Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Foto : Google.
PONTIANAK, BL- Balai Taman Nasional Baka Bukit Raya (TNBBBR) menggelar konsultasi publik untuk menjaring masukan-masukan penting dari berbagai pihak, khususnya dari 2 provinsi dimana kawasan konservasi itu berada yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Kegiatan ini dilakukan pada hari Jumat (30/11) di Pontianak, yang bertujuan untuk memantapkan rencana pengelolaan kawasan TNBBBR ke depannya terkait zonasi, sebagai salah satu kawasan konservasi dengan fungsi unik dan penting bagi kelestarian sumberdaya alam di Indonesia.
Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBBR) merupakan kawasan Taman Nasional yang berada di kawasan Pegunungan Schwaner yang merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan pegunungan tropis berada pada ketinggian antara 150 meter hingga 2.278 meter di atas permukaan laut, dimana puncak Bukit Raya merupakan bukit tertinggi di Kalimantan.
Keberadaan kawasan ini mempunyai fungsi menjamin keberlangsungan tangkapan air bagi Sungai Katingan, yang mengalir di Kalimantan Tengah, dan Sungai Melawi, yang merupakan anak Sungai Kapuas yang mengalir di Kalimantan Barat, berbagai jenis hutan primer kawasan ini, mulai dari hutan dipterokarpa dataran rendah (hingga ketinggian 400 meter dari permukaan laut/dpl, hutan dipterokarpa dataran tinggi, hutan sub-pegunungan, hingga hutan pegunungan (yang terbagi lagi menjadi hutan sub-alpin dan hutan lumut di atas ketinggi 1.600 meter dpl.).
Secara administrasi kawasan ini berada di 2 wilayah Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dan berada dalam 3 Kabupaten yaitu Sintang dan Melawi berada di Kalimantan Barat dan Katingan di wilayah Kalimantan Tengah.
Untuk mengelola kawasan taman nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya maka perlu dibangun rancangan tata ruang kawasan atau yang disebut dengan zonasi. Zonasi juga menjadi acuan bagi pengelola kawasan taman nasional dalam melaksanakan penataan zona di kawasan taman nasional.
Hasil kajian dan analisis dari data-data dan informasi-informasi yang ada, kawasan TNBBBR terdiri dari zona inti yaitu bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia dan wajib dilindungi, karena berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas seluas 123.330 ha (52,14%).
Kemudian zona rimba adalah bagian dari taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan, berfungsi sebagai penyangga (buffer) zona inti seluas 74.4875 ha (31,52%).
Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya seluas 27.544 ha (11,66%). Zona Tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam, seluas 11.052 ha (4,68%).
Dan terakhir zona religi adalah bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah10.23 Ha (0,0043%).
Menurut Bambang Sukendro, Kepala Balai TNBBBR, proses zonasi ini cukup panjang dimulai dengan pengumpulan data-data primer dari masyarakat, pembentukan tim yang melibatkan perwakilan dari berbagai pihak dan konsultasi publik untuk mencari masukan dalam rangka penyempurnaan draft zonasi yang dilakukan di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Sintang, Melawi dan Katingan.
“Sebagai bagian dari upaya membangun sinergisitas pengelolaan TNBBBR secara bersama proses konsultasi publik di tingkat provinsi yang diikuti oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat menjadi bagian penting dalam perencanaan ke depannya,”ujarnya.
Salah satu tim penyusun zonasi TNBBBR dari WWF-Indonesia, Rudi Zapariza, mengatakan bahwa upaya membangun rencana pengelolaan zonasi ini juga memasukkan beberapa kepentingan masyarakat dalam pengelolaan bersama ke depannya.
“Salah satunya mengakomodir zona tradisional di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah berdasarkan situasi dan fakta yang ada di lapangan termasuk juga zona religi bagi masyarakat Kaharingan di Kalimantan Tengah,” jelasnya.
Proses penyusunan zonasi ini masih harus melalui beberapa tahapan lagi sebelum disahkan. “Setelah mendapat masukan-masukan dari stakeholder di tingkat kabupaten dan provinsi, proses zonasi ini juga akan disahkan oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemeterian Kehutan Republik Indonesia melalui rekomendasi-rekomendasi dari masing-masing daerah”, pungkas Bambang. (Aceng Mukaram).