“Itu baru diusulkan, sekarang kan non-cost recovery sesuai dengan permen No 22 tahun 2008. itu CD (community development)-nya yang jadi cost recovery,” ujar Gde kepada Media Indonesia, Senin (16/7).
Gde menjelaskan pertimbangan usulan ini lantaran sebagai perusahaan yang memiliki core bussiness berkaitan dengan lingkungan, pada kenyataannya bisnis tersebut menyebabkan kendala di masyarakat.
“Kan masyarakat mempertanyakan mana CSRnya, ini kan mereka sudah ambil sumber daya-nya. Mereka tidak menerima apa-apa dan itu menjadi masalah di lapangan,” kata dia.
Sementara, dalam Permen ESDM No 22 Tahun 2008 tentang jenis-jenis biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang tidak dikembalikan kepada KKKS dana CSR dilarang untuk dimasukkan ke anggaran cost recovery.
Menurut Gde, hal ini menyebabkan penurunan dana CSR dari perusahaan-perusahaan tersebut. “Saat ini dari seluruh Indonesia dana CSR cuma sekitar Rp450 miliar. Sangat kecil, padahal masyarakat menuntut mana 2,5 persen,” ujarnya.
Sebelum dilarang, dana CSR yang digelontorkan KKKS bisa mencapai 2-3 kali lipatnya.
Lebih jauh, Gde mengatakan jika dana CSR dimasukkan ke dalam anggaran cost recovery, paling tidak porsi CSR juga bisa mengalami peningkatan. Saat ini, anggaran masih sangat kecil, yakni 0,16%. “Kalau anggaran pendapatan negara Rp300 triliun, kalau 1 persen saja misalnya Rp3 triliun. Kalau Undang-undang PT kan 2,5 persen. Yang kita anggaran sekarang cuma 0,16%. Jadi sangat kecil,” imbuhnya.
Berbeda dengan aturan PT yang mengikat perusahaan harus mengalokasikan 2,5% dari keuntungan untuk CSR, bisnis migas tidak terikat dengan aturan tersebut. “Tapi mereka harus eksis diterima masyarakat di situ. Jadi dengan dana sendiri mereka memberikan kegiatan itu. Tapi dianggap tidak cukup karena memang volumenya kecil sekali,” kata Gde.
Maka dari itu, ujar Gde, harus ada aturan yang memperketat penerapan dana CSR di bisnis migas. Hal ini ini untuk menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat atas dampak bisnis usahanya. ” Kalau tidak dianggap kegiatan yang tidak sesuai core bisnisnya migas. Misalkan membangun sekolah, tidak terkait migas tapi itu penting untuk menunjukkan kepedulian kita kepada masyarakat dan agar masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan industri itu,” ujar Gde.
Ia menjamin, jika dana CSR ditingkatkan, hal ini akan berdampak pada berkurangnya gangguan dari masyarakat sekaligus menjaga kredibelitas perusahaan tersebut.
“Sekarang dengan adanya gangguan-gangguan repot. Di Sumenep ngebor nggak boleh, ini tidak bisa. Akses diblokade, macam-macam,” jelas Gde.
Ditambahkannya, saat ini 52% dari 72 KKKS tidak berhasil memenuhi komitmennya. Hal ini menyebabkan munculkan gangguan ekplorasi, termasuk operasi tanah, perizinan, dan gangguan dari masyarakat.