NUSA DUA-BALI, BERITALINGKUNGAN.COM — Perwakilan Global Network for Disaster Risk Reduction (GNDR) Hepi Rahmawati membeberkan laporan terbaru mereka bertajuk Views from the Frontline. Laporan tersebut menjelaskan rekomendasi tentang upanya mengurangi risiko bencana di masyarakat di seluruh dunia.
“Rekomendasi telah diinformasikan melalui wawancara dengan lebih dari 100.000 orang yang tinggal dan bekerja di 750 komunitas yang berisiko bencana,” ungkap Hepi saat menjadi pembicara pada diskusi “Broken Promises; The Reality of Climate Finance and Urgent Need to Fix It” di Bali, (6/10).
Secara kolektif, komunitas mampu memberikan strategi yang jelas tentang bagaimana cara mengatasi hambatan terbesar untuk membangun ketahanan dengan memperkuat inklusi, akuntabilitas pemerintah, berbagi informasi, solusi berbasis alam dan mekanisme keuangan tingkat lokal.
Dalam beberapa dekade, pemerintah, lembaga internasional, organisasi masyarakat sipil, dan orang-orang yang tinggal di komunitas berisiko telah berusaha mencegah bencana. Bahkan kebijakan global dan nasional telah datang silih bergantu.
“Namun berkali-kali kehidupan hancur oleh banjir, badai, kekeringan, penyakit, kekurangan pangan, kemiskinan, konflik dan pandemi,” kata Hepi.
Views from the Frontline adalah tinjauan global yang sifatnya independen tentang risiko dari perspektif mereka yang hidup di garis depan. “Ini adalah analisis sistemik dari perspektif lokal,” ujarnya.
Laporan ini mengidentifikasi dan membandingkan perspektif masyarakat lokal, perwakilan pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil (CSO) lokal. Informasi yang dikumpulkan memungkinkan pemangku kepentingan untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan praktik, dan memperkuat komunikasi dua arah antara masyarakat dan pengambil keputusan pengurangan risiko lokal, nasional, dan global.
Views from the Frontline didasarkan atas survei dengan 119.000 orang di 50 negara. Diketahui, pandemi Covid-19, konflik, perubahan iklim, pengungsian, dan kerawanan pangan telah meningkatkan paparan terhadap guncangan dan tekanan negatif, mendorong lebih banyak orang kedalam kemiskinan,
“Juga membalikkan kemajuan yang dicapai pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana,” ujarnya.
Saat survei dilakukan, GNDR menemukan sebanyak 84 aktor lokal telah terlibat untuk mengatasi dan mengakses ancaman dengan mempersiapkan kebijakan dan rencana, termasuk mengambil aksi untuk mengurangi ancaman tersebut.
“Ini merupakan pengecualian dari meningkatnya masyarakat rentan dimana mereka tidak menyadari nilai dari informasi yang seharusnya bisa mereka akses, sebelum dan selama bencana terjadi,” kata Hepi.
Selain kisah dari komunitas, laporan juga berbicara tentang pemerintahan setempat. Hasilnya cukup mengagetkan, bahwa 50% pemerintah lokal telah merespons dengan mengatakan, mereka tidak memiliki mekanisme yang legal untuk melakukan fasilitasi dan perjanjian bagi pembangunan komunitas yang tangguh.
Selain itu, sebanyak 60% responden yang merupakan anggota komunitas dan juga 47% dari pemerintah lokal menganggap local investment project tidak mempertimbangkan risiko lokal. “Sehingga tidak ada pengetahuan tentang pengembangan risiko,” katanya.
Komunitas juga mengakui jika mereka tidak memiliki akses langsung terhadap pendanaan untuk menghasilkan ketangguhan seperti yang diinginkan. “Ini yang mengakibatkan mereka kesulitan mengakses pendanaan yang dibutuhkan,” tegas Hepi.
Bahkan terkait dengan penggunaan anggaran bencana yang telah dialokasikan oleh pemerintah lokal, komunitas sering memiliki kekurangan terkait dengan kompetensi dan sumberdaya untuk menyalurkan dana bencana tersebut.
Khusus terkait dengan peran Organisasi masyarakat sipil (CSO), GNDR menemukan bahwa di tingkat lokal, sebanyak 50% CSO tidak dapat memberikan pengaruh ke pemerintah untuk melakukan tindakan yang koheren terkait pengurangan bencana dan adaptasi perubahan iklim, serta pengurangan kemiskinan.
Hal lainnya, sebanyak 60% dari komunitas lokal mengatakan bahwa pendekatan ekosistem tidak digunakan untuk meningkatkan ketahanan/ ketangguhan di komunitas mereka.
Selain melakukan survei terhadap komunitas, GNDR juga menfasilitasi warga untuk menentukan prioritas kunci dari aksi-aksi yang diperlukan. Harapannya, mereka dapat memimpin di dalam aktivitas yang membuat mereka mampu melakukan langkah mitigasi dan adaptasi terkait perubahan iklim.
Untuk itu, GNDR mengajak semua pihak untuk mendengarkan dan terlibat secara efektif dengan komunitas yang berada di garis depan risiko iklim. “Minimal mereka telah paham dengan kondisi yang terjadi,” katanya.
Hal lainnya terkait investasi di tingkat lokal. Pendanaan untuk adaptasi dan kerugian dan kerusakan harus disalurkan melalui kebijakan nasional yang ada, seperti Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) dan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC).
“Pembiayaan publik dan swasta harus diarahkan ke tingkat lokal. Pengambilan keputusan tentang bagaimana pembiayaan dibelanjakan harus didorong dari tingkat lokal, dipandu oleh pengetahuan dan keahlian lokal dari mereka yang berada di garis depan risiko iklim,” ungkapnya.
Serta tidak ketinggalan untuk memberdayakan masyarakat sipil demi memperkuat aksi iklim yang efektif di lapangan. Organisasi masyarakat sipil (CSO) memiliki peran penting dalam mengkoordinasikan tindakan adaptasi dan kehilangan dan kerusakan secara efektif.
CSO juga harus dilibatkan dalam negosiasi, pengambilan keputusan, dan implementasi di semua tingkatan. “CSO harus mendapat manfaat dari dukungan keuangan untuk memberdayakan masyarakat lokal dalam proses peralihan kekuasaan dan pembangunan kapasitas,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)