Ilustrasi, Air Terjun Coban Rondo di desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang selain sebagai areal wisata, air juga dipakai warga setempat sebagai air minum dan untuk mengairi ladang pertanian setempat. Foto : pesonaaindonesia.blogspot.com |
MALANG, BL-Alih fungsi lahan yang terjadi di Kota Malang mengakibatkan menyusutnya cadangan air di Kota tersebut. Dalam 10 tahun mendatang, Kota Malang diprediksi mengalami krisis air yang cukup parah jika pemerintah setempat tidak tegas membatasi pembangunan pemukiman dan tempat usaha di wilayahnya.
Pakar Ilmu Konservasi Sumber Daya Air Universitas Brawijaya Malang, Mohammad Bisri di Malang mengatakan, kondisi cadangan air di Kota Malang menurun drastis jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu. “Menurunnya cadangan air disebabkan kawasan resapan air yang saat ini tinggal 10 persen”, ujarnya.
Menurutnya, menyusutnya kawasan resapan air di Kota Malang turut diperngaruhi adanya pembangunan hotel dan perumahan yang tidak memperhatikan tata ruang kota. Beberapa waduk dan bozem untuk menampung air hujan, saat ini sudah menjadi mall dan pertokoan. Padahal bozem dan waduk tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Selain mengakibatkan penurunan cadangan air, alih fungsi lahan yang juga menyebabkan banjir kota karena tidak adanya muara untuk menampung air hujan. “Jika musim hujan Kota Malang menjadi langganan banjir, karena tidak ada lagi tempat penampungnya,” tandas Bisri.
Pembangunan sumur resapan dengan kedalaman 100-120 meter di kalangan hotel, perumahan, ataupun sektor usaha lainnya, merupakan salah satu solusi terbaik untuk mengatasi banjir di Kota Malang menyusul makin berkurangnya ruang terbuka hujau (RTH), hutan kota, maupun hilangnya lima waduk atau boezem peninggalan Belanda di Kota Malang yang sudah beralih fungsi menjadi kawasan bisnis.
“Pemkot Malang idealnya mulai mengatur masalah pembangunan sumur resapan maupun boezem pada hotel maupun perumahan. Karena ini solusi perbaik dibanding solusi lain akibat keterbatasan tanah,” kata Bisri.
Sumur resapan tersebut lanjut Bisri, merupakan upaya konservasi air secara buatan atau artificial recharge yang bisa dilakukan oleh pemkot guna menanggulangi fenomena terjadinya banjir pada lahan, bukan banjir pada sungai karena air mengalir kemana-mana daripada membangun waduk, boezem, hutan kota, bahkan RTH akibat terbatasnya lahan.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah membeli lahan penduduk untuk dipertahankan menjadi kawasan terbuka hijau. “Melihat perkembangan Kota Malang, masyarakat lebih tertarik untuk merubah tanahnya menjadi lahan bisnis,” tambahnya.
Hasil pengamatan selama 13 tahun terakhir curah hujan harian dalam bulanan di Stasiun Hujan Laboratorium Hidrologi Jurusan Pengairan Fakultas Teknik UB Malang, menyebutkan sebagian besar tahun pengamatan telah terjadi hujan hampir sepanjang tahun. Sebelum 1975, pola hujan di Kota Malang cenderung normal yakni enam bulan musim hujan (mulai September-Pebruari) dan enam bulan musim kemarau (mulai Maret-Agustus). (Abdhi Raja)