NUSA DUA – BALI, BERITALINGKUNGAN.COM — Perwakilan Oxfam Asia Sunil Acharya mengatakan bahwa krisis iklim secara global telah mendatangkan malapetaka bagi komunitas miskin di seluruh dunia. Negara-negara kaya (G20) seharusnya ikut bertanggungjawab, karena mereka menyumbang 80% dari emisi GRK secara global.
“Negara kaya bertanggung jawab secara tidak proporsional dan mereka tidak memenuhi bagian mereka yang adil, meskipun dijanjikan berulang kali,” ujar Sunil saat menjadi pembicara pada diskusi “Broken Promises; The Reality of Climate Finance and Urgent Need to Fix It” di Bali, (6/10).
Untuk itu, negara maju harus mampu menjaga agar kenaikan suhu Bumi tidak melebihi 2,7ºC yang dianggap oleh peneliti sebagai bencana terbesar pada akhir abad ini.
“Gagal bertindak akan menciptakan krisis hak asasi manusia (HAM) dan krisis ketidaksetaraan,” ungkapnya.
Untuk itu, pendanaan sangat diperlukan dalam mengatasi krisis iklim, mengurangi emisi, dan mendukung masyarakat untuk beradaptasi, serta membantu mereka (masyarakat miskin) pulih dan bangkit kembali.
“Pembiayaan sangat diperlukan untuk mengatasi krisis iklim,” terang Sunil.
Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) yang merupakan panel ilmiah dari para ilmuwan di seluruh dunia dalam laporannya secara tegas mengatakan bahwa masyarakat harus mampu beradaptasi sebagai upaya mengatasi pemanasan global.
“Dan untuk itu dibutuhkan dana yang besar,” katanya.
Secara umum, perkiraan pendanaan iklim yang dibutuhkan untuk negara berkembang bervariasi. Standing Committee on Finance (SCF) – UNFCCC pada 2021 mengatakan, diperlukan pendanaan untuk kegiatan yang digariskan dalam rencana iklim resmi sebesar US$5,8 – 5,9 triliun hingga tahun 2030.
Sementara itu, UN Environment Programme (UNEP) (2021) menyebut biaya adaptasi perubahan iklim mencapai US$155 -330 juta pada tahun 2030. “Jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi US$310 – 555bn pada tahun 2050,” ujarnya.
Adapun biaya kerugian dan kerusakan merujuk pada jurnal Markandya & Gonzalez – Eguino (2019) diperkirakan sebesar US$116 – 435 miliar pada tahun 2020. Diproyeksikan jumlahnya naik US$1 – 1,8 triliun pada pertengahan abad ini.
“Oleh sebab itu janji pembiayaan iklim US$100 miliar sangat kecil dibandingkan dengan investasi yang dibutuhkan,” tegas Sunil.
Khusus di Asia Selatan dan Tenggara, Sunil menjelaskan bahwa krisis iklim telah mengakibatkan banyak negara terpapar risiko iklim yang parah. Setidaknya 6 dari 10 negara mengalami kerentanan akibat cuaca ekstrem, sejak pergantian abad ini. Negara-negara itu adalah Myanmar, Filipina, Bangladesh, Pakistan, Thailand, dan Nepal.
Dengan demikian, perubahan iklim adalah dorongan mendasar dari jalur masa depan kawasan ini. Untuk itu, mereka harus melakukan sejumlah langkah adaptasi dan mitigasi yang tepat.
Hanya saja, eksposur risiko yang ekstrem, ditambah dengan kepadatan populasi, serta kondisi ekonomi dan ketidaksetaraan yang merajalela, termasuk situasi geopolitik kawasan yang kompleks, menjadikan langkah adaptasi dan mitigasi menjadi sulit.
Kendati demikian, masih ada celah untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya dengan meminta negara-negara maju untuk bertanggungjawab terhadap pemanasan global dengan meningkatkan pembiayaan iklim global.
Selain itu, perlu untuk meningkatkan pendanaan adaptasi berbasis hibah, terutama bagi mereka yang paling rentan dan paling tidak siap menghadapi risiko iklim.
“Menyampaikan penggandaan dana adaptasi seperti yang dilakukan di Glasgow juga harus dilakukan,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)