Gajah Sumatera. Foto : gajah©Flickr, egonwegh |
ACEH, BERITALINGKUNGAN.COM- PEMERINTAH Kabupaten Aceh Utara diminta untuk mengembalikan Conflik Respon Unit (CRU) Cut Mutia kembali ke tempatnya, dalam Pusat Konservasi Gajah (PKG) Cut Mutia.
Hal ini disampaikan Irsadi Aristora,. S.Hut,. MH, Direktur LSM Selamatkan Isi Alam dan Flora-Fauna (SILFA) melalui siaran pers kepada ATJEHPOST.co, Senin, 1 Desember 2014.
“Secara legalitas yang ditunjuk, lokasi (CRU Cut Mutia) di Log Pond areal PT. MPT, bukan di lahan masyarakat Transmigrasi Lokal (Translok) Lubuk Tilam. Selain tidak layak kondisinya bagi CRU, manajemen CRU Cut Mutia juga menjadi tidak nyaman karena berada di areal masyarakat,” ujarnya.
Menurut Irsadi, pertimbangan mendasar permintaan pemindahan kembali CRU tersebut lantaran keberadaan gajah terlatih ini untuk merespon secara cepat konflik satwa dengan manusia di Aceh Utara. Ia menilai kehadiran CRU Cut Mutia sudah menunjukkan pengurangan konflik yang terjadi di wilayah ini. Agar berjalan dengan baik dan tidak menyalahi prosedur dan membebankan pihak masyarakat di sana, SILFA meminta bupati mengembalikan CRU ke dalam areal Hutan Lindung Cut Mutia yang telah disiapkan.
“Kekhawatiran kami, kebutuhan pakan dan ketersediaan air di lokasi saat ini dalam areal kebun masyarakat Translok sangat tidak memadai,” katanya.
Pasalnya, kata Irsadi, penanganan konflik satwa membutuhkan gajah-gajah yang memiliki fisik bagus dan sehat. Selain itu, kesehatan dan kebersihan lahan juga sangat dibutuhkan untuk merawat serta menjaga kondisi gajah-gajah yang ada di CRU.
“Saat ini alur-alur kecil yang airnya sangat sedikit menjadi tempat membersihkan dan memandikan gajah oleh para mahot gajah, dirasa tak mencukupi untuk seluruh gajah di sana,” katanya. Padahal, lokasi yang telah disediakan pemerintah di wilayah hutan lindung sudah cukup memadai dari segi fasilitas air bersih dan kebersihan lingkungan. Apalagi CRU Cut Mutia di PKG berada dekat dengan Krueng Kreuto.
“Selain itu kami minta untuk anggaran pembangunan tempat penginapan para mahot gajah dan sarana yang menjadi pendukung CRU, segera dibangun agar kepastian peran CRU menjadi permanen di lokasi tersebut,” katanya. Mereka juga meminta pemerintah setempat untuk meningkatkan anggaran bagi kebutuhan pakan gajah dan para mahot, yang saat ini dinilai sangat pas-pasan.
“Kepedulian kita terhadap gajah dan para mahot harus diprioritaskan karena tugas mereka cukup berat dalam mengatasi konflik yang kapan saja akan terjadi pada masyarakat dan lahan pertanian serta perkebunan rakyat,” ujarnya.
Irsadi juga berharap hutan lindung yang telah diperuntukkan untuk PKG Cut Mutia dapat difungsikan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam tata ruang wilayah. Apalagi lokasi ini secara resmi telah dijadikan lokasi CRU dalam tata ruang yang telah ditetapkan Pemerintah Aceh, khususnya Aceh Utara.
“Kenapa kita membiarkan PT. MPT mengganggu tatanan hukum negara kita yang sudah disahkan dan dianggarkan dalam APBD Aceh Utara. Oleh karena itu, agar tak salah dalam menjalankan regulasi, kami minta Bupati Aceh Utara segera mengembalikan posisi CRU ke lokasi PKG yang telah disahkan dan ditetapkan menjadi lokasi bagi penyelamatan dan penanganan konflik gajah liar dan manusia di sana,” katanya seperti dikutip dari Atjehpost, anggota sindikasi Beritalingkungan.com.
Sebelumnya diberitakan, masyarakat dari tiga kecamatan di kawasan Krueng Kreuto telah menahan tiga unit eskavator milik PT Mandum Payah Tamita (PT MPT) pada 10 November 2014. Pasca penahanan tersebut, seluruh aktivitas perusahaan ini di lapangan terhenti. Perusahaan ini juga telah menarik kembali tiga unit beco yang ditahan warga untuk diboyong ke Sumatera Utara. Keberadaan perusahaan ini juga telah membuat CRU Cut Mutia tergusur dari lokasi mereka sehingga dipindahkan ke Translok Lubuk Tilam. (Boy Nashruddin Agus)