Catatan Perjalanan : Ahmad Yunus
Kapal kayu milik Turisi tersendat-sendat. Air laut surut. Lumpur menghalangi laju kapalnya. Mesin menderu. Baling kapal mencakar lumpur. Ia baru saja pulang dari Tawau, Malaysia. Belanja kebutuhan sehari-hari. Mulai dari gula, beras, ayam kampung, hingga bibit tanaman.
Kapalnya menyusuri perbatasan antara Malaysia dan Indonesia di Pulau Sebatik. Pekarangan Malaysia di Sebatik hanya ditumbuhi dengan bakau. Tak terlihat bangunan rumah. Apalagi kehidupan yang meramaikannya. Tak ada pancang yang mengibarkan bendera Malaysia. Apalagi menaruh tentaranya untuk menjaga pertahanan perbatasan.
“Harga di Tawau jauh lebih murah. Harga gula ini sepertiga dari harga di Tarakan,” kata Turisi. Keringat jatuh di wajahnya. Warga menggunakan mata uang Malaysia, Ringgit, sebagai mata uang perdagangan sehari-hari.
Ia tiap hari keluar masuk Tawau. Begitu juga dengan warga lainnya yang tinggal di Sebatik ini. Mereka sangat tergantung dengan geliat pertumbuhan ekonomi di Tawau. Ketimbang berbelanja di Nunukan atau Tarakan. Selain harganya jauh lebih mahal, menuju dua pulau ini juga membutuhkan waktu. Biaya transportasinya juga lebih mahal.
Turisi membawa sebuah paspor berwarna merah. Ini surat untuk keluar masuk batas wilayah dua negara.
“Cuma bayar seratus ribu. Langsung jadi,” katanya. Kakinya belepotan penuh lumpur. Tak ada dermaga untuk menyandarkan kapal di sini. Kapal yang masuk hanya ditambatkan pada pohon bakau yang kotor dengan sampah.
Siang itu, kami melihat kondisi Sebatik dengan motor sewaan. Kami menyewa motor seharga 150 ribu. Dari Nunukan, melintasi laut dengan kapal penyeberangan kayu, dan kemudian melewati jalan yang masih berbatu. Kiri kanan banyak kebun coklat dan sawit muda. Banyak rumah panggung. Di sini juga ada persawahan.
Sebatik, Nunukan dan Tarakan pulau strategis dan sering digunakan bagi pekerja Indonesia untuk masuk Malaysia. Legal maupun ilegal. Badrus, seorang wartawan muda dari Radar Tarakan, mengatakan banyak berita yang muncul dari ketiga pulau ini. Dari cerita soal tenaga kerja, jual beli manusia hingga penyelundupan barang-barang.
Pulau Sebatik adalah etalase Indonesia di wilayah perbatasan. Namun bukan etalase seperti Plaza Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Wangi, lantainya bersih, dan gemerlap. Tak jauh dari kapalnya Turisi bersandar, sebuah pojokan lokasi pub dan karaoke. Warung menawarkan aneka minuman hingga bir. Dan slogan nasionalisme yang mengukuhkan Indonesia, “Tegar Menjaga Perbatasan”. Bendera Indonesia terpancang di sebuah pohon bakau. Warna merah memudar. Putihnya sudah kusam.
Samir, seorang nelayan, mengatakan bahwa ia tetap mencintai Indonesia. Dan tak ada keinginan untuk menjadi warga negara Malaysia. Ia tahu dan sadar bahwa tinggal di Sebatik sangat tergantung dengan keberadaan Tawau, Malaysia. Ia juga tahu bahwa pemerintahan Indonesia tak juga berpihak pada nasib kehidupan nelayan. Ia merasa masih ada sedikit ruang tentang kemerdekaan di tanah ini.
“Saya tidak mau bekerja di Malaysia lagi. Tidak ada perasaan,” katanya. Ia mengenang ketika ia pernah bekerja di sebuah perkebunan coklat. Tak banyak cerita. Namun ia merasa tak menemukan kehidupan di sana. Dan kemudian ia memutuskan untuk bekerja mencari ikan. Menjadi seorang nelayan hingga saat ini.
“Saya masih beli es untuk ikan di Tawau,” katanya. Semua nelayan akan menjual hasilnya ke Tawau. Nelayan menangkap ikan dengan cara alat tradisional. Hanya mengandalkan jala. Menangkap tongkol dan cakalang. Namun ancaman datang terhadap nelayan di sini. Pemerintahan di Sebatik hendak memberi ijin kapal troll dari Malaysia untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia.
Kapal troll bukan tandingan bagi nelayan macam Samir. Kapal troll memiliki pukat yang jauh lebih besar dan kuat. “Bahkan lumpur pun bisa terangkut,” katanya. Ia bersama nelayan lainnya menolak ide ini. “Bagaimana dengan nasib masa depan anak dan cucu kita?”, katanya.
Seragam anak sekolah di Sebatik berbeda dengan seragam sekolah lainnya seperti di Jawa. Bendera merah putih menempel pada bagian kiri kemeja seragam. Letaknya persis di atas saku kecil. Bendera merah putih ini juga terlihat pada setiap kemeja pegawai negeri sipil. Tak ada bukti nyata antara nasionalisme Indonesia dengan kehidupan di Sebatik. Kehidupan di Sebatik masih tetap seperti etalase yang muram dan miskin.
Tak sedikit pos marinir berdiri di sini. Mereka mendirikan barak. Seperti hendak siap perang. Samir mengenang ketika Malaysia dan Indonesia berselisih tentang blok Ambalat. Banyak tentara Indonesia membawa senjata. Siaga di perbatasan. Merayap di antara pohon bakau. Kapal perang mondar mandir di perbatasan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengecek kesiapan pasukan marinir di Sebatik. Ini membuat warga khawatir bahwa kontak senjata akan terjadi dengan Malaysia.
Teringat cerita di Pulau Midai. Dekade 60?an, Soekarno mengobar konfrontasi dengan Malaysia. Di ujung laut yang sepi di kepulauan Riau, perdagangan Midai lumpuh. Malaysia menutup hubungan perdagangan kopra yang dibangun sejak 1920?an. Midai menjadi contoh kehidupan di perbatasan sangat tergantung dengan wilayah negara lainnya.
“Di sini tidak ada perangnya. Saya tidak takut. Saya biasa saja dan masih jual beli ke Tawau, ” kata Samir sambil tersenyum. Ia mengingat eskalasi perselisihan blok Ambalat di Sebatik tahun 2005 silam.
Awan gelap menggantung di langit. Ingat Sebatik seperti mengingat kondisi pulau terluar lainnya di Indonesia. Pulau laut di kepulauan Natuna, Enggano di Bengkulu atau titik kilometer nol di Pulau Sabang, Aceh. Tak ada cerita. Hanya ironisme dan sebongkah nasionalisme yang kabur dan tak bermakna. Kemiskinan menjadi etalase di perbatasan Pulau Sebatik.*