Menteri Pertanian RI, Suswono berdialog dengan pedagang daging di Pasar Cinde Palembang. Foto : Prioritasnews |
JAKARTA, BL-Gejolak harga pangan terus terjadi membuat konsumen dan produsen pangan skala kecil dalam negeri menjerit. Kisruh ini ditenggarai karena adanya permainan pedagang dan importir.
Menurut Said Abdullah, Manager Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) situasi ini tak bisa dibiarkan terus terjadi. Perlu upaya nyata untuk memberantas praktek cari untung dengan mengorbankan konsumen dan petani kecil. monopoli dan kartelisasi harus segera dihapuskan, karena tidak hanya menyebabkan kerugian masyarakat tapi juga kerugian negara.
Said menyarankan saatnya pemerintah lebih transparan soal pengelolaan pangan terutama impor. Selama ini proses impor, penentuan importir dan mekanismenya jauh dari terbuka. Harusnya informasi ini dibuka ke publik. Jika perlu libatkan publik untuk menilai mana importir yang lolos atau tidak. Dengan demikian kongkalingkong diantara pemerintah dan pengusaha dapat dihindari.
Untuk importir yang sudah mendapatkan ijin, segera dilakukan audit. Supaya terlihat apakah benar-benar memenuhi kualifikasi atau tidak. “Biarkan yang mengaudit publik, berikan informasi selengkapnya ke publik atas perusahaan-perushaan itu untuk dilakukan penilaian. Jika menurut hasil audit oleh publik gagal cabut ijinnya” ujarnya.
Tanpa transparansi soal ini, praktek-praktek kecurangan akan terus terjadi apalagi mendekati tahun 2014. Menurut Said, belajar dari kasus korupsi daging sapi, akan sangat mungkin kongkalikong pemberian ijin impor dan peningkatan volume atau kuota impor berhubungan dengan upaya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. “Jangan lupa tahun 2014 partai-partai butuh uang banyak untuk memenangi pemilu. Fee dari pemberian iji dan kuota impor bisa menjadi lumbung uang bagi partai,”tuturnya.
Said mengungkapkan, volume impor pangan tahun 2012 menembus angka 15 juta ton, dengan nilai impornya sebesar 7 miliar USD, berapa banyak keuntungan yang didapat. Jika sebagian keuntungan ini diberikan ke partai sebagai fee, berapa banyak uang yang berhasil dikumpulkan partai. Ambil contoh impor beras untuk raskin, tahun 2008 Indonesia mengimpor 1,848 juta ton atau 1,848 miliar kg beras dengan harga 540 USD per ton.
Jika keuntungan per kg 1000 rupiah, setelah dipotong asuransi, biaya angkut, pajak. Maka pengusaha mendapat keuntungan 1,848 triliun. Dari keuntungan itu, misalkan 25 persennya diserahkan sebagai fee ke pemberi ijin maka ada 462 miliar yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai partai. Seperti pada kasus korupsi daging sapi, sebagian besar fee yang didapat dari importir masuk ke kas partai melalui pejabat dikementerian atau pengurus partai.
“Praktek-praktek kotor semacam ini harus segera dihentikan karena tak hanya merugikan negara tapi juga menghianati rakyat. Pemerintah harusnya mengabdi kepada rakyat buka pengusaha” tandasnya. (Marwan Azis).