Suara bergemuruh memenuhi rumah H Sholeh dan H Mochtar. Keduanya mengaku sama sekali tidak mengetahui penyebab pastinya. “Tidak ada jaringan pipa di bawah lantai rumah mereka,” kata salah satu warga. Lumpur dan gas warna putih menyembur dari bawah. Semburan lumpur dan uap putih juga terjadi di dua lokasi lain yakni di sawah dan di dekat rumah penduduk, sekitar 150 meter dari lokasi semburan Dusun Reno.
Setelah empat hari mengungsi, akhirnya H Soleh pulang ke rumahnya yang dibanjiri lumpur hitam pekat setinggi 1 m. Semburan gas dan lumpur dari dapurnya sudah berhenti. Namun ia bingung mau minta ganti rugi kepada siapa
Demikian petikan berita dari Detikcom ketika di awal terjadinya bencana semburan lumpur di Sidoarjo, tanggal 29 Mei 2006. Bencana semburan lumpur panas bercampur uap putih terjadi pada jarak 150 meter barat daya sumur Banjarpanji 1. Sumur Banjarpanji I adalah milik PT Lapindo Brantas, perusahaan eksplorasi dan produksi minyak dan gas.
Enam tahun sudah tragedi semburan lumpur Lapindo berlalu, namun sampai sekarang belum ada yang tahu dengan pasti kapan semburan itu akan berhenti termasuk kapan penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo.
Memang pemerintah pernah menaruh perhatian besar dalam menangani dampak semburan lumpur panas Sidoarjo. Dalam berbagai kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono senantiasa memberikan arahan agar penanggulangan dampak semburan lumpur panas tersebut diupayakan sepenuh tenaga.
Namun hingga kini tak ada kemajuan penyelesaian secara teknis untuk menutup semburan lumpur ini, bahkan semakin luas wilayah yang terkenai dampak. Termasuk upaya ganti warga yang korban lumpur Lapindo, bahkan APBN ikut dibebani akibat kesalahan teknis pengeboran sumur dilakukan PT Lapindo Brantas.
Ganti rugi yang terus dijanjikan oleh PT Lapindo Brantas Inc (LBI) melalui PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juga tak kunjung jelas. “Padahal korban Lapindo telah menderita cukup lama, bukan hanya karena tercerabut dari kebutuhan sosialnya tetapi juga aspek ekonominya,”kata Ali Azhar Akbar, penulis buku “Lumpur Lapindo File: Konspirasi SBY-Bakrie”
Semburan lumpur Lapindo tidak hanya membawa material padatan atau cairan, tapi juga gas. Warga porong dipaksa menghirup gas beracun 6 tahun terakhir. Ratusan anak terancam putus sekolah akibat semburan lumpur Lapindo.
Kualitas hidup mereka lambat laun mengalami penurunan akibat hilangnya kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Tercatat lebih dari 13 kematian warga tanpa kejelasan diagnosis. Sesak, kanker, dan tumor menjadi ingatan keluarga yang ditinggalkan. Terakhir, kematian akibat bunuh diri karena stress pada bulan Mei 2012.
Jumlah penderita ISPA di puskesmas Porong saja terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun empat tahun sejak lumpur menyembur, meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 24,7 ribu pada 2005 menjadi lebih dari 52,5 ribu pada 2009. Catatan tidak berbeda juga ditunjukkan Puskesmas Jabon dan Tanggulangin, ISPA selalu menempati urutan penyakit tertinggi sejak tahun 2006.
Skandal Hukum
Buku yang mengungkap skandal Lumpur Lapindo.
Sementara proses hukum kasus Lumpur Lapindo secara tiba-tiba dihentikan, baik oleh kepolisian (POLDA Jatim) maupun oleh Kejaksaan Agung dengan alasan tak cukup kuat bukti pendukung.Polda Jatim telah menerbitkan SP3 pada Kamis, 5 Agustus 2009 . Dengan kebijakan ini status tersangka yang dikenakan kepada 13 orang gugur demi hukum.
Kombespol Pudji kepada suaramerdeka.com mengakui, Polda Jatim tak mampu membuktikan adanya korelasi antara semburan dalam radius 150 meter dan pengeboran. Sebab, petunjuk itu sulit dipenuhi karena tak ada saksi dan tak ada ahli yang mau menyatakan adanya korelasi. “Itu masalahnya,” katanya.
Di samping itu, tambahnya, ada faktor lain yang jadi pertimbangan yakni adanya dua putusan atas gugatan perdata, yaitu YLBHI dengan pemerintah RI, dan WALHI dengan Lapindo Brantas Inc serta pemerintah RI yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Inti putusan menyebutkan bahwa tak ada pelanggaran hukum terkait semburan lumpur panas itu, melainkan fenomena alam, dan bukan kesalahan Lapindo Brantas Inc.
Keluarnya SP3 itu dinilai makin menunjukkan adanya skandal dalam proses hukum kasus tersebut. “Dikeluarkannya SP3 semakin menunjukkan adanya skandal di dalam proses pidana kasus Lapindo. Kenapa demikian? Karena dari awal sudah mencurigakan proses pidananya, baik di tingkat Kepolisian maupun Kejaksaan,” ungkap Ketua Pengurus LBH Masyarakat, Taufik Basari. “Polisi dan jaksa benar-benar seperti disetir oleh Lapindo (Lapindo Brantas Inc),” lanjutnya.
Taufik mengatakan, Polda Jatim beralasan bahwa kasus Lapindo kurang bukti apabila diseret ke tindak pidana. Menurutnya, polisi justru memilih saksi ahli yang menguatkan posisi Lapindo, tanpa mau menggunakan saksi ahli yang berpihak ke proses penuntutan. Polisi juga sempat memeriksa seorang saksi, namun tidak dimasukkan ke dalam berkas perkara.
Kejaksaan pun, imbuh Taufik, setali tiga uang. Jaksa menempatkan ahli dari Lapindo sebagai saksi ahli utama. Mereka tidak melihat trackrecord saksi tersebut. “3 orang yang dinyatakan ahli adalah karyawan Lapindo sendiri,” tukasnya.
Menurut Taufik, sebenarnya saksi kunci dalam kasus Lapindo adalah mantan Ketua Tim Investigasi Kementrian ESDM, Rudy Rubiandidi. Dalam laporannya, Rudy menegaskan semburan lumpur akibat pengeboran Lapindo Brantas.
“Dia membawa langsung drilling report dan real time chart, data detik per detik aktivitas pengeboran itu dilakukan. Tapi sampai saat ini tidak ada respons dari pemerintah. Kalau ahli geologi kan cuma berangkat dari asumsi-asumsi keadaan geologi di Porong,” pungkas Taufik.
Penyebab Semburan?
Bencana semburan lumpur Sidoarjo oleh banyak pihak dianggap unik karena sifatnya sebagai bencana yang terjadi secara terus menerus (continuous disaster), dan hingga kini masih menjadi perdebatan panjang di antara para ahli geologi dan perminyakan untuk menjawab penyebabnya.
Paling tidak terdapat dua teori tentang penyebab semburan, yakni semburan liar bawah tanah (underground blowout), mud vulcano dan proses geotermal. Underground blowout adalah kejadian mengalirnya fluida formasi dalam jumlah (volume) yang tidak terkendali dari satu zona ke zona yang lainnya yang lebih lemah di dalam sumur.
Zona lemah dapat berupa zona dengan permeabilitas dan porositas tinggi, formasi retak atau zona lemah di sekitar casing shoe. Pendapat inilah yang diyakini BP Migas dan PT Lapindo pada awal- awal terjadinya bencana.
Pendapat kedua adalah semburan lumpur merupakan fenomena mud vulcano. Mud vulcano adalah erupsi atau ekstruis lumpur dan air atau lempung ke permukaan tanah. Erupsi tersebut membentuk kerucut, dome atau berbentuk menyerupai gunung sehingga dinamakan gunungan lumpur (mud vulcano).
Dengan adanya tekanan yang kuat (overpressure), fluida yang sebelumnya terkonsetrasi di dalam tanah menyembur ke permukaan melalui rekahan (fracture) baru maupun teraktivasinya rekahan yang sudah ada dan membentuk gunung lumpur.
Terlepas dari perdebatan ilmiah tersebut, yang jelas akibat semburan lumpur Lapindo telah menyebabkan bencana kemanusian. Bahkan hingga kini warga Sidoarjo masih terus dalam keterancaman karena semburan lumpur Lapindo masih terus berlangsung.
Namun anehnya, pihak Lapindo tak kunjung menyelesaikan tanggungjawabnya. Bahkan seakan lempar tanggungjawab, kasus Lapindo malah jadi beban negara. Skandal kasus Lapindo menurut sejumlah aktivis lingkungan, tidak saja menguras kas negara juga menghancurkan kehidupan puluhan ribu warga di sana. Tidak ada satu pihak manapun yang dapat secara pasti menyatakan kapan akan berhenti atau akankah berlangsung selamanya. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan tindakan yang diambil untuk menanganinya menjadi kurang komprehensif.
Setiap kebijakan penanganan yang dilakukan untuk merespon dampak semburan sulit dipastikan tingkat keberhasilannya. Situasi lapangan setiap saat dapat berubah sehingga yang diperlukan adalah tindakan cepat dengan memperhitungkan dampak yang seminimal mungkin.
Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh semburan lumpur Lapindo yang pertama kali terjadi pada tanggal 29 Mei 2006, membuat sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat seperti WALHI-KIARA-FITRA-KONTRAS-JATAM mengusulkan 29 Mei – tepat pertama kalinya Lumpur lapindo membanjiri kawasan Porong diperingati sebagai Hari Anti Tambang (HATAM).
Ical Angkat Bicara
Sementara itu, di Ciamis, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical angkat bicara soal dana APBN yang digelontorkan untuk kasus Lapindo. Ical seperti dilansir Detikcom menegaskan, sepenuhnya biaya untuk kawasan di luar peta berdampak ditanggung pemerintah.
Aksi di Wisma Bakri. Foto : Cita Ariani
“Rp 6,2 triliun, bukan salah Lapindo karena itu diputuskan dan tidak bersalah,” jelas Ical di sela-sela kunjungan di Ciamis, Jabar, Selasa (29/5/2012).
Rp 6,2 triliun itu mengucur sejak 6 tahun yang lalu. Ical menegaskan, Grup Bakrie hanya menanggung kerugian yang masuk dalam peta berdampak, di luar itu urusan pemerintah.”Yang masuk peta berdampak tanggung jawab keluarga (Bakrie) tapi yang di luar peta berdampak tanggung jawab pemerintah,” jelas Ical.
Sebelumnya, sekitar 20 orang dari berbagai LSM melakukan aksi memperingati 6 Tahun Skandal Lumpur Lapindo di depan Wisma Bakrie, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Logo Wisma Bakrie dilumuri cat warna abu-abu.
Para aktivis lingkungan yang tergabung koalisi pengusung Hari Anti Tambang menyerukan penghentian seluruh operasi tambang di dunia hingga sektor-sektor publik menjamin keselamatan dan keamanan rakyat, produktivitas dan daya pulih rakyat serta keberlanjutan fungsi-fungsi layanan alam.
Kini publik menunggu niat baik Aburizal Bakrie dan pihak Lapindo untuk menyelesaikan tanggungjawabnya mengakhiri penderitaan masyarakat Sidoarjo termasuk pemulihan lingkungan.(Marwan Azis).