Dua petani mendiskusikan hasil pencatatan pada alat pengukur suhu dan kelembaban tanah pada kegiatan lapangan SLI di Rembun, Nogosari. Foto: Heru Ismantoro. |
Musim hujan ekstrem terjadi di Pulau Jawa beberapa tahun belakangan ini. Inilah bagian dari fenomena perubahan iklim yang melanda di seluruh penjuru dunia. Ketidakpastian iklim ini memukul banyak sektor, di antaranya adalah pertanian. Ke depan petani dipaksa harus beradaptasi dengan fenomena ini. Nah, bagaimana model-model adaptasi tersebut. Berikut reportase yang dilakukan Heru Ismantoro*di Kabupaten Boyolali.
Haji Muchlas menunjukkan raut wajah gembira ketika menyampaikan informasi bahwa pada musim ini dia bisa panen padi hingga 9,9 ton per hektare. Petani asal Desa Pulutan, Nogosari, Boyolali ini, sangat bersyukur karena di tengah maraknya serangan hama wereng, dia masih bisa panen dalam jumlah cukup banyak. Semua itu, menurutnya, karena dia mampu mengantisipasi perubahan iklim.
”Kalau kita bisa mengantisipasi perubahan iklim ini bisa menguntungkan. Tapi kalau tidak, bisa mencelakakan,” kata ketua kelompok tani Setyo Karyo, Pulutan itu,”katanya.
Mengutip data produksi padi dalam buku Boyolali dalam Angka 2008 ada tren penuruinan produksi padi di Boyolali.”Caranya mengatur bergantian sesama tetangga, satu menyiram yang lainnya ngantri. Biasanya satu patok sawah satu hari selesai. Jadi bergantian dan sejauh ini tidak sampai rebutan,” papar alumnus Sekolah Lapang Iklim (SLI) tahun 2009 ini.
Berbekal pengetahuan dari SLI itu pula Muchlas pada musim tanam lalu nekat menanam padi meski ada larangan dari pemerintah pascaterjadinya ledakan wereng. Untuk jaga-jaga, Muchlas memilih varietas yang agak tahan wereng yakni mikongga. ”Benar, saat padi umur 60-80 hari muncul wereng.” Muchlas tidak panik, dengan dibimbing petugas Dinas Pertanian, dia mengeringkan sawah dan kemudian mengepyakijarak antartanaman pada kotakan 2×2 meter sehingga sinar matahari masih hingga pangkal tanaman.
“Wereng kena panas tidak akan berkembang dan mati,” katanya. Muchlas juga bereksperimen memanfaatkan pestisida nabati yang dibuatnya dari bubuk tembakau untuk mengendalikan wereng. Hasilnya, sejumlah wereng dewasa mati.
Iklim yang tak menentu juga membuat umur padi menjadi genjah (cepat berbuah). ”Misalnya IR 64 yang normalnya usia 80-95 hari baru panen, tapi kini umur 75 hari sudah menguning,” ujar Susilo yang juga peserta SLI. Padi yang cepat menguning membuat sebagian bulir padi menjadi gabuk.
Hal lain yang juga dilakukan adalah pengelolaan air irigasi.”Model kami pembagian bergiliran atau istilahnya gontoran yang melibatkan petugas dari pengairan, Gapoktan dan P3A,” ujar Muksam yang juga Kaur Pembangunan Desa Rembun itu. Prinsipnyapemanfaatan air dibagi merata per kelompok tani secara bergiliran. Sedangkan pada musim kemarau, mereka menyiapkan sumur pantek. Sudah lima tahun ini, petani Rembun memakai air sumur pantek jika kekurangan air saat kemarau.
Petani juga menerapkan jejer legowo, teknik menanam padi dengan jarak tanam lebih renggang untuk memberi ruang bagi sinar matahari agar sampai di pangkal tanaman padi. Muksam mengatakan dia mencoba jejer legowo 4-1, artinya dalam setiap empat larik padi dikosongkan satu larik, untuk memulai larik berikutnya. “Dengan cara ini kalau ada wereng tidak perlu dipyaki karena sinar matahari sudah sampai tanah,” tuturnya.
* Liputan ini terlaksana atas bantuan fellowship SIEJ.