Pak Anthon Kurisi dengan kebun kopi organiknya. Foto: Noni Arnee
Salah satu minuman kopi favorit di kedai kopi modern asal Amerika Starbuckberasal dari Pegunungan Tengah Papua? Bahkan konon, citarasanya pun menandingi Jamaica Blue Mountain Coffee, kopi Jamaica yang disebut sebagai ”one of the best coffee in the world” yang terkenal nikmat.
Pertanyaan itu terjawab ketika saya diajak engunjungi kebun kopi seluas enam hektare milik Anthon Kurisi, salah seorang petani kopi di kampung Asologaima, Distrik Muliama,Kabupaten Jayawijaya yang berjarak sekitar satu jam dari kota Wamena. Kampung Asologaima adalah satu dari sekian banyak perkebunan kopi yang tersebar di beberapa distrik seperti Distrik Asotipo, Yamo, Mewoluk, wilayah Tingginambut dan Distrik Ilu.
Kebun kopi di kawasan tersebut menghasilkan salah satu kopi terbaik di dunia karena biji kopi jenis arabica ini berasal dari perkebunan alami yang ditanam di ketinggian 1600 mdpl. Ini merupakan perkebunan paling tinggi dibandingkan kebun-kebun kopi lain yang rata-rata ditanam di ketinggian 1200 mdpl.
Menurut Anthon, ketinggian inilah yang menghasilkan tingkat keasaman yang relatif rendah sehingga menghasilkan citarasa tinggi. Apalagi, penanaman kopi di Kabupaten Jayawijaya umumnya juga masih dikelola secara tradisional oleh mayarakat setempat, dengan peralatan sederhana dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk merangsang pertumbuhan maupun meningkatkan produktivitas. ”Ada peraturan daerah yang melarang penggunaan pestisida,” jelas Anthon.
Jadi, wajar saja kopi asal Pegunungan Tengan Papua yang biasa disebut kopi Wamena itu mempunyai rasa yang khas dan layak disebut sebagai ”kopi organik”. Bahkan, perkebunan seluas enam hektare ini juga unik karena masih seperti hutan dan heterogenous. Artinya, tidak hanya pohon kopi saja yang ditanam di perkebunan itu.
Ini yang membuat kopi organik yang berasal dari dataran tinggi Wamena ini mempunyai kualitas tinggi dan sangat diminati pasar luar neger. Melalui koperasi, biji kopi organik dikirim ke Starbucks Corporation. Ekspor perdananya dilakukan 2008 lalu.
Satu Dekade
Memang, pengembangan tanaman kopi di Pegunungan Tengah Papua baru berjalan dalam satu dekade terakhir ini. Awalnya strategi pemanfaatan potensi kopi digulirkan pemerintah setempat sebagai upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan masyarakat karena tidak adanya alternative pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Lorentz.
Dengan melihat potensi penduduk lokal sebagai peladang ubi jalar yang andal, cara bercocok tanam kopi dimulai awal tahun 1990-an dan berkembang hingga kini dengan adanya pendampingan dari sejumlah pihak seperti World Wild Fund (WWF), United States Agency for International Development (USAID) dan Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) mengenai program Papua Agriculture Development Alliance (PADA) untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi arabika di Lembah Baliem.
Bahkan, tahun ini pemerintah daerah mencanangkan program Gerakan Tanam Kopi (Gertak). ”Semoga bisa berkembang dengan semakin meluasnya areal tanaman kopi di beberapa distrik,” imbuh Leader Project Manager Program Lorenz WWF Indonesia, Wamena, Petrus Alberth Dewantoro Talubun.
Tapi sangat disayangkan, kopi produk organik dengan rasa sangat khas bila diseduh menghasilkan rasa yang bukan saja intensely aromatic alias harum semerbak, tidak terlalu kental, tidak terlalu pahit dan juga meninggalkan after taste rasa asam yang lembut ini kurang membumi di Wamena.
Saya cukup kesulitan mencari kopi Wamena saat berada di sana. Mungkin saja karena telah diborong oleh pengepul. Atau masyarakat Wamena yang tidak ”doyan ngopi” meski mereka tinggal di dataran tinggi yang dingin. (62). (Noni Arnee).