Ulu Masen, Aceh. Foto : Google. |
Jika air tengah surut, itu akan menjadi berkah buat Ansari dan warga Aceh Jaya lainnya. Mereka dapat mencari ikan dengan mudah dan meyusuri sungai untuk menuju ladang dengan tenang. “Tapi kalau air tinggi, kami susah,” katanya.
Hal yang paling ditakutkan Ansari adalah naiknya air sungai secara tiba-tiba. “Sering kali cuaca sangat cerah, tapi tiba-tiba air menjadi keruh dan naik,” katanya. “Kalau sudah begitu menyingkir dari sungai dan berdoa segera usai.”
Sungai Teunom . Foto : Dukut Budiyono |
Sebagai daaerah yang berada di hilir kawasan Ulu Masen, Aceh Jaya menjadi daerah pertama yang jadi korban rusaknya hutan.
Juni 2007 Gubernur Aceh, Irwandi mendeklarasikan sebuah moratorium yang berkaitan dengan semua kegiatan penebangan hutan.
Upaya gubernur menetapkan kebijakan itu, menurut Zulfan Monika, staf Fauna & Flora International (FFI) yang menemani saya menyusuri Sungai Teunom, sangat tepat. “Kini kita sudah tidak melihat kayu-kayu gelondongan yang meluncur di sungai ini,” katanya.
Memang benar apa yang dikatakan Boy, panggilan akrab Zulfan. Dalam perjalanan itu saya melihat pohon-pohon besar masih membentengi sungai dengan rapatnya. Padahal, posisinya di pinggir sungai akan memudahkan perambah membawa hasil tebangannya ke kota.
Usai bergoyang diatas riaknya air Sungai Teunom, saya tiba di air terjun. Beragam burung dan kupu-kupu menyambut kedatangan kami. “Selama datang di surga Ulu Masen,” kata Boy.
Untuk menjaga kelestarian Ulu Masen, FFI tengah berupaya menjadikan penyusuran Sungai Teunom hingga air terjun ini menjadi paket wisata pendidikan. “Sehingga warga punya tamu yang bisa diajak menikmati kekayaan alam ini,” kata Boy.
Dengan itu, sambung Boy, warga akan menjaga kelestarian alam ini dan mereka punya pendapatan dari penyewaan perahu dan penjualan makanan. “Sehingga tidak akan tergoda cukong kayu untuk mengepulkan asap dapur dengan menebang pohon,” imbuhnya.
Untuk mencapai itu ternyata butuh waktu panjang. “Kami masih mempertimbangkan berbagai hal dan membekali warga dengan berbagai ketrampilan,” katanya.
Upaya menjaga kelestarian Ulu Masen juga tidak hanya dilakukan di hilir. Di Mane, Kabupaten Pidie, FFI juga berupaya mengajak warga menjaga kelestarian hutan. “Tentunya cara mengajaknya bukan hanya sekadar imbauan,” kata Yasser Premana, Koordinator Livelihood FFI Program Aceh. “Kami mendengar, kami berpikir, dan kami turun bersama warga.”
Usai mengunjungi surga Ulu Masen dengan menyusuri Sungai Teunom, saya mengikuti aktivitas Yasser bersama timnya. Saat itu FFI tengah membagikan bibit kopi bagi kelompok tani dibawah payung Koperasi Geumpang Jaya, Kabupaten Pidie.
Dengan bertani pada kebun yang tetap, warga tidak akan membuka ladang lagi di hutan. “Dengan bimbingan FFI, pelan-pelan pola tanam kami berubah,” kata Edi Saputra, Sekretaris Koperasi Geumpang Jaya.
Agar tidak diganggu gajah, kata Edi, kita harus menananam yang tidak disukainya. “Kopi dan coklat yang kami tanam,” katanya.
Dengan adanya pendapatan rutin yang cukup, kata Yasser, warga akan ikutserta menjaga kelestarian hutan. “Karena Sungai Teunom mengalir dari Geumpang ke Aceh Jaya, maka FFI hadir di keduanya. Kita ingin warga di hulu dan di hilir saling memahami kondisinya dan ikutserta menjaga Ulu Masen dengan cara masing-masing,” papar Yasser.
Dewa Gumay, jurubicara FFI mengatakan selain mendampingi warga di kawasan Ulu Masen, pihaknya juga bergerak pada tataran kebijakan. “Moratorium dan Aceh Green yang digagas gubernur menjadi modal penyusunan kebijakan pelestarian dan pengelolaan Ulu Masen,” katanya.
Soal status kawasan hutan seluas 750.000 hektar itu, Dewa tak mau status taman nasional disandang Ulu Masen. “Kalau itu nantinya akan dikelola pemerintah pusat, dan warga akan terusir dari tanah leluhurnya,” kata Dewa.
Dalam pengelolaan Ulu Masen, sambung Dewa, pihaknya ingin dikelola oleh sebuah badan. “Karena mencakup lima kabupaten, maka lima daerah itu harus terlibat,” katanya. “Sehingga Ulu Masen akan menjadi berkah bagi rakyat Aceh sendiri,” (Asep Saefullah)