![]() |
Kawasan wisata Puncak Bogor. Foto : Beritalingkungan.com/Marwan Azis. |
BOGOR, BL- Tutupan hutan yang cukup luas pada kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung atau Puncak Bogor kini terus berkurang.
Berdasarkan data yang dirilis Forest Watch Indonesia (FWI) hari ini (10/8) terungkap, hanya dalam waktu 10 tahun, areal berhutan di kawasan penyokong tata air DAS Ciliwung telah hilang seluas hampir 5.000 hektar atau setara dengan luas Kota Sukabumi.
Pihak FWI mengaku telah melakukan pemantauan perubahan tutupan hutan kawasan Puncak Bogor yang terjadi sepanjang 10 tahun terakhir, yaitu pada periode waktu tahun 2000-2009. Berkurangnya kawasan berhutan itu menyebabkan daerah tangkapan air utama di DAS Ciliwung kini hanya tersisa 12% dibandingkan luas total kawasan DAS yang mencapai 29 ribu hektar. Selama ini berfungsi menjadi menara air atau daerah tangkapan air.
Koordinator Program FWI, Markus Ratriyono mengungkapkan, kawasan Hutan Lindung Puncak selain dikuasai oleh Perhutani sebagai pengelola hutan produksi di Jawa, juga ditemukan lahan-lahan privat yang diperkirakan lebih luas dari lahan masyarakat setempat.
FWI juga melakukan pengecekan lapangan pada dua kecamatan di wilayah Puncak, yakni Kecamatan Megamendung dan Cisarua. Ternyata, secara umum kawasan lindung di kedua kecamatan tersebut kini berwujud areal kebun dan rumah-rumah peristirahatan. Perubahan fungsi kawasan lindung yang terus terjadi ini bahkan seolah mendapat dukungan dari Pemerintah. Rumah-rumah peristirahatan tersebut disokong dengan kemudahan akses jalan dan jembatan yang dibangun dengan dana Pemerintah.
Jaringan jalan yang terbangun di daerah ini juga menggambarkan betapa luas pembukaan lahan di dalam kawasan hutan lindung. Di Kecamatan Megamendung misalnya, jaringan jalan sudah masuk sejauh 2 kilometer dari batas kawasan hutan lindung, bahkan di daerah-daerah dengan kenampakan kontur yang relatif curam.
Meskipun ditemukan beberapa kelompok “hutan”, tetapi tidak semua tipe hutan dapat memberikan fungsi tata kelola air dengan baik, terutama menyimpan air sementara dari adanya hujan. Dengan bentuk penampang daun yang lebar, hutan pinus memiliki tingkat evaporasi yang tinggi.
Saat ini tegakan pinus masih dapat dijumpai dalam petak-petak kecil secara mandiri atau pun di dalam petak lingkungan lahan rumah peristirahatan. “Beberapa lahan yang nampaknya baru dibuka juga menunjukkan bahwa meskipun sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung, pembukaan lahan masih saja berjalan,”
Situasi yang mengkhawatirkan di kawasan Puncak menurut pihak FWI, semestinya menjadi perhatian serius dari semua pihak. Terlebih kawasan ini menjadi kawasan penting bagi DKI Jakarta. Belajar dari kasus banjir yang sedang melumpuhkan Kota Manila, Bangkok, serta di Jakarta tahun 2002, maka situasi di Puncak perlu diwaspadai. Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat harus melakukan upaya perbaikan yang signifikan terhadap kawasan puncak.
Dr Ernan Rustiadi, M.Agr, seorang peneliti senior pada Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB mengatakan, urusan Puncak harus ditanggung secara adil, bukan jadi tanggungan Kabupaten Bogor saja, tapi juga Jakarta dan Pemerintah Pusat. Sementara Pemkab Bogor sendiri diharap tidak terlalu bernafsu mengkonversi fungsi-fungsi lindung di kawasan Puncak.
Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat vital bagi banyak daerah yang berada di bawahnya. Seluruh daerah Puncak di Kabupaten Bogor merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yaitu Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi dan Citarum. Lebih khusus lagi, Kawasan Hutan Lindung Puncak menjadi penyedia air utama untuk 3 DAS, yaitu Ciliwung, Kali Bekasi, dan Citarum.
Kawasan ini berperan mengairi daerah-daerah lumbung pangan Jawa Barat di Jonggol, Kelapa Nunggal (Kabupaten Bogor), dan terutama persawahan di Pantura (Kabupaten Bekasi dan Karawang).
Dalam PP No 26. Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan bahwa Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur menjadi dasar dalam penetapan Puncak sebagai kawasan lindung.
Namun belakangan Pemda Provinsi Jawa Barat melalui Peraturan Daerah (PERDA) Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 telah mengubah peruntukan kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi.
Tak berhenti sampai disitu, Pemerintah Kabupaten Bogor juga berencana merivisi peraturan tata ruang (RTRTWK) untuk menyesuaikan dengan aturan Perda Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010.
Revisi RTRW Pemda Bogor itu akan membawa impilikasi bahwa hutan lindung seluas 8.745 hektar di kawasan Puncak dibolehkan dikonversi menjadi hutan produksi, pemukiman dan perkebunan. Jika revisi tersebut jadi dilaksanakan, maka hutan lindung di kawasan wisata Puncak, Bogor, Jawa Barat, terancam hilang. Hutan lindung yang akan diubah menjadi hutan produksi mencakup wilayah Cisarua, Mega Mendung, dan sebagian kawasan Ciawi.
Perubahan tersebut dikhawatirkan tidak hanya mempengaruhi kondisi di wilayah Bogor sendiri, namun juga berdampak negatif pada wilayah-wilayah di hilir seperti Bekasi, Karawang termasuk ibukota Jakarta yang hampir setiap tahun menerima banjir kiriman akibat kerusakan lingkungan daerah tangkapan air di bagian hulu atau Puncak Bogor.
Markus Ratriyono melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com menilai, Pemerintah tengah melakukan pembiaran dan mengabaikan tanggung jawabnya atas penghancuran daerah tangkapan air yang menyokong kehidupan ibukota negara.
”Kita semua perlu menuntut pertanggung-jawaban dari Pemerintah untuk memulihkan fungsi lindung di Kawasan Puncak.”tambahnya. (Marwan Azis).