
Ilustrasi tanaman. Foto : Paul H. Joseph/UBC
LONDON, BERITALINGKUNGAN.COM– Tumbuhan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan iklim Bumi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kenaikan suhu global dapat mengganggu keseimbangan ini karena tumbuhan ternyata kehilangan lebih banyak air daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Dr. Sean Michaletz, asisten profesor di University of British Columbia (UBC) dan penerima Sloan Research Fellowship 2025 di bidang Ilmu Sistem Bumi, menemukan bahwa tumbuhan melepaskan air tidak hanya melalui pori-pori daunnya (stomata), tetapi juga melalui kutikula—lapisan lilin yang menutupi daun—yang tidak bisa ditutup seperti stomata. Semakin tipis kutikula, semakin besar kehilangan air yang terjadi.
Apa Hubungan Tumbuhan ‘Bocor’ dengan Perubahan Iklim?
Selama fotosintesis, tumbuhan menyerap karbon dioksida (CO₂) melalui stomata dan melepaskan oksigen serta uap air. Proses ini menjadikan tumbuhan sebagai penyerap karbon alami yang membantu mengurangi efek pemanasan global.
Sebelumnya, ilmuwan berasumsi bahwa saat suhu meningkat, tumbuhan akan menutup stomatanya untuk menghemat air. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa air masih terus menguap melalui kutikula, bahkan saat stomata tertutup. Akibatnya, dalam kondisi panas ekstrem, tumbuhan tetap kehilangan banyak air tetapi tidak bisa menyerap karbon dioksida secara optimal, sehingga proses fotosintesis terganggu. Bahkan, dalam kondisi tertentu, tumbuhan bisa berubah dari penyerap karbon menjadi sumber emisi karbon, yang semakin mempercepat perubahan iklim.
Perhitungan sederhana yang dilakukan Dr. Michaletz menunjukkan bahwa satu daun berukuran sedang yang terpapar suhu 50°C bisa kehilangan sekitar sepertiga sendok teh air setiap hari melalui kutikula.
“Jika skala ini diterapkan ke seluruh hutan, maka dampaknya terhadap siklus air dan karbon global bisa jauh lebih besar daripada yang diperhitungkan dalam model iklim saat ini,”ujarnya seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman UBC.ca (19/02/2025).
Seberapa Panas yang Bisa Ditoleransi Tumbuhan?
Dalam penelitian terhadap 200 spesies tumbuhan di Vancouver, Dr. Michaletz menemukan bahwa fotosintesis mulai mengalami kerusakan pada suhu antara 40 hingga 51°C. Saat gelombang panas ekstrem terjadi pada tahun 2021, suhu di beberapa wilayah bahkan mencapai 49,6°C, yang membuat tumbuhan berada di ambang batas ketahanannya.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa suhu maksimum yang bisa ditahan sebagian besar tumbuhan adalah sekitar 60°C. Di atas ambang ini, protein di dalam sel mulai rusak, yang menyebabkan cedera sel hingga kematian. Hanya sedikit spesies dari daerah gurun dan tropis yang diketahui mampu bertahan dalam suhu ekstrem tersebut.
Para ilmuwan di seluruh dunia kini berusaha menentukan titik kritis di mana vegetasi global mulai melepaskan lebih banyak karbon daripada yang diserap, yang bisa mengubah peran tumbuhan dari penyerap karbon menjadi penyumbang emisi. Perkiraan awal menunjukkan bahwa titik balik ini bisa terjadi pada suhu sekitar 30°C, meskipun masih banyak ketidakpastian terkait faktor mikroiklim dan ketersediaan air yang dapat memengaruhi fotosintesis dalam kondisi panas ekstrem.
Belajar dari Biosfer Buatan
Dr. Michaletz juga memiliki pengalaman bekerja di Biosphere 2, sebuah fasilitas penelitian yang awalnya dirancang sebagai ekosistem tertutup untuk menguji apakah manusia bisa bertahan hidup tanpa pasokan eksternal. Namun, eksperimen ini menghadapi tantangan tak terduga, seperti akumulasi karbon dioksida akibat reaksi kimia pada beton serta dampak sosial dan psikologis terhadap para peneliti yang dikurung di dalamnya.
Kini, Biosphere 2 berfungsi sebagai pusat penelitian dan edukasi publik, di mana Dr. Michaletz mengamati bagaimana suhu tinggi mempengaruhi tumbuhan di dalam hutan hujan buatan.
Tumbuhan memang telah bertahan dari perubahan iklim selama ratusan juta tahun, tetapi setiap spesies memiliki batas toleransi terhadap suhu tinggi. Meskipun beberapa spesies lebih tahan panas daripada yang lain, masih belum jelas kapan titik kritis bagi mayoritas tumbuhan akan tercapai. Namun, berdasarkan pengukuran terbaru, kita mungkin sudah lebih dekat dengan batas tersebut dibandingkan yang kita kira.
Dengan suhu global yang kini rata-rata mencapai 16°C dan terus meningkat, memahami batas ketahanan tumbuhan menjadi sangat penting untuk memperkirakan umpan balik iklim di masa depan dan menyusun strategi mitigasi yang lebih efektif (Marwan Aziz).