Elang Bondol. Foto : dok Wikipedia. |
Mungkin tak banyak orang tahu, kalo Braminy Kite alias elang bondol yang telah menjadi maskot ibukota Jakarta, semakin sukar ditemukan di habitat aslinya. Harganya yang kian mahal, menjadi salah satu daya tarik perburuan satwa langka ini. Kini, di tengah kelangkaannya, haruskah kita menyaksikannya punah, seperti pendahulu-pendahulunya yang lain?
Matahari tepat di atas kepala, waktu kapal motor yang kami tumpangi merapat di pelabuhan di P. Kotok kecil, salah satu pulau yang masuk ke dalam gugusan kepulauan di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKS), beberapa waktu lalu.
Sejak di tetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 2002, kabupaten Kepulauan Seribu dibagi dalam beberapa zona. Satu diantaranya berupa taman nasional laut bernama Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKS). Sebagai daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan di dalamnya terdapat zona konservasi, maka tidak mengherankan jika pengembangan wilayah ini lebih ditekankan pada pengembangan ekosistem laut dan pariwisata. Dua sektor ini diharapkan menjadi poin penting pembangunan masyarakat dan wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu merupakan habitat alami bagi bermacam-macam jenis satwa pemangsa, terutama jenis burung yang makanan utamanya adalah ikan. Jenis burung yang bisa di jumpai diantaranya adalah elang bondol (Haliastur indus) yang dulunya banyak tersebar di seluruh kawasan. Satu dari ratusan pulau yang ada dinamakan Pulau Elang (baca: kini P. Pramuka ibukota Kabupaten Kepulauan Seribu), karena dulunya merupakan habitat alami perkembangbiakan elang bondol. Namun, seiring dengan perkembangan penduduk yang kian membludak, habitatnya pun semakin sulit ditemui.
Kini, dari semua pulau yang ada di Kepulauan Seribu, hanya di Pulau Kotok lah kita bisa menikmati keberadaan satwa langka tersebut. Saat ini Pulau Kotok, khususnya Pulau Kotok kecil telah beralih fungsi menjadi pusat rehabilitasi dan pelepasliaran elang bondol Indonesia, mengingat kondisi alamnya yang sesuai.
Pulau Kotok
Pulau Kotok merupakan contoh pulau atol tropis dengan vegetasi yang masih asli. Laut yang jernih dan formasi batu karang berwarna-warni, menjadikannya sebagai salah satu tempat tujuan wisata, khususnya wisata air. Selain itu, pulau ini juga dikenal sebagai tempat konservasi burung elang bondol yang menjadi maskot provinsi DKI Jakarta.
Pulau kotok dapat ditempuh dengan speed boat hanya 90 menit dari marina ancol. Pulau kotok merupakan pulau yang mempunyai nuansa alam yang begitu indah. Disana masih banyak ditemui pepohonan dan aneka jenis satwa. Pulau ini merupakan tujuan para turis yang ingin berwisata menikmati keindahan laut.
Secara umum, pulau kotok terbagi 2 bagian yaitu kotok barat (kotok kul kul) yang berukuran besar dan kotok timur (kotok coconut) yang luasnya lebih kecil. Tetapi untuk kotok coconut atau kotok kecil sudah tidak beroperasi lagi alias di tutup untuk umum, karena tempat ini menjadi pusat rehabilitasi elang bondol.
Di tempat itu, elang hasil sitaan ini dilatih sebelum dilepaskan kembali ke alam liar. Elang-elang yang berasal dari pusat rehabilitasi di Pulau Kotok membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali berperilaku alami, misalnya menyambar ikan di permukaan laut dengan cakarnya. Setelah perilakunya kembali seperti semula, biasanya akan dilakukan pelepasan.
Pulau Kotok memiliki pantai indah yang cukup luas dengan bentuk dermaga yang unik, serta mempunyai restoran terapung. Jika ingin snorkeling sehabis makan direstoran, pengunjung bisa langsung ke air, karena di restoran tersebut terdapat tangga menuju laut.
Untuk menjaga keasrian dan kelestarian alam bawah laut/taman laut, di Pulau Kotok tidak terdapat fasilitas water sport (jetsky, banana boat, canoe). Disana hanya ada sewa peralatan snorkeling dan peralatan diving, serta sewa kapal untuk diving.
Brahminy kite
Elang bondol adalah nama yang diberikan masyarakat Jakarta untuk burung yang bernama latin Haliastur indus ini. Bondol sesungguhnya nama lain untuk burung kecil berkepala putih, seperti pipit uban (Lonchura maja/Munia). Sedangkan secara internasional burung ini terkenal dengan sebutan Brahminy kite, mungkin karena bentuk terbangnya menyerupai layang-layang.
Meski bukan satwa endemik, pada 1989 elang ini ditetapkan menjadi maskot Ibu Kota Jakarta. Burung ini termasuk keluarga raptor alias pemangsa. Namun, dalam rantai makanan, elang ini pun menjadi mangsa predator lainnya, seperti biawak.
Burung yang tubuhnya berbulu kecokelatan dan leher hingga kepala berbulu putih ini, berukuran panjang 44 sampai 52 sentimeter. Lebar sayapnya saat mengembang mencapai 110 sampai 125 sentimeter. Adapun panjang ekornya adalah 18 sampai 22 sentimeter. Selain itu, ia dilengkapi dengan kuku yang sangat tajam untuk berburu mangsa.
Pertumbuhan populasi elang bondol memang lambat. Seekor induk hanya bisa bertelur satu hingga dua butir dalam setahun. Kalau beruntung, telur itu menetas menjadi anak elang. Tapi tak jarang telur itu pecah, jatuh dari pohon tinggi karena tertiup angin. Apalagi, 70% elang bondol penghuni Pulau Kotok merupakan jantan. Jadi, pengembangbiakannya sangat lamban.
Menurut penelitian, banyak elang betina mati karena stres saat dikerangkeng pemburu. Elang jantan lebih tegar dalam penjara. Elang bondol salah satu predator tangguh, karena ia
sering terlihat terbang sendirian atau berada dalam kelompoknya. Dia juga kerap berputar-putar di angkasa, berburu mencari mangsa, seperti ikan, mamalia kecil, reptil, dan katak, di daratan dan perairan.
Habitatnya kebanyakan di pantai, daratan berair, hutan, maupun dataran rendah. Namun, burung ini bisa juga hidup di pegunungan dengan ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut. Meski bukan burung migran antarbenua, elang bondol juga ditemukan di India, Cina Selatan, Filipina, dan Australia.
Aktivitas Femke den haas
Keberadaan elang bondol jumlahnya semakin menyusut akibat perburuan. Hal ini membuat banyak kalangan bersimpati terhadap keberadaan satwa langka tersebut. Pasalnya, berdasarkan survey sebuah organisasi pencinta burung, pada tahun 2004, jumlah elang bondol yang berhasil diidentifikasi hanya tinggal 15 ekor. Padahal, semestinya ada 150 ekor elang bondol di wilayah antara Lampung dan Jakarta. Jika dibandingkan dengan sekarang, jumlahnya mungkin akan semakin sedikit, jika saja upaya pelestarian tak segera dilakukan.
Ancaman kepunahan itu membuat International Animal Rescue (IAR), organisasi internasional penyelamatan satwa berinisiatif untuk mendukung upaya pelestarian elang bondol. Adalah Femke den Haas, seorang dokter hewan asal Belanda yang menjadi utusan IAR di Indonesia.
Di sini ia melakukan study mendalam perihal keberadaan satwa langka tersebut sejak tahun 2000. Lalu, dari penelitiannya itu ia pun mengusulkan agar Pulau Kotok Kecil dijadikan pusat rehabilitasi elang bondol, mengingat di pulau itu ia sempat menemukan beberapa ekor elang bondol yang sedang bersarang.
Hingga kini, pusat rehabilitasi dan pelepasliaran elang bondol di Pulau Kotok yang berdiri sejak tahun 2004, telah merawat 62 ekor elang bondol dengan 40 ekor yang telah di lepaskan. Elang bondol yang dilepaskan tentunya telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Walau begitu, seringkali elang bondol yang telah di lepas akan kembali lagi ke pulau ini, karena telah begitu lekat dengan kondisi sekelilingnya.
Sama halnya dengan Hadi, seekor elang bondol yang tampak anteng bertengger di pinggir dermaga. Kedatangan kami pun tak menjadi pengganggu baginya. Ia tetap tenang seakan tak terjadi apa-apa. Ternyata ia sudah begitu terbiasa dengan kehadiran banyak orang di sekelilingnya. Sontak, kejadian ini membuat banyak teman-teman langsung mengabadikan momen istimewa ini. Tak terkecuali denganku. “ehm, lumayan untuk nambah-nambah koleksi foto satwa”, gumamku.
Menurut Femke, maskot Jakarta ini mesti segera diselamatkan. Terbukti dari jarangnya populasi elang bondol di alam bebas. Apalagi proses perkembangbiakannya pun terbilang lambat. Di habitat aslinya, elang betina hanya bereproduksi sekali setahun, itu pun rata-rata hanya bertelur dua butir.
Di Pulau Kotok, para petugas rehabilitasi pun sulit mengawinkan burung-burung di dalam kandang, karena mereka terbiasa berkembangbiak secara alami. Akhirnya, pusat rehabilitasi hanya menerima burung-burung hasil sitaan, baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Kebanyakan burung bondol, kata Femke, sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng.
Saat kami berkunjung ke Pulau Kotok beberapa waktu lalu, Pusat Penyelamatan Satwa sedang memulihkan 17 ekor elang bondol dan 11 ekor elang laut. Rencananya kelak, tubuh elang- elang ini akan dilengkapi gelang dan microchip sehingga setiap elang ini dapat dipantau keberadaannya.
“Terus terang saya sedih. Sewaktu disita, kondisi burung- burung elang itu sudah sangat mengenaskan,” tukas Femke.
Namun, perilaku alami lainnya, seperti membuat sarang, baru terjadi kali ini semenjak program rehabilitasi dilakukan pada 2004. Femke belum berani mengatakan bahwa sang elang sudah benar-benar membuat sarang. Aktivitas membuat sarang adalah proses menuju breeding alias berkembang biak. “Berarti si elang juga sudah menemukan pasangannya sendiri,” ujar Femke, perempuan asal Belanda yang fasih berbahasa Indonesia itu.
Selain perkembangbiakannya yang sulit, ada pula burung yang kondisi fisiknya buruk, seperti sayap yang terluka atau malah putus. Burung-burung seperti ini membutuhkan waktu sedikitnya tiga tahun untuk pulih kembali. Namun, si elang yang mulai mengumpulkan ranting, ternyata pulih lebih cepat. “Ini tanda keberhasilan program rehabilitasi elang bondol,” ujarnya kemudian.
Rupanya, Pulau Kotok yang berpadang lamun (sejenis rumput laut) mengandung banyak terumbu karang, habitat ikan-ikan permukaan. Ikan-ikan inilah yang menjadi menu santapan harian sang elang bondol.
Sebelum dilepas, elang-elang itu dilatih mencari makan secara mandiri. Pada awalnya, mereka ditempatkan di kandang seluas 25 meter persegi dan “disuapi” makannya oleh petugas. Setelah itu, semua elang bondol dipindahkan ke kandang yang lebih luas, berukuran sekitar 280 meter persegi di bibir pantai selatan Pulau Kotok. Burung-burung di kandang itu sudah berlatih terbang dan menyambar ikan hidup di permukaan air di tengah kandang.
Setelah dipastikan sanggup bertahan hidup di alam bebas, semua elang akan dilepaskan. Program pelepasliaran ini sudah dilakukan sejak Agustus 2005. Namun, sejak program pelepasliaran dilangsungkan, elang bondol yang benar-benar masih berkeliaran dan mencari makan di sekitar Kepulauan Seribu tinggal 10 atau 11 ekor saja.
Sisanya, sudah keluar kepulauan atau malah ditangkap kembali oleh penduduk. Sebanyak 10 atau 11 ekor yang hidup di Kepulauan Seribu, 4 ekor masih hidup di sekitar Pulau Kotok (termasuk si elang yang mulai bersarang), 2 ekor di Pulau Pramuka, dan sisanya ada di pulau-pulau lain.
Perdagangan Ilegal Elang Bondol
Sekarang ini, maraknya perdagangan ilegal satwa-satwa dilindungi dan rusaknya habitat menyebabkan elang bondol terancam punah. Sungguh mengenaskan! Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem menegaskan, “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memiliki, memelihara, memperniagakan, menyimpan satwa liar yang dilindungi baik hidup, mati atau bagian tubuhnya.” Sanksinya, ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp 100 juta.
Walau undang-undang telah begitu jelas mensyaratkan hukuman bagi mereka-mereka yang melakukan perdagangan satwa langka, tetapi tetap saja pelaksanaannya di lapangan tidak berubah. Masih saja ada orang yang mengeruk keuntungan dari keberadaan satwa-satwa tersebut.
Untuk elang bondol, misalnya, pedagang atau pemilik biasanya akan melukai bagian-bagian tubuh tertentu sehingga burung elang itu mengalami kesulitan terbang. Bahkan, ada juga yang tulang sayapnya dipatahkan. “Kalau sudah terluka, tentu membutuhkan penanganan medis secara kontinu,” ujar Femke, yang ternyata sangat sayang terhadap binatang.
Sebagai satwa langka, harga burung ini cukup mahal harganya. Di pasaran, salah satu jenis elang laut ini laku seharga Rp 750 ribu per ekor dengan kondisi sehat. Namun, di waktu-waktu tertentu, harganya bisa jauh lebih mahal jika pasokan tidak ada.
Umumnya, kita bisa menemui satwa ini di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. Di tempat itu setiap bulan tak kurang dari sepuluh elang bondol diperjualbelikan dalam berbagai ukuran. Kendati demikian, tak serta merta kita akan mudah menemukannya, karena kini para pedangang cenderung selektif terhadap pembeli hewan-hewan langka. Apalagi razia semakin sering dilakukan.
Untuk mengantisipasi perdagangan satwa langka, aparat berwenang sering melakukan razia dan sweeping ke tempat-tempat yang di duga sebagai lokasi penjualan elang bondol. Pasar burung Pramuka pun tak luput jadi sasaran. Jika sudah begini, tak jarang para pedagang kucing-kucingan dengan aparat. Elang bondol yang tadinya bertengger di dalam sarang pun tiba-tiba menghilang.
Ternyata, elang bondol yang terkenal gagah di udara dan mampu terbang dengan kecepatan tinggi, tak mampu mengalahkan keganasan manusia. Demi hasrat dan gengsi, keberadaan elang bondol jadi taruhan. Kini, di tengah-tengah populasinya yang kian menyusut, haruskah kita menyaksikannya punah, seperti pendahulu-pendahulunya yang lain? Semoga saja tidak! (Jaksen Simanjuntak)