Ilustrasi suasana penyambutan kapal Rainbow Warrior di perairan Batang oleh para nelayan tahun 2013 lalu, mereka juga meneriakkan penolakan terhadap PLTU Batang. Foto: Tri Yuliantoro/ Greenpeace |
JAKARTA, BL- Menurut informasi yang dipublikasikan di website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo tanggal 28 Agustus 2015 lalu meresmikan peletakan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Batang, Jawa Tengah.
Sebagai proyek kerjasama pemerintah dan swasta, pendanaan PLTU batubara Batang sepenuhnya akan ditanggung oleh investor swasta, dimana JBIC (Japan Bank for International Cooperation) berencana menjadi pendana utama proyek senilai 56 triliun rupiah ini, dimana JBIC berencana akan menanggung 70% dari nilai proyek. Rencana pembangunan PLTU Batang telah tertunda selama hampir 4 tahun karena penolakan yang kuat dari warga sekitar PLTU Batang, dan penolakan para pemilik lahan untuk menjual lahannya bagi proyek ini.
PT. BPI (Bhimasena Power Indonesia) telah tiga kali gagal memenuhi tenggat waktu financial closing —proses penandatanganan pencairan pendanaan– proses ini tidak bisa dilakukan karena beberapa persyaratan yang belum bisa dipenuhi oleh PT. BPI, dimana salah satu penyebab utamanya adalah proses pembebasan lahan yang belum tuntas.
“Groundbreaking atau peletakan batu pertama proyek ini hanya bisa dilakukan jika proses financial closing sudah selesai,financial closing hanya bisa dilakukan jika PT. BPI telah menuntaskan proses pembebasan lahan untuk proyek ini”Kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia melalui siaran persnya yang diterima Beritalingkungan.com.
“Sampai hari ini, masih ada sekitar 20 hektar lahan yang dipertahankan oleh pemiliknya, Presiden Jokowi seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat Batang yang menentang proyek energi kotor ini. Presiden Jokowi harus mengutamakan hak warga Batang diatas kepentingan korporasi, keselamatan dan kepentingan Rakyat Batang tidak bisa dikorbankan atas nama investasi dan pembangunan” Tambahnya.
Sampai hari ini masih ada sekitar puluhan pemilik lahan yang tetap mempertahankan lahannya, karena lahan pertanian mereka adalah sumber penghidupan dan matapencaharian mereka satu-satunya.
“Terus terang saya sangat kecewa dengan Presiden Jokowi, dulu kami memilih beliau karena kami percaya dengan janjinya yang akan mendengar suara rakyat Batang yang menentang pembangunan PLTU Batang, sekarang Presiden Jokowi malah datang ke kampung dan katanya meresmikan proyek ini, saya bahkan dilarang mendekat ke lokasi acara. Saya akan tetap mempertahankan lahan saya sampai kapanpun” Kata Pak Cayadi, salah seorang pemilik lahan, warga Karanggeneng.
Selain proses pembebasan lahan yang belum tuntas, dan belum selesainya proses financial closure, warga Batang juga sedang menunggu hasil dari gugatan mereka ke JBIC yang menggunakan mekanisme internal Bank Jepang tersebut.
Selain itu warga Batang, juga sedang mengajukan gugatan terhadap SK Gubernur Jawa Tengah terkait penetapan lokasi pengadaan lahan bagi pembangunan PLTU Batang.
“Presiden Jokowi sepertinya mendapatkan informasi yang keliru dari bawahannya, peresmian peletakan batu pertama PLTU Batang ini bukan hanya belum bisa dikatakan sah secara hukum, karena berbagai persyaratan yang belum terpenuhi, tindakan Presiden Jokowi ini berisiko mencederai reputasinya di dunia internasional “, Pungkas Arif Fiyanto
–>