 juta meter kubik. Dan pada tahun 2015 diprediksi kebutuhan air mencapai 164.672 juta meter kubik sehingga akan mengalami defisit air sebesar 134.102,8 juta meter kubik.
Ya, pulau Jawa akan mengalami defisit air cukup besar. Ini tidak mengherankan karena penduduk Indonesia sebagian besar menghuni pulau Jawa. Selain itu, aktivitas industri dan keuangan masih berbasis di pulau Jawa.
Begitu pula sektor pertanian dan peternakan masih mendominasi ekonomi agraris di Jawa. Daya tarik Jawa begitu besar karena pusat pemerintahan juga berada di pulau Jawa (DKI Jakarta) sehingga arus urbanisasi antarpulau juga tak dapat dihindari. Beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur sudah memasuki posisi kritis air dan waspada air, termasuk propinsi DKI Jakarta yang telah memasuki fase kritis air.
Cerminan defisit air tersebut menggambarkan bahwa permintaan air di pulau Jawa yang begitu besar. Permintaan atau kebutuhan air sekarang dapat diukur melalui konsep air virtual yang pertama kali digagas oleh Profesor J.A. Allan. Air virtual merupakan sejumlah air yang tersimpan (terkandung) dalam produk pertanian, perkebunan, peternakan atau industri. Jumlah air virtual merupakan total seluruh air yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan produk pertanian atau peternakan dari awal hingga akhir proses sampai produk tersebut memasuki perdagangan. Sumber air virtual berasal dari air hujan, air tanah maupun irigasi.
Sebagaimana kita ketahui, pertanian di pulau Jawa masih membutuhkan air yang cukup besar dimana kebutuhannya mencapai 4.000 meter kubik per detik. Untuk memproduksi padi dalam 1 kg membutuhkan 2,150 liter air virtual. Bahkan angka tersebut membengkak ketika padi diproses menjadi beras yang membutuhkan air sebesar 3,209 liter/ kg.
Konsumsi beras yang semakin tinggi dan dibarengi dengan cara tanam yang boros air menjadi salah satu kendala dalam mengelola ketahanan pangan. Karenanya intervensi teknologi tanam model SRI perlu disebarluaskan agar petani dapat melakukan budidaya padi yang efesien dan efektif.
Selain itu pola penganekaragaman tanaman dalam areal lahan perlu dipertimbangkan agar pengelolaan air menjadi efektif dalam menunjang kesejahteraan petani. Contohnya, jagung hanya membutuhkan 1.285 liter, gula tebu hanya cukup memakai 163 liter saja dalam proses produksinya. Sementara itu, Pisang membutuhkan 859 liter dan kentang hanya membutuhkan 255 liter.
Selain itu, munculnya budaya konsumerisme juga turut memperbesar kebutuhan air. Seperti dalam kajian Hoekstra, pola konsumsi makanan fast food turut mencerminkan seberapa besar air yang digunakan dalam proses produksi sebuah produk. Contohnya, 1 potong Hamburger saja (150 gram) membutuhkan 2.400 liter air. Belum lagi dalam fashion jika kita mengenakan celana jeans membutuhan air sebesar 10.850 liter ,sepasang sepatu kulit membutuhkan 8.000 liter air, baju katun membutuhkan 8.200 liter air dan sehelai kemeja melahap 2.700 liter.
Dengan kondisi seperti itu menuntut kita untuk lebih bijaksana dalam cara mengkonsumsi produk agar defisit air tidak semakin besar selain diimbangi dengan aktivitas penanaman pohon yang lebih aktif dan ekspansif guna menjaga ketersediaan air dalam tanah. Kepedulian kita juga turut berkontribusi menjaga keseimbangan ekosistem serta mengurangi dampak perubahan iklim.
*Penulis adalah kontributor Beritalingkungan.com.