NUSA DUA, BALI, BERITALINGKUNGAN.COM — Wakil Direktur Eksekutif Aksi! for justice Risma Umar meminta semua proyek-proyek yang mengatasnamakan iklim untuk dihentikan, karena hal itu justru meningkatkan krisis ekologi, krisis iklim dan pelanggaran HAM berat.
“Stop proyek-proyek mengatasnamakan iklim karena telah menjauhkan komunitas untuk mendapatkan kembali pemulihan ekonominya,” ungkapnya. Hal itu berkaitan dengan arsitektur pendanaan global dalam bentuk Green Climate Fund (GCF) yang saat ini banyak masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut Risma, GCF atau dana iklim hijau seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat rentan akan dampak perubahan iklim. Dana tersebut idealnya bisa diakses dengan mudah, karena merupakan bagian dari komitmen global.
“Saya termasuk yang memonitoring GCF untuk konteks Indonesia dan internasional. Tetapi Indonesia hampir nol persen, dana itu diakses oleh masyarakat,” terangnya.
Hal itu terjadi karena beberapa faktor, seperti sistemnya yang dipersulit. Risma menilai, skema pendanaan iklim hijau ternyata memang diperuntukkan bagi koorporasi dari negara-negara industri, bukannya masyarakat rentan.
“Murni dana ini untuk bisnis,” tegas Risma.
Khusus di Indonesia, dia mengatakan hanya ada dua organisasi masyarakat sipil yang bisa mengakses dana tersebut, yaitu Kemitraan dan Yayasan KEHATI. “Katakanlah bahwa itu menjadi representasi NGO, tetapi itu pun dipersulit,” ujarnya.
Karena itu, Risma dan teman-temannya tengah berjuang agar kebijakan green climate fund lebih ramah terhadap komunitas rentan. “Kami sedang berjuang agar bisa direct access, karena selama ini di kebijakan GCF itu sulit sekali,” tegasnya.
Risma menambahkan, “Mengapa dia sulit, karena memang dipersulit dan memang diperuntukkan untuk perusahaan. Siapa yang bermain dibalik itu?”
Sementara itu, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dikenal sebagai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim secara tegas mengatakan bahwa GCF merupakan dana milik masyarakat. “Tetapi di balik itu ada permainan koorporasi dan negara-negara maju/ negara industri,” ungkap Risma.
Ketika banyak perusahaan telah berhasil mengakses GCF, utamanya perusahaan multinasional dan regional dengan lokasi proyek di Indonesia, menurut Risma, hal itu jauh dari prinsip keadilan. Masyarakat tetap menjadi pihak yang terpinggirkan dan terkesan pemerintah malah memberi restu.
“Pemerintah Indonesia memberikan garansi. Gila itu! Ntah karena dia tidak tahu. Ntah karena dia bisnis juga,” ujar Risma.
Dia menambahkan, “Jadi No-Objection Letter (NOL) yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan untuk proyeknya bisa mendarat di NTT, Papua, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, tetapi tidak ada partisipasi dari komunitas rentan, even NGO.”
Oleh sebab itu, ketika muncul gerakan masif yang yang menuntut agar GCF diberikan kepada mereka yang berhak, yakni masyarakat rentan, maka sudah selayaknya masyarakat berjuang untuk mendapatkan haknya.
“Ini dana masyarakat dan duitnya sangat besar sekali,” ungkap Risma. Itulah sebabnya di momentum KTT G20, masyarakat sipil harus bersuara untuk menuntut pengembalian dana iklim kepada masyarakat rentan, seperti perempuan, anak, nelayan, petani dan lansia.
“Menurut saya, untuk G20 mesti harus ditegasin bahwa GCF itu sebagai komitmen UNFCC yang seharusnya diperjelas sebagai dananya negara-negara berkembang yang mampu menjaga hutan,” katanya.
Harus juga diberi catatan bahwa dana tersebut tidak boleh jatuh ke tangan koorporasi hitam atau perusahaan yang memiliki rekam jejak buruk, seperti pelanggar HAM, perusak lingkungan, dan seterusnya.
Selain itu, Risma juga mengkritisi arsitektur global pendanaan iklim yang sampai hari ini belum menerapkan kesetaraan gender, meskipun perubahan iklim merupakan tantangan yang dihadapi masyarakat global termasuk perempuan. Hal itu bahkan diperparah dengan pandemi Covid-19.
“Itu sebabnya saya mengatakan, sampai hari ini GCF masih buta gender,” ujarnya. Hal itu terungkap ketika dana iklim yang ada ternyata penyerapannya tidak sampai 1 persen kepada perempuan yang menanggung dampak akibat perubahan iklim.
“Buta gender, padahal di kebijakan UNFCCC, bahkan di kebijakan GCF disebutkan bahwa setiap kebijakan dan proyek mesti dilakukan secara responsif gender,” terang Risma. Hal itu bisa dilihat dari tidak adanya gender action plan atau rencana aksi berbasis gender.
“Dan praktiknya itu nol besar,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)