Ilustrasi areal tambang. Foto : Okezone |
GORONTALO, BL – Koalisi Anti Mafia Tambang, yang merupakan gabungan dari sejumlah aktivis lingkungan, organisasi anti korupsi dan hukum dari Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Maluku Utara merilis sejumlah temuan, terkait potensi korupsi dan kerugian negara di sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan di keempat wilayah itu.
Berdasarkan pantauan koalisi, massifnya perusakan hutan dan ekstraksi sumber daya alam pada keempat provinsi itu , masih terkait erat dengan sejumlah skenario intervensi korporasi terhadap kebijakan di tingkat daerah maupun pusat.
Pelepasan kawasan hutan terbesar terjadi di Maluku Utara, seluas 849.922 hektar, menyusul Sulawesi Barat seluas 78.856 hektar, Sulawesi utara seluas 46.501 hektar dan Gorontalo seluas 22.605 hektar.
Khusus untuk tiga provinsi di Sulawesi yang terakhir disebutkan di atas.Pada sektor pertambangan terdapat 202.150,09 hektar wilayah pertambangan masuk dalam kawasan hutan lindung. Data yang diacu berasal dari Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan pada 2014 silam.
Sedang 69.940,2 hektar kawasan pertambangan lainnya, merambah kawasan hutan konservasi di ketiga provinsi tersebut. “ Ada 135 pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan dan 11 pemegang kontrak karya yang membuka lahan tambang di hutan lindung dan konservasi di Sulawesi Utara, Sulawesi Barat dan Gorontalo,” tambahnya.
Sukri, anggota koalisi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Barat menambahkan jika penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan, jelas melanggar UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.
“Kegiatan pertambangan yang diperbolehkan dalam kawasan hutan lindung adalah yang menggunakan sistem underground mining. Faktanya, sampai saat ini belum ada satupun perusahaan pemegang ijin yang menggunakan cara ini,”tukasnya seperti dikutip degorontalo.co (Sindikasi situs beritalingkungan.com).
Bocor Miliaran Rupiah
Akibat tidak tertib dan tegasnya birokrasi yang mengeluarkan ijin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam itu, pihaknya memerkirakan potensi kerugian penerimaan negara mencapai 47,93 miliar rupiah.Rinciannya, 27,8 miliar rupiah di Sulawesi Barat, 12, 9 miliar di Gorontalo dan 7,2 miliar di Provinsi Sulawesi Utara.
Selain itu di ketiga wilayah itu, dari 244 pemegang IUP, tercatat hanya ada satu pemegang IUP yang sudah memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan dokumen pasca tambang (Clean and Clear).
Terkait sejumlah temuan itu, koalisi tersebut mendesak pejabat penerbit ijin untuk segera mencabut ijin pertambangan yang bertentangan dengan peraturan . Pihaknya juga mendesak pihak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki kemungkinan korupsi di balik carut marut pemberian IUP bermasalah tersebut.
Temuan dan rekomendasi itu , sebelumnya telah disampaikan pihak koalisi pada acara monitoring dan evaluasi (Monev) Gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam Indonesia untuk sektor pertambangan,kehutanan dan perkebunan yang digelar oleh KPK , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Pertanian.
Acara yang digelar di Gorontalo pada Rabu ( 10/6) lalu itu bertujuan mengukur dan mengevaluasi, sejauh mana tindakan pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Maluku Utara dalam penyelamatan SDA pada ketiga sektor tersebut. Acara serupa, sebelumnya telah digelar di 12 provinsi di Indonesia pada tahun lalu.
“Ndak Enak”
Menanggapi temuan koalisi, Wakil ketua KPK, Zulkarnain pada kesempatan itu mengatakan pihaknya telah mematok deadline hingga akhir Juni ini, agar keempat daerah itu segera menertibkan ijin tambang yang bermasalah.
“Pemegang IUP yang yang tidak memenuhi kriteria clean and clear, harus segera memenuhinya, kalau tidak, (ijinnya) dicabut,” katanya.
Pihaknya juga mengakui jika sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan , menyimpan potensi korupsi. KPK telah menerima laporan masyarakat dari daerah mengenai hal itu. Namun begitu, dia enggan menyebutkan berapa besaran potensi korupsi dimaksud.
“Besar atau kecil, nanti kalau saya sebut, itu yang menonjol di berita (media), ndak enak, padahal yang kita dorong saat ini adalah tata kelola dan akuntabilitasnya,” kata dia. (Syam Terrajana/degorontalo.co)
–>