Azhar, Mangrove dan Luna Maya tanpa tahu hari ini, 26 Juli, adalah Hari Mangrove Internasional, saya berkunjung ke rumah seorang yang layak untuk disebut “Pahlawan Mangrove”. Dialah Azhar Idris, seorang petani tambak di Lam Ujong, pinggiran Kota Banda Aceh. Pendidikan terakhirnya hanya sekolah dasar. Berumur 43 dan beranak tiga, orangnya sederhana. Tapi, menyimpan energi dan ketegaran luar biasa.
Lewat inisiatif sendiri, dan baru belakangan memikat dukungan NGO internasional, Azhar berjasa menghijaukan kembali 35 hektar kawasan pesisir Aceh setelah tsunami dengan 300.000 batang pohon bakau yang disemaikannya.”Hanya inilah yang bisa saya lakukan setelah tsunami,” katanya.
Ketika gempa besar menghantam pada 2004, Azhar sedang mengantar makanan untuk buruh tambak yang dikelolanya dekat pantai. Dia segera pulang ke rumah ketika gempa reda untuk menengok anak-istrinya. Sampai di kampungnya, air laut terdengar menggemuruh “seperti suara pesawat terbang”. Dia berhasil menyeret dua anak dan istrinya berlari, meski tak ada bukit untuk menyelamatkan diri. Keluarga ini selamat karena berhasil meraih dan naik batang pohon beringin tak jauh dari rumahnya. Satu anaknya lahir setelah tsunami.
Dari sebelum tsunami, Azhar memang petani tambak, yang mengelola lima hektar lahan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Dia sudah bekerja di tambak sejak lulus sekolah dasar. Dan tambaklah yang memperkenalnya dengan bakau.
Petani tambak di Aceh menanam bakau pada pematang (dinding pemisah antara satu kolam dengan kolam tambak yang lain) dan di tengah kolam. “Agar udang dan ikan bandeng bisa bertelur dan mencari makan di situ,” kata Azhar.
Tsunami tidak hanya mencabut seratus ribu lebih nyawa, tapi menghancurkan usaha tambak di seluruh pesisir utara dan barat Aceh.
Tiga bulan mengungsi di Blang Bintang, dekat Bandar Udara Iskandar Muda Banda Aceh, Azhar disadarkan untuk mencari penghidupan bagi keluarganya. Dan yang dia tahu hanya tambak.
Untuk membangun tambaknya kembali, Azhar mulai mencari biji bakau. “Tapi, di desa ini sudah habis. Tsunami mencabut pohon bakau sampai tanah-tanahnya,”katanya.
Selama tiga bulan dia bekeliling dari satu desa ke desa lain, hingga Piddie, 100 km dari Banda Aceh, untuk mengumpulkan biji-biji bakau. “Bakau tambak di Piddie tidak terlalu parah dihantam tsunami,” katanya.
Dia mengumpulkan lebih banyak dari yang diperlukannya sendiri: 30.000 biji dalam ikatan 100 biji per ikat. “Istri saya protes dan saya sempat dibilang gila oleh teman-teman saya,” katanya. “Tapi, saya hanya berpikir orang lain juga akan membutuhkannya.”
Dan mulailah dia menyemaikannya di lahan tambaknya semula. Enam bulan berikutnya pohon-pohon bakau sudah mulai mengijau.
Di Aceh setelah tsunami, sebagian NGO internasional yang datang memiliki kepedulian pada kelestarian lingkungan, hutan bakau khususnya. Satu di antaranya adalah Wetland International, yang memang berkecimpung pada hutan lahan basah (bakau).
Wetland semula mencoba mendanai penanaman bakau langsung ke masyarakat. Namun tidak cukup berhasil, sampai mereka kemudian menemukan Azhar. “Mereka memberi dua kelompok petani binaan saya dana pemberdayaan ekonomi melalui pembibitan bakau,” katanya. Kelompok ini beranggotakan 20 orang. “Kami hanya diberi uang jika bakau yang kami tanam tumbuh dan bisa tetap hidup setelah enam bulan.”
Bakau-bakau Azhar tidak hanya tumbuh, tapi juga terus meluas lahan pembibitannya. Beberapa lembaga internasional lain seperti World Wild Life (WWF), Pemerintah Jepang dan Asian Development Bank, tertarik terlibat sedemikian sehingga total keseluruhan lahan penanaman bakau yang menggunakan jasanya mencapai 35 hektar.
“WWF menyebut saya pahlawan penyelamat lingkungan,” kata Azhar. “Padahal, saya tidak tahu apa itu lingkungan. Yang saya tahu, bakau berguna untuk tambak,” katanya sambil tertawa. WWF berhasil mengusulkan Azhar menjadi pembawa obor Olimpiade Beijing tempo hari, ketika estafet obor itu melintas ke Indonesia.
Saya bertanya tentang resepnya menumbuhkan bakau, kenapa dia berhasil dan banyak program sejenis di Aceh gagal. “Tergantung dari niat,” katanya. Niat? “Ya, saya menanam memang dengan tujuan agar bakau hidup, demi menghidupkan tambak. Orang lain hanya berharap bayaran dari upah menanam bakau. Asal tancap, tak dirawat.”
Berkat suksesnya, belakangan Azhar sering diundang menjadi pembicara dalam beberapa konferensi lingkungan di Jakarta. “Saya senang,” katanya, “berkat bakau saya bisa tidur di hotel mewah, bertemu dengan pejabat tinggi dan berkenalan dengan artis-artis seperti Luna Maya, Nirina Zubir dan Valerina Daniel.” Azhar tidak tahu bahwa Valerina bukanlah artis.
Tapi, Azhar tetap bersahaja. Rumahnya sama saja dengan rumah-rumah tetangga, pada umumnya. Sore ini, menjelang matahari terbenam di laut Aceh, bersandal jepit dia mengantar kami mengujungi tambak dan pembibitan bakaunya. Di tengah perjalanan, dia menunjukkan pohon beringin yang menyelamatkan nyawa keluarganya.[Farid Gaban]