Suatu sore yang mendung di sebuah kampung yang kental nuansa pertanian , Badawi dibantu oleh adiknya Basir sibuk mengemasi dan memberi label ratusan kotak benih kentang yang tersusun rapi pada sebuah gudang milik Balai Benih Hortikultura Kabupaten Bantaeng, kentang itu rencananya dikirim ke Malino Kabupaten Gowa.
Usai melabel, Badawi beranjak menuju rumah kaca (green house) untuk menyirami tanaman kentang hasil kultur jaringan yang daunnya tampak menghijau.
Sebagian badan gunung bawakaraeng mulai diselimuti kabut berwarna putih, pertanda hujan sebentar lagi akan turun, meski rasa dingin mulai menusuk hingga sum-sum tulang namun bukan halangan bagi Badawi untuk tetap menjalankan aktivitasnya yang digelutinya semenjak tamat di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Pria yang saat itu mengenakan baju koes putih yang bergambar tokoh pencetus pergerakan kaum tani Indonesia “Marhaen” (Bung Karno).”Berfikir, berzikir dan berjuang,”itulah kata-kata bung Karno yang tertulis dalam baju koes tersebut, bertekad mengembalikan kejayaan kentang di Bantaeng.
Sentra perbenihan kentang itu berada disebuah kampung itu bernama Desa Bonto Marannu. Sesuai dengan namanya Bonto Marunnu artinya “Bukit Menyenangkan”, desa itu pernah berhasil menyambet penghargaan sebagai Desa terbersih dan terhijau se-Sulawesi Selatan
Kampung dulu dikenal dengan nama Loka itu, kini telah dinaikan posisinya sebagai ibukota Kecamatan Ulu Ere (kepala air) jaraknya sekitar 24 KM dari Kota Bantaeng. Bantaeng adalah salah satu kota tertua di Sulawesi Selatan yang diberi gelar “Butta Toa” dapat dicapai dengan menempuh dua perjalanan atau jaraknya sekitar 120 kilo meter (KM) dari Kota Makassar.
Perjalanan menuju ke Loka dapat ditempuh sekitar 2 jam melewati Kecamatan Bissappu. Jalan menuju sana penuh kelokan dan mendaki, namun sangat menyenangkan bagi siapun yang suka dengan kegiatan pendakian, karena di sepanjang jalan, kita bisa menyaksikan hamparan hijau tanaman hortikultura sayur-sayuran yang ditanam di lereng-lereng bukit.
Tak hanya itu, berkunjung ke Loka bisa menjadi pilihan dan bisa menghilangkan kepengatan di kota karena disana kita bisa menikmati udara sejuk hampir tak beda jauh dengan kesejukan alam Malino yang terkenal sebagai “kulkas alam” ini disebabkan karena Loka posisinya berada diatas ketinggian. Di Desa Bonto Marannu, kita bisa menikmati sebuah lokasi agro wisata yang diberi nama Loka Camp, untuk bisa mencapai lokasi tersebut harus ditempuh dengan berjalan kaki dari jalan raya sekitar 1 kilometer. Pengelola Loka Camp telah menyediakan villa yang dilengkapi sarana olaraga yang disebut outboud dan sarana olaraga lainnya misalnya untuk meluncur, berjalan di atas tali dan berjalan-jalan di atas jala-jala.
Bantaeng tak hanya memiliki berbagai objek wisata alam antara lain air terjun Bissapu, Permandian Eren Merasa dan Loka Camp, tapi juga menjadi daerah pemasok berbagai jenis tanaman hortikultura dan sayur-sayuran ke daerah lainnya seperti Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur.
Salah satu sentra produksi tanaman sayur-sayuran dan holtikultura di Kabupaten Bantaeng yang beberapa tahun belakangan ini mulai banyak dikunjungi oleh berbagai pihak sekedar untuk melihat dan belajar budidaya tanaman kentang, adalah Kecamatan Ulu Ere yang terbagi atas beberapa desa yang pusatnya ada di desa Bonto Lojong. Yang kini secara bertahap mulai dibenahi untuk dijadikan pilihan wisata yang menawarkan konsep agrowisata.
Kecamatan Ulu Ere memiliki topografi bergelombang dengan tingkat kemiringan antara 15-40% dan berada pada ketinggian lokasinya mulai 1000 hingga 1600 meter dari permukaan laut (dpl) menjadikan daerah ini sangat cocok untuk pengembangan tanaman sayuran khusus tanaman kentang.
Tak heran jika masyarakat setempat telah menekuni budidaya tanaman kentang sejak era tahun 1980-an masyarakat bahkan sempat mencapai puncak kejayaannya sebagai salah satu sentral produksi kentang terbesar di Sulawesi Selatan.
Namun seiring dengan peredaran waktu dan penuan benih kentang di Bantaeng, lama kelamaan produksinya mengalami penurunan yang cukup dratis. Serangan hama penyakit ditenggerai menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya hasil tanaman kentang di Bantaeng, kejadian itu sempat membuat menimbulkan keputusaan sehingga banyak petani beralih ke budidaya tanaman holtikultura lainnya selama beberapa tahun.
Ada pelbagai sebab yang bisa menurunkan panen kentang. di Bantaeng khususnya kecamatan Ulu Ere. Pertama benih yang digunakan sudah terlalu tua dan generasinya sudah tidak terkontrol yang terus menerus digunakan petani, akibatnya produksi mengalami penurunan drastis. Misalnya petani menanam satu biji kentang hanya bisa menghasilkan 1 hingga 2 biji saja. “benih yang digunakan mungkin sudah generasi yang keseratus kali atau mungkin sudah generasi yang lebih dari itu, sehingga hasilnya menurun drastis,”ungkap Badawi.
Padahal menurut teori yang digunakan oleh praktisi pertanian atau penelitian-penelitian yang dilakukan pakar kata Badawi, dianjurkan agar penggunaan benih hanya sampai pada generasi kedelapan, setelah itu harus memperbaruhui atau menggunakan lagi generasi pertama.
Faktor kedua adalah budidaya kentang digunakan petani tidak tepat, kalau dulu-dulunya petani membudidayakan kentang hampir sama dengan budidaya jagung. Tanpa diawali dengan membuat bedengan atau guludang terlebih dahalu sehingga kentang tidak leluasa dan tidak ruang bagi pertumbuhan akar karena tanahnya agak padat akibatnya tanaman kentang susah untuk membentuk umbi yang besar dan banyak. “Inilah yang melatar bekalangi lahirnya inisiatif pengembangan tanaman kentang melalui sistem kultur jaringan,”ujarnya.
Selain itu lanjut alumnus Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin ini, penggunaan benih secara berulang atau menggunakan benih yang lama.” Atau sudah hampir dengan istilah seperti orang tua yang membukuk, pasti banyak penyakitnya,”ujarnya.
Penyakit yang paling menonjol yang melanda tanaman kentang di Kabupaten Bantaeng adalah phytophthora atau busuk hitam, gejalahnya daunnya seperti tersiram air panas dan penyakit layu bakteri, kedua penyakit itu telah menyebar luas di lahan-lahan petani karena penyebarannya bisa disebabkan oleh angin dan bisa melalui perantaraan air.
Hal itulah yang membuat pemerintah Kabupaten Banteang cemas dan berkonsultasi dengan pakar-pakar pertanian yang ada di Universitas Hasanuddin dalam hal ini Prof Dr Ir Baharuddin, Kepala Laboratioum Biotek Pertanian Unhas untuk mengatasi masalah tersebut.
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Prof Dr Ir Baharuddin menawarkan ide pengembangan paket sistem pertanian ramah lingkungan dengan memanfaatkan pupuk organik, bibit hasil kultur jaringan dan biopestisida yang diharapkan bisa mengembalikan nama kejayaan produksi kentang Kabupaten Bantaeng masa lalu.
Sumber benih yang diperoleh dari saat ini ternyata sebagian masih menggunakan benih lokal karena tidak semua benih kentang di Kabupaten Bantaeng terserang penyakit. Benih lokal itu telah dimurnikan dari hama penyakit dan diperbanyak dengan teknik kultur jaringan. Sebagian lagi menggunakan benih dari impor yang telah direaliase (sudah dilepas oleh pemerintah) yakni Granola.
Diungkapkan berdasarkan hasil survey, dalam satu hamparan lahan budidaya kentang, pasti ada satu dua tanaman yang masih bagus atau mungkin ada 10 tanaman yang tumbuh dengan bagus tanpa terserang hama dan penyakit, bibit tersebut diambil dan selanjutnya dilakukan pengujian di Laboratorium Biotek Universitas Hasanuddin.
Didapatkanlah benih bebas hama dan penyakit, maka benih itulah yang dipakai sebagai bahan sistem kultur jaringan. Setelah dilakukan perbanyakan tanaman kentang dengan sistem kultur jaringan yang ditunjang dengan fasilitas green house yang di bangun Pemda Kabupaten Bantaeng bayang-bayang kejayaan kentang Bantaeng mulai kembali bangkit. “Alhamdulillah kurang lebih 4 tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat,”ujarnya. Program pengembangan tanaman kentang sistem kultur jaringan itu mulai sejak tahun 2002.
Kalau sebelumnya petani biasa memesan benih dari Jawa, Malino dan Enrekang, namun setelah dilakukan budidaya kentang dengan sistem kultur jaringan, petani lebih mudah untuk mendapatkan benih kentang bahkan kini daerah-daerah tersebut kini balik memesan benih kentang dari Kabupaten Bantaeng
Kemajuan lain yang paling menonjol dari pusat perbenihan itu adalah produksinya sangat meningkat dibandingkan benih-benih lokal. Kalau dulu maksimal 5 ton perhektar, sekarang bisa mencapai 25 hingga 30 ton perhektar dengan teknologi budidaya yang tepat dan benih berasal dari sistem kultur jaringan. Itulah yang membuat Kabupaten Bantaeng di tetapkan sebagai sentral produksi benih kentang di Indonesia.
“Setelah melalui serangkaian penelitian dan penerapan teknik perbenihan kentang ramah lingkungan kerjasama Pemda Bantaeng dan pihak Unhas. Alhamdulillah hasilnya kini mulai tampak. Kalau sebelumnya kita banyak memesan benih kentang dari luar, sekarang pihak luar pada berdatangan kesini untuk memesan benih kentang, selain itu Bantaeng kini telah ditetapkan sebagai pusat perbenihan kentang nasional,”kata Badawi.
Jenis benih kentang lokal atau dalam negeri yang dikembangkan di kabupaten Bantaeng adalah Granola, Nikola, sedangkan benih impor adalah kentang jenis Bejo yang berasal dari Belanda, benih kentang jenis Herta, Atlantik dan Raja berasal dari Jerman.
Benih tersebut diperoleh dari induk yang berkualitas tinggi dan dijamin bebas penyakit, berdasarkan hasil pemeriksaan dengan teknik serologi (ELISA) dan molekuler DNA (PCR), kemudian dipropagasi melalui kultur jaringan di Laboratorium Biotek Pertanian Universitas Hasanuddin. “Sebenarnya Granola dan Nikola juga termasuk benih impor tapi umurnya agak lama atau sudah lama digunakan oleh petani di sini,sehingga sudah dianggap sebagai benih lokal,”kata Badawi.
Namun yang paling banyak digunakan adalah Granola dan Nikola. Menurut Kepala Laboratirium Bioteknologi Pertanian Unhas Prof Dr Ir Baharuddin yang ditemui diruang kerjanya beberapa waktu lalu, benih kentang jenis granola memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kentang lainnya.
Keunggulan benih kentang jenis Granola adalah produksinya jauh lebih tinggi yakni bisa mencapai 70 ton perhektar. Keunggulan lainnya adalah umbinya ada dalam tanah mengumpul sehingga kalau dipanen tidak banyak yang kena sabit atau jarang ada yang terpotong sabit, bila dibandingkan Nikola umbinya jauh dari batang sehingga kadang-kadang tidak sengaja terkena sabit dan terpotong, hanya kekuranganya Granola adalah agak rentan terdapat phytophthora (busuk hitam).
Sedangkan benih kentang jenis Bejo tahan terhadap penyakit terutama penyakit phytophthora, biar dinpus dengan penyakit phytophthora, dia tidak akan terserang karena benih kentang varietas Bejo daunnya berbulu-bulu, hasilnya sama dengan kentang lainnya dan umbinya mengumpul disekitar perakaran hanya kekurangannya agak dalam matanya sehingga kalau orang mau mengupas maka agak sulit.
Penyakit busuk hitam merupakan penyakit yang paling ditakuti dalam pembudidayaan kentang karena tiga hari tanaman tidak maka tanaman akan hancur. Apalagi kalau musim hujan.
Atlantik merupakan varietas kentang yang sangat mulus, bulat dan digunakan sebagai kentang kripik patato chips, hanya kekurangan umbinya agak jauh dari batang dan produktivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan Granola. Granola di gunakan sebagai sayuran.
Kultur Jaringan
Badawi, pria yang telah dikaruniai 2 anak itu buah dari perkawinannya dengan salah satu alumnus kedokteran UNHAS ini, menceritakan proses program pengembangan tanaman kentang dengan sistem kultur jaringan hingga sistem aeroponik yang selama ini digelutinya.
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik menumbuh kembangkan bagian tanaman, berupa sel, jaringan ataupun organ dalam kondisi aseptic di laboratorium sehingga bagian tanaman tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. “Jadi melalui kultur jaringan ini kita bisa menghasilkan ribuan tanaman dalam satu sel tanaman,”jelasnya.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah survey lapangan untuk melihat tanaman kentang, hasilnya tampak beberapa tanaman yang tumbuh dengan bagus dan memiliki umbi yang tidak terserang hama dan penyakit yang kemudian dipilih sebagai sumber benih “Maka kita berinisitiap atau berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang dimiliki tanaman ini karena tanaman lain terserang sementara dia tidak terserang hama penyakit,”katanya.
Tanaman yang tidak terserang tersebut yang diambil umbinya, selanjutnya dilakukan uji hama dan penyakit di laboratorium Unhas, setelah diuji dan dianggap sudah bebas dari hama dan penyakit maka kemudian dilakukan penanaman dalam wadah polibag yang sudah tercampur dengan pupuk kandang.
Setelah tumbuh bagus, selanjutnya dipindahkan ditempat gelap dengan harapan agar pertumbuhan tanaman ruas akan mengalami pemajaman (etoloasi). Dengan cara tersebut perkembangan tanaman akan lebih cepat dibandingkan perkembangan virus yang hinggap ditanaman tersebut sehingga penyakit tidak terdapat dalam tanaman.
Pada saat itulah pucuk batang distek beberapa bagian lalu ditanam dalam botol yang telah berisi media MS (Murasiga Schokrosa) atau biasa dikenal dengan sebutan media agar-agar.
Setelah selang beberapa hari stek tersebut dipindahkan ke media yang lebih besar untuk memperoleh lebih banyak tanaman hasil kultur jaringan yang juga telah berisi agar-agar. Kemudian stek dari kultur tersebut ditanam pada media arang sekam dan diaklimatisasi (disimpang) hingga 3 minggu sampai membentuk pucuk baru. Penanaman dari stek ke stek dilakukan hingga 3 kali agar memperoleh hasil yang lebih baik.
Selanjutnya tanaman diaklimatisasikan atau dipindahkan dari ruang yang serba diatur suhunya (full AC) di laboratorium biotek pertanian Universitas Hasanuddin ke green house di desa Loka Kabupaten Bantaeng yang sebagian suhunya masih dilakukan pengentrolan.
”Jadi tanaman-tanaman plantlet yang ada didalam botol yang dikirim dari laboratorium pertanian selanjutnya digunting-gunting dan diaklimatisasikan dalam media arang sekam, setelah tanaman tumbuh bagus dengan memakan waktu kurang lebih tiga bulan baru bisa menghasilkan tanaman kentang Generasi Nol/Super (Go) atau generasi awal yang besarnya seperti kelereng dan selanjutnya diistrahatkan (dormansikan) selama 3 bulan dalam gudang yang lokasinya bersebelahan dengan green house (rumah kaca).,”tuturnya.
Setelah masa itu, tanaman kentang ditanam dengan menggunakan media tanah di green house, namun masih dibungkus dengan kain kelambu untuk menangkal masuknya serangan hama dan penyakit.
Penanaman generasi satu (G1) dilakukan dengan menggunakan umbi benih hasil perbanyakan tanaman sebelumnya, yakni benih generasi nol (Go). Inilah yang menghasilkan tanaman kentang G1 (Super Elit) yang bisa disebar ke lahan-lahan petani dan sebagian lagi dijual ke luar daerah. ” Ini yang sekarang kami kembangkan. Saat ini telah bisa menghasilkan 30 ton perhektar,”ungkapnya.
Sedangkan produksi Generasi Dua (G2) menggunakan benih kentang G1 yang penanamannya dilakukan di lahan, tidak menggunakan lagi screen house. Pada penanaman Generasi Tiga (G3) dan G4 diproduksi langsung oleh petani penangkar yang telah terlatih, dengan pengawasan langsung dari tim ahli yakni petugas dari Dinas Pertanian.
“Pengembangan benih kentang dengan sistem kultur jaringan sangat menarik, karena ini merupakan pertama kalinya di Indonesia Timur, berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan kentang dengan sistem kultur jaringan hasilnya jauh lebih unggul dibandingkan dengan sistem budidaya pertanian yang selama ini dilakukan petani,”kata Nisrina Thamrin, alumni Universitas Hasanuddin yang pernah melakukan penelitian di areal pengembangan benih kentang di Bantaeng.
Lanjutnya, kalau dulu maksimal 5 ton perhektar, sekarang bisa mencapai 25 hingga 30 ton perhektar dengan teknologi budidaya yang tepat dan benih berasal dari sistem kultur jaringan.
Program pengembangan kentang di Bantaeng juga menarik dijadikan media pembelajaran kolaborasi para pihak baik pemerintah, perguruan tinggi, petani dan pihak luar negeri. Karena program pengembangan benih kentang dilakukan melalui kolaborasi antara pemda Bantaeng, Universitas Hasanuddin, Petani dan Pemerintah Korea.
Program pengembangan tanaman ramah lingkungan dengan sistem kultur jaringan kini telah mampu menopang atau meningkatkan tarap hidup petani kentang yang ada di Kecamatan Ulu Ere sehingga semangat petani mulai bangkit kembali, setelah beberapa tahun sebelumnya petani sempat mengalami keputusaasaan dalam budidaya tanaman yang kaya karbohidrat ini.
Hingga saat ini Badawi telah mampu membina 2 kelompok tani yakni Kelompok Tani Kentang Jaya dan Kelompok Tani Hortikultura yang tersebar diempat desa yaitu Desa Bonto Tanga,Bonto Daeng, Bonto Marannu dan Bonto Lojong. Keempat desa itu semuanya berada di Kecamatan Ulu Ere Kabupaten Bantaeng.
Setelah berhasil melakukan budidaya dan membangkitkan semangat petani, Permasalahan kini yang dihadapi Badawi adalah bagaimana benih kentang bisa laku dipasaran. Pasalnya hingga saat ini tanaman kentang jenis Go dan G1 masih kurang diminati oleh konsumen karena harganya cukup mahal.
Jenis benih kentang Go yang ukuranya umbinya sebesar kelereng dijual dengan harga Rp 2 ribu perbiji. Jenis kentang Go harganya tidak ditentukan besar kecilnya tapi diratakan Rp 2000 perbiji. Namun demikian pihak Departemen Pertanian telah memesan benih kentang Go sebanyak 120 ribu biji dengan harga Rp 2 000 perbiji.
Yang laku dijual adalah G2 (benih Dasar), G3 (benih pokok) dan G4 (benih sebar), sebab G1 menjualnya menggunakan masih sistem biji bukan sistem kilogram karena G1 memproduksinya agak sulit dibandingkan yang lain.
Pemasaran benih khusus Go masih terbatas untuk komsumsi proyek penelitian sedangkan lainnya sudah laku terjual dipasaran bahkan petani pun sudah berani membeli seperti kentang jenis G3 dan G4, walaupun harganya jauh cukup mahal dibandingkan kentang lokal tapi hasil yang diperoleh jauh lebih besar.
Harga perbenih cukup varietif semakin kecil ukurannya semakin mahal, berbeda dengan kentang untuk keperluan komsumsi yang dijual di pasaran dimana semakin besar makin mahal. Namun benih kentang dikembangkan di Bantaeng semakin kecil semakin mahal. Misalnya saja untuk benih kentang jenis Go ukuran kelereng dijual Rp 2 ribu perbiji, sedangkan Go ukuran besar hasil hanya dijual seribu rupiah perbiji.
Hal tersebut disebabkan karena awal untuk memperoleh benih produksi benih Go agak susah dibutuhkan media yang cocok dan tangan-tangan terampil serta menggunakan bagian vegetatif tanaman baru bisa menghasilkan benih Go. Sedangkan benih G1, G2, G3 dan G4 bahanya sudah menggunakan umbi kentang.
Keberhasilan program pengembangan tanaman kentang ramah lingkungan di Bantaeng, kini mulai dilirik sejumlah kalangan, tak hanya pihak dalam negeri tapi pihak luar negeri pun kini pun mulai bertandang ke kecamatan Ulu Ere. Misalnya, pemerintah Korea menaruh perhatian besar terhadap program pengembangan tanaman kentang di Bantaeng yang ditandai dengan mengirimkan utusannya bernama Mr Park Jong Sub untuk magang di program tersebut.
Kedatangan Mr Park Jong Sub kin menambah energi baru dalam mengembalikan kejayaan kentang di Kabupaten Bantaeng. Selain datang untuk belajar,”Master Pertanian” itu sengaja diutus pemerintah Korea untuk menjajaki kerjasama dengan pemda Bantaeng dalam pengembangan tanaman holtikultura di Bantaeng.
Setelah mempelajari kondisi alam disana, pemerintah Korea menawarkan salah satu teknologi aeroponik untuk membantu pengembangan tanaman kentang.“Jadi sistem aeroponik kentang yang ada disini merupakan satu-satunya di Indonesia, di Pulau Jawa juga ada sistem aeroponik, tapi bukan aeroponik menggunakan tanaman kentang,”tuturnya.
Inilah yang kemudian dikerjasamakan antara pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng dengan Korea Internasional Cooperation Agenci (KOICA). Teknologi pertanian sistem aeroponik ini sebenarnya sudah lama dikenal tapi hanya sebatas teori di bangku kuliah, sayangnya tak pernah dipraktekan atau direalisasikan. Inilah salah satu bukti kelemahaan sistem pendidikan di tanah air kita.
Pihak Korea hingga saat ini telah membantu pengembangan tanaman kentang di Kabupaten Bantaeng ditandai bantuan pembangunan green house hidroponik serta menempatkan satu tenaga Junior Exper (Mr Park Jong Sub) untuk menangani sistem aeroponik.“Dengan menggunakan sistem aeropinik. Alhamdulillah, hasilnya lebih bagus karena hasilnya sangat meningkat dibandingkan dengan menggunakan media sekam walaupun sama-sama menggunakan stek kultur jaringan untuk produksi benih kentang Go,”ungkapnya.
Kalau menggunakan media arang sekam maka hasilnya hanya bisa sampai 1 banding 10 saja, sedangkan dengan aeroponik bisa memperoleh hasil 1 banding 25 yang asalnya semua dari sistem kultur jaringan. Perbanyakan benih kentang Go sistem aeroponik mulai dioperasionalkan pada bulan Pebruari 2005.
Selain berhasil menggalang kerjasama dengan pihak luar (Korea red). Balai benih kentang Kabupaten Bantaeng sejak tahun 2004 telah mendapatkan sertifikat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan ditetapkan sebagai pusat perbenihan nasional.
Ditetapkannya daerah tersebut sebagai pusat perbenihkan nasional,membuat lokasi itu kian ramai dikunjungi sejumlah kelompok tani, pakar, anggota legislatif dan pemerintah dari berbagai daerah baik lokal Sulawesi Selatan maupun dari pulau Jawa mendatangi tempat itu.
Kedatangan mereka bukan hanya sekedar menimbah ilmu tentang pengembangan kentang tapi lebih dari itu mereka juga menjajaki kerjasama pengembangan kentang di daerah masing-masing.“Tamu-tamu ramai berdatangan kemari mulai dari kelompok tani, pemerintah, anggota legislatif dari berbagai daerah hingga pakar-pakar holtikultura khususnya tanaman kentang hampir semua semua kesini termasuk ahli kultur jaringan Indonesia dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Watumaena sudah pernah berkunjung ke sini,”ungkapnya.
Sosok Badawi tak hanya giat mengeluti pengembangan tanaman kentang, tapi ia mengabdikan diri pada pembinaan mental rohani masyarakat yang telah ditekuninya sejak masih aktif di kampus merah Universitas Hasanuddin dulu. Sambil melakukan kampanye penyadaran lingkungan-pertanian organik pada masyarakat (petani) agar seminimal mungkin menggunakan bahan kimia dalam kegiatan budidaya pertanian di Kecamatan Ulu Ere Kabupaten Banteang.
Menurutnya, yang ramah lingkungan bukan menghilangkan sama sekali penggunaan pestisida, tapi bagaimana bisa meminimisir. Lalu kemudian beralih menggunakan media-media atau alat-alat tanpa menggunakan pestisida yang berlebihan. Misalnya dengan memakai bakteri, pupuk organik yang memanfaatkan tongkol jagung, daun-daunan yang sudah lapuk diubah menjadi pupuk kompos. “Inilah yang kami kemudian gunakan dalam pengembangan tanaman benih tanaman kentang disini,”katanya.
Namun demikian ia juga mengakui beratnya meyakinkan petani agar bisa beralih ke pertanian organik. “Saya melihat sistem ramah lingkungan yang kita gunakan ini masih harus menunggu hasil yang lebih diatas dengan teknologi pertanian yang menggunakan bahan-bahan kimia. Apa yang kami usahakan sekarang paling tidak bisa mengurangi penggunaan zat-zat kimia,”tandasnya. ***