Setidaknya dalam satu dekade, Kota Martapura dikenal hingga mancanegara, karena kekayaan batu mulianya yang sangat melegenda. Namun, menyajikan kilauan intan yang mempesona, ternyata harus mengorbankan banyak hal. Kerusakan lingkungan sekitar salah satunya.
“Jangan lupa lihat permata, murah-murah, lho”, demikian pesan teman-teman, begitu tahu saya akan berkunjung ke Kalimantan Selatan, tepatnya di Kota Martapura. Sejak jaman dahulu, propinsi ini sangat terkenal dengan permatanya. Mencari permata, intan, atau berlian kurang lengkap rasanya jika tidak mendatangi pertokoan Cahaya Bumi Selamat (CBS) Martapura, Kabupaten Banjar. Di sinilah, beragam jenis batu-batu mulia itu mudah ditemukan.
Selain itu, hal lain yang membuat pertokoan ini cukup terkenal, yakni harga yang ‘miring’ dibanding di tempat lain dan dekat dengan pendulangan intan sehingga terjamin keasliannya. Sebagai tambahan informasi, berlian merupakan intan yang sudah dikikis bagian luarnya. Sedikitnya setengah bagian dari intan harus dibuang untuk menghasilkan batu berlian yang berkilau.
Di pertokoan CBS tersebut kita akan mendapati 229 toko dengan beragam ukuran. Empat unit toko berukuran 4×7 meter, 172 unit toko ukuran 4×4 meter, 36 unit ukuran 2×3, dan enam unit ukuran 3×3 meter. Sementara di lantai atas terdapat satu unit toko berukuran 11×22 meter. Namun dari toko-toko tersebut, tak semuanya menjual batu mulia. Sisanya menjual aneka souvenir, seperti kain sasirangan.
Perdagangan intan di Banjarbaru sudah tersohor sejak zaman Jepang. Saat itu ada semacam kewajiban bagi para pendulang untuk menjual intan-intan yang ditemukannya kepada orang-orang Jepang. Namun, lama kelamaan, pendulang boleh menjual kepada saudagar lokal. Mereka pun bertransaksi di di pasar kecil tak jauh dari gedung bioskop di pasar Martapura itu. Transaksi dilakukan secara tradisional. Penjual langsung ketemu pembeli. Transaksi terjadi dan barang pun berpindah tangan.
Sekilas Pandang
Secara administratif, Propinsi Kalimantan Selatan dengan ibukotanya Banjarmasin meliputi 11 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Batola, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Balangan dan Tanah Bumbu serta Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru.
Secara geografis, Kalimantan Selatan, terletak di antara 114 19′ 13″ – 116 33’8″ Bujur Timur dan 1’21’49” – 1’10’14” Lintang Selatan dan terletak di bagian Selatan Pulau Kalimantan. Sebelah barat berbatasan dengan propinsi Kalimantan Tengan, sebelah timur dengan Selat Makasar, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan sebelah utara dengan Propinsi Kalimantan Timur. Luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan adalah 3.778.383,73 hektar atau hanya 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan secara keseluruhan. Wilayah bagian Barat dan Timur Propinsi Kalimantan Selatan dibagi dua oleh jajaran Pegunungan Meratus.
Wilayah Kalimantan Selatan banyak dialiri oleh sungai. Sedikitnya tercatat 64 sungai dan anak sungai yang membentuk 15 Sub Daerah Aliran Sungai (DAS). Sungai besar dan penting di Kalsel antara lain Sungai Barito, Sungai Martapura, Sungai Nagara, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Kurau, Sungai Pelilingkau, Sungai Kintap, Sungai Batu Licin, Sungai Sampanahan dan sebagainya. Umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal pada Pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat Makasar.
Intan Trisakti
Untuk melihat dari dekat kehidupan penambang intan yang terkenal itu, saya pun bergegas dari Banjarmasin menuju Desa Pumpung di Kelurahan Sungai Tiung, Kec. Cempaka, Kab. Banjar , Kalimantan Selatan. Menumpang kendaraan seorang teman, perjalanan ke tempat itu, berhasil ditempuh dengan waktu satu jam setengah. Jaraknya dari Banjarmasin hanya sekitar 40 KM.
Secara geologi, daerah tempat ditemukannya intan memiliki morfologi berupa pedataran sampai perbukitan bergelombang lemah dengan ketinggian 1 meter hingga 15 meter. Tanah penutup ketebalannya bervariasi dari 0,25 m – 7,5 m.
Intan biasanya terdapat pada endapan sungai dan juga ditemukan pada formasi Martapura (Opm) yang merupakan kipas alluvium tua. Selain itu juga ditemukan pada jenis batuan sedimen konglomerat dan batupasir dari formasi Manunggal berumur kapur. Sekarang ini setidaknya ada 23.514.000 m3 luas tutupan lahan yang dijadikan lokasi pertambangan intan di Kec. Cempaka.
Kawasan pendulangan intan di Kecamatan Cempaka sangat terkenal dan kini menjadi lokasi tujuan wisata, berkat penemuan intan sebesar telur ayam atau 166,7 karat yang disebut intan Trisakti pada 1960an. Lokasi pendulangan intan ini berada di sisi tenggara kota Banjarbaru.
Terakhir, para pendulang juga menemukan intan sebesar bola pimpong yang disebut Intan Putri Malu. Intan ini ditemukan di kawasan pendulangan di Kabupaten Banjar. Seiring dengan maraknya penambangan, baik secara legal maupun secara liar, keberadaan intan semakin sulit ditemukan, sehingga para pendulang hanya berharap pada peruntungan semata.
Aktifitas pendulangan intan tradisional sebenarnya sudah ada ratusan tahun silam, hingga masuknya perusahaan tambang intan PT Galuh Cempaka, dengan produksi pertahunnya mencapai 46.000 karat. Perusahaan modal asing ini sempat ditutup karena dinilai melakukan pencemaran lingkungan.
Penuh Resiko
Saat mengunjungi lokasi, terlihat orang-orang sedang berendam di lobang-lobang galian yang sisa airnya dialirkan ke sungai tak jauh dari tempat itu. Teriknya sinar mentari yang membakar kulit, tak menjadi penghalang mereka. Akibatnya, kulit pun menjadi legam seakan pertanda betapa kerasnya kehidupan yang mesti mereka jalani. Saat itu mereka tidak sedang mandi, melainkan meraup pasir sungai untuk mencoba peruntungan mendapatkan intan dan batu mulia lainnya.
Menurut Haji Udin (32), seorang agen pengumpul yang membawahi puluhan pendulang, mengungkapkan bahwa aktifitas pertambangan intan di wilayahnya merupakan yang terbesar di Kalsel, dimana jumlah warga berprofesi sebagai pendulang mencapai 1.000 orang lebih. Tercatat ada 200 kelompok pendulang yang beroperasi di empat wilayah yaitu Kelurahan Cempaka, Sungai Tiung, Bangkal dan Palam.
Di tempat ini, pendulang umumnya bekerja berkelompok, walau tak tertutup kemungkinan bekerja sendirian. Mereka yang berkelompok biasanya bekerja di bawah satu komando, pemilik modal. Pemilik modal yang menyediakan membiayai seluruh kebutuhan penambang yang berjumlah 5-10 orang per kelompok. Bila mendapatkan hasil, mereka berbagi dengan pemilik modal dan pemilik tanah dengan pembagian yang di sepakati. Biasanya, 10-20 persen untuk pemilik lahan dan sisanya dibagi dua antara penambang dan pemilik mesin.
Ade (42), adalah salah seorang pencari intan atau pendulang di aliran Sungai Pumpung yang berhasil saya temui. Dirinya merupakan generasi ketiga dari keluarganya yang turun termurun berprofesi sebagai pencari intan.
Dengan bertelanjang dada, tangan-tangan keras Ade meraup pasir dari dasar sungai Pumpung dan dimasukkan ke dalam lenggangan, sebuah alat untuk mendulang berbentuk kerucut terbuat dari kayu. Pasir yang terkumpul kemudian dilenggang (goyang) di permukaan sungai untuk memisahkan batuan koral dengan pasir.
“Semakin hari, intan semakin sulit didapat, dan arealnya pun semakin sempit” celoteh Ade, sembari mengumpulkan pasir-pasir tersebut di pinggir sungai. Di dalam pasir sungai ini, para pendulang berharap ada terselip intan dan batu permata.
Setiap harinya, Ade dan puluhan teman-temannya, menghabiskan waktu berendam di sungai dari pagi hingga petang. Mencari intan di dasar sungai pumpung, bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, karena aliran sungai ini adalah tempat pembuangan limbah dari aktifitas pendulangan yang menggunakan mesin di bagian hulu sungai.
Di saat intan sudah sepi seperti sekarang, para penambang tidak diberi biaya akomodasi, hanya diberi modal untuk menjalankan mesin. Jika mereka dapat intan, biasanya langsung dijual ke pembelantikan (pengumpul) yang kerap nongkrong di lokasi penambangan. Hasilnya, dibagi dengan pemilik mesin dan pemilik lahan.
Tidak ada harga yang pasti untuk intan mereka. Yang ada hanyalah harga kesepakatan. Tapi, harga di pendulangan tidak jauh berbeda. Pembedanya adalah kualitas intan itu sendiri, cacat atau tidak, besar kecil (jumlah karat), warna, dan selera pembeli. Bisa saja ada intan yang menurut sebagian orang jelek, tapi disukai orang, harganya jadi sangat mahal.
Penjualan intan yang didapat, dia serahkan sepenuhnya kepada penambangnya. Biasanya, di areal tambang sudah ada agen pengumpul yang biasa membeli intan dari para penambang.
Seorang Pembelantikan, Haji Basran mengatakan, ia membeli intan langsung dari penambang. Terkadang dia juga melakukan jual beli dengan sesama Pembelantikan. Tidak ada kepastian jumlah yang dia peroleh. Dalam sebulan, terkadang dapat lima butir dengan berbagai ukuran (karat), tapi terkadang tidak dapat sama sekali.
Akhir-akhir ini, saat memasuki musim penghujan, intan sulit didapat karena penambangnya banyak yang libur.
Keuntungan yang didapat tergantung bagaimana dia bisa menawarkan intan itu kepada pembelinya di Pasar Intan Martapura. Pembelinya berasal dari masyarakat langsung yang datang ke pasar intan Martapura atau dijual ke toko intan.
“Kalau dijual ke masyarakat langsung, terkadang bisa untung banyak. Tapi kalau dijual ke toko, agak murah karena mereka sudah tahu standarnya. Lagipula mereka kan menjual lagi ke pembeli,” kata Haji Basran.
Diakuinya, aktifitas pendulangan intan di Kecamatan Cempaka dilakukan warga tanpa dibekali perijinan. Bahkan tambang konvensional ini, kerap menimbulkan korban jiwa karena peristiwa tanah longsor.
Setiap tahunnya, jumlah pendulang yang tewas tertimbun tanah galian mencapai belasan orang. Tetapi warga tidak pernah kapok, karena profesi mencari intan merupakan mata pencarian utama untuk tetap bertahan hidup. Selain uang dari penambangan intan habis untuk membayar utang, tak jarang diantara pendulang yang tak pernah memiliki intan barang se-gram pun.
Proses Sederhana
Mendulang intan di aliran sungai, biasanya dilakukan warga desa yang tidak mempunyai modal. Saking sulitnya mendapatkan intan, kini warga lebih mengandalkan mencari pasir dan batu koral yang mudah diperoleh dan sudah pasti ada pembelinya.
Selain mendulang secara tradisional, proses mencari intan juga dilakukan dengan menggunakan mesin-mesin pompa, kerap disebut tambang rakyat konvensional. Pekerjaan mendulang dimulai dari menembak lobang galian dengan cara menyemprotkan air lewat pipa.
Haji Udin selaku pemilik mesin, menyediakan dua mesin untuk 10 penambangnya. Satu untuk penyedot, satunya untuk penyemprot. Mulai menambang sejak tahun 2000, tiap hari dia menyediakan biaya operasional mesin, termasuk service dan sparepart.
Terkadang memberi biaya akomodasi. Tiap hari, dia menyediakan biaya untuk bahan bakar minimal 20 liter. Bahan bakar yang digunakan minyak tanah dicampur oli bekas.
Materi tanah, pasir bercampur bebatuan yang terkikis di dasar lobang, kemudian disedot menggunakan mesin pompa. Selanjutnya dilakukan penyaringan di sebuah anjungan berbentuk menara yang diletakkan di bibir lobang galian. Material hasil saringan itulah, dikumpulkan dalam sebuah kolam dan kemudian dimulailah kegiatan mendulang.
Penambangan Liar
Dalam lima tahun terakhir akibat terbukanya pasar intan yang lebih luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktivitas ekploitasi batu mulia di Kalsel samakin meningkat. Bukan saja ekploitasi yang dilakukan oleh para penambang resmi yang memiliki izin KP (Kuasa Pertambangan)tetapi juga banyak dilakukan oleh para penambang tidak resmi alias penambang liar, biasa disebut sebagai PETI.
Lebih parahnya lagi pertambangan illegal (PETI) di Kalimantan Selatan ditangani berdasarkan “kepentingan aparat” dan bahkan cenderung dilegalkan.
Munculnya tambang liar juga tidak terlepas dari warisan kebijakan pertambangan dari jaman orde baru dimana konsesi-konsesi pertambangan di hampir seluruh wilayah Indonesia ijinnya dikantongi oleh perusahaan besar dengan konsesi lahan yang sangat luas.
Di lain pihak, adanya perpindahan kebijakan dari pusat ke daerah yang diemplementasikan melalui UU Otonomi Daerah telah memberikan akses kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk ikut berperan dalam pemanfaatan sumber daya alam ini.
Akan tetapi pemberian konsesi kepada pengusaha lokal ini tentunya tidak semudah “membalik telapak tangan”, selain aturan mainnya yang belum jelas, areal yang mempunyai potensi tambang itu sendiri hampir semuanya telah dikuasai oleh perusahaan besar melalui mekanisme pusat. Kondisi inilah yang salah satu menjadi faktor pendorong timbulnya penambangan- penambangan liar.
Kekayaan alam ini terus dikeruk tanpa terkendali dan tanpa memperhitungkan dampak yang ditimbulkannya. Apakah itu secara legal maupun illegal, aktivitasnya terus berlangsung tanpa ada kontrol dari pemerintah.
Kondisi ini dimungkinkan karena masih adanya mental korup dari para pejabat, kebijakan yang eksploitatif serta lemahnya penegakan hukum. Bahkan hal ini diperparah dengan adanya keterlibatan TNI-POLRI dalam bisnis eksploitasi sumber daya alam ini, baik secara langsung melalui berbagai yayasan atau koperasi ataupun secara tidak langsung melalui para oknumnya.
“Pantasan, waktu berkunjung, saya sempat bertemu beberapa oknum TNI yang mengawasi tempat itu dengan
pakaian dan senjata lengkap”, gumanku lirih.
Sungai Tercemar
Seperti aktivitas pertambangan lainnya di Indonesia, pertambangan intan di Martapura – Kalsel juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup parah.
Kegiatan eksploitasi, lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali –apalagi dilakukan reklamasi— telah mengakibatkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. Limbah yang dihasilkan dari proses pencucian mencemari tanah dan mematikan berbagai jenis tumbuhan yang hidup diatasnya.
Pembiaran lubang-lubang bekas galian yang ditinggalkan begitu saja dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan tersebut seperti debu, rembesan air asam tambang dan limbah pencuciannya terjadi di hampir semua lokasi pertambangan dan bahkan mencemari air/sungai yang dimanfaatkan oleh warga.
Akibat pengelolaan yang buruk ini terjadi kerusakan lingkungan dan kehancuran ekosistem di banyak tempat, praktek pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, perampasan sumber kehidupan rakyat, dan penghancuran nilai-nilai dan budaya masyarakat adat.
Pengelolaan, hingga eksploitasi yang mestinya dapat meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bagi rakyat Kalimantan Selatan malah justru sebaliknya menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup parah, peminggiran terhadap masyarakat lokal/adat dan kemiskinan.
Saat ini pertambangan intan telah menghancurkan sumber daya alam di Kalsel. Aktivitas pertambangan terbuka yang telah menghabiskan tutupan lahan mengancam keberadaan daerah aliran sungai (DAS). Sekitar 50 persen DAS di Kalsel airnya sudah keruh, karena pengaruh kegiatan pertambangan terbuka yang menimbulkan erosi.
Secara kasat mata, akibat pertambangan terbuka di atasnya, mengakibatkan kondisi DAS di Kalsel cukup mengkhawatirkan. Banjir pun kerap mengancam. Akibatnya, saat hujanvdebit air yang melimpah tidak dapat tertampung lagi, sehingga DAS semakin menyempit setelah terpengaruh longsoran atau erosi tanah dari atas lahan yang sudah ditambang.
Selain itu, dampak penambangan dirasakan warga di sepanjang aliran Sungai Riam Kanan, Kabupaten Banjar. Air sungai yang seharusnya bening di musim kemarau, tetap saja keruh. “Hampir sepanjang tahun air keruh, tidak pernah bening walaupun musim kemarau,” tutur Ruslan, warga Jati Baru. Meski demikian warga masih memanfaatkan aliran sungai di pinggir desa untuk keperluan sehari-hari.
Keruhnya air sungai ini ditengarai disebabkan penambangan intan dan emas yang berada di atas. Ruslan mengakui di sepanjang sungai itu memang terjadi erosi. Tidak adanya pohon yang berfungsi menahan air menyebabkan longsor. Bahkan longsornya telah melebarkan sungai hingga enam meter.
Kalau kita lihat, semakin tahun semakin besar jumlah batu mulia yang dieksploitasi di Kalsel, dimana sebagian besar diekspor ke luar negeri. Namun disisi lainnya pemerintah setempat belum mampu menyejahterahkan rakyatnya dari hasil menguras sumber daya tambang tersebut.
Sejatinya, kebijakan pengelolaan sumber daya batu mulia ini baruslah berorientasi pada kelestarian alam dengan pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan pada mekanisme pasar yang eksploitatif. Sebuah kebijakan yang jelas-jelas telah mengabaikan kepentingan lingkungan hidup, hak-hak masyarakat lokal dan rasa keadilan. (Jekson Simanjuntak)