JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Paripurna Sidang Rakyat yang berlangsung Senin (1/6/2020) menyatakan tidak mengakui Undang-undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang baru disahkan DPR.
Peserta Sidang Rakyat juga menilai Paripurna DPR 12 Mei lalu tidak kuorum, saat mensahkan UU Minerba yang baru. UU itu dinilai tidak partisipatif, tidak relevan dengan fakta yang terjadi, dan dianggap amoral karena memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.
Karena itu, mereka menganggap UU Minerba 2020 sebagai produk gagal dan ilegal, serta dinyatakan batal demi hukum, atas nama kedaulatan rakyat dan demi kelestarian lingkungan.
“Seluruh kontrak, perjanjian, dan izin yang diterbitkan berdasarkan undang-undang ini batal demi hukum“, tegas Timer Manurung perwakilan dari Auriga, dalam siaran pers yang diterima Berita Lingkungan (1/6/2020).
Selanjutnya, Sidang Rakyat menurut Timer meminta mengembalikan sepenuhnya hak ruang hidup kepada rakyat. “Dengan demikian rakyat memiliki hak veto untuk menyatakan tidak dan menolak kegiatan pertambangan di wilayahnya”, kata Timer.
Negara, khususnya pemerintah, oleh Timer diminta melakukan pemulihan atas kerugian yang telah dialami rakyat dan kerusakan lingkungan karena aktivitas pertambangan selama ini
Sementara itu, Merah Johansyah dari Jatam menilai UU Minerba merupakan bentuk kejahatan yang dilegalkan, tak dapat diterima, karena tidak berangkat dari evaluasi menyeluruh dan mendalam atas UU sebelumnya.
“UU ini juga bertentangan dengan semangat desentralisasi karena mencabut kewenangan pemerintah daerah“, ujar Merah.
Sidang Rakyat dihadiri oleh 85 peserta sidang, para akademisi, serta tokoh lintas agama dan telah ditonton lebih dari 10 ribu kali. Peserta sidang adalah warga di wilayah pertambangan dan pembangkit listrik bertenaga batu bara dari seluruh Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua yang selama ini merasakan dampak buruk investasi pertambangan.
Dalam Sidang Rakyat ini, tergambar jelas bencana ekologis seperti banjir, polusi udara, hilangnya hutan dan gangguan debu akibat usaha pertambangan. Kesaksian warga bahkan menyebutkan telah terjadi tragedi kemanusiaan, seperti kematian di lubang tambang, desa lenyap akibat penggusuran, dan tindakan sewenang-wenang pengusaha tambang, sementara pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
“Padahal kewajiban pemerintah adalah memastikan keselamatan rakyat, bukan justru membiarkan rakyat sendirian menghadapi kepentingan bisnis tambang“, tegas Merah.
Juru Bicara bidang Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menilai, aktivitas pertambangan terbukti menimbulkan masalah kesehatan bagi warga. Hal itu ditandai dengan munculnya beberapa penyakit endemik di berbagai tempat.
Selain itu, Hindun menyayangkan terjadi kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidup mereka. Tak hanya itu, menurut Hindun, praktik korupsi merajalela dalam politik perizinan tambang yang diobral.
“Terutama di masa-masa pergantian kepemimpinan, baik di pusat maupun di daerah juga seakan tak terhindarkan“, ujarnya.
Selama 4 hari pelaksanaan Sidang Rakyat, semua peserta sepakat jika UU Minerba 2020 sengaja hadir untuk mengedepankan kepentingan oligarki industri ekstraktif, serta membuat rakyat di wilayah tambang dan PLTU semakin menderita, dan lingkungan rusak.
“Pada sidang ini, rakyat berpartisipasi dengan kesaksian paling jujur dan faktual, mengungkapkan bagaimana sebenarnya kebijakan investasi pemerintah di sektor pertambangan yang menghancurkan hidup jutaan rakyat dan menguntungkan 1% oligarki pengusaha tambang dan politikus“, pungkas Hindun.
Sidang Rakyat kali ini sengaja digagas, sebagai sidang tandingan atas pengesahan UU Minerba pada 12 Mei lalu, yang dalam prosesnya tidak pernah melibatkan publik. (Jekson Simanjuntak)
–>