Berlibur ala ‘backpacker’ di Pulau Tidung terasa istimewa, saat keindahan pantai dan teumbu karang berpadu panasnya sengatan matahari dan tuntutan Pak Haji Mit, induk semang kami, agar semua turis dilarang berzinah.
Matahari mulai terik di Muara Angke, Jakarta. Pelabuhan ikan itu sudah menebar bau amis menusuk hidung, bercampur riuh rendah para penumpang berebut masuk ke perahu-perahu kayu yang akan membawa mereka ke berbagai pulau di gugusan Kepulauan Seribu.
Sebenarnya kami bertujuh sudah menempati posisi masing-masing di salah satu perahu jurusan Tidung-Jakarta sejak pukul 8.30 WIB. Tapi layaknya angkot di pasar-pasar Jakarta, perahu kami juga ngetem menunggu penumpang dan enggan beranjak. Baru dua jam kemudian, sang kapten kapal putus asa dan memutuskan angkat sauh menuju Pulau Tidung.
“Kita kok, mirip manusia perahu dari Vietnam yah,” kata Vonny Ratna, bercanda. Vonny adalah salah satu personil kelompok backpacker kami ke Pulau Tidung.
Saya melihat berkeliling. Delapan anak gadis ibukota, tertidur nyenyak dekat jendela kapal. Seorang ibu memegangi kepala anaknya yang juga tertidur, agar jangan sampai terantuk-antuk terbawa ayunan ombak Teluk Jakarta. Di dekat kemudi, bapak-bapak berkerumun sambil memegangi peralatan mancing mereka.
Kapal kayu itu tak punya tempat duduk. Lantainya hanya dialasi tikar dan para penumpang duduk berselonjor di sana. Kalau penumpang berjejalan sedikit saja, tak pelak suasana perahu pengangkut pengungsi ilegal langsung terbayang. Mau protes, rasanya tak tega. Maklum saja, ongkos karcis kapal ini hanya Rp 35 ribu untuk mengarungi lebih dari 100 mil laut Teluk Jakarta. Lagipula ayunan ombak sudah cukup membuai ke alam mimpi.
Mendadak mata yang mulai berat terbawa kantuk, terpaksa terbuka. Asap knalpot kapal terasa menusuk hidung. Rupanya, hujan deras membuat awak kapal menurunkan tirai terpal penutup jendela di kanan kiri lambung kapal. Tapi asap dari mesin kapal justru mengalir masuk ke ruangan. Satu-persatu penumpang mulai mendekat ke arah kemudi sekedar mencari udara segar. Lumayan, sambil sesekali saling bercanda melihat lumba-lumba yang meloncat ke luar air menyambut kami.
Siksaan asap knalpot dan goncangan ombak itu berakhir 3 jam kemudian, saat kapal merapat di Pelabuhan Pulau Tidung. Hujan sudah berhenti. Kami pun langsung mencari Pak Haji Mit, pemilik pondokan yang akan kami sewa.
“Maaf Neng, tidak bisa lagi (sewanya diubah jadi pondokan) yang kecil. Mintanya yang besar, sih, makanya saya sediain. Kalau berubah-ubah nanti kasihan orang lain, lagi,” kata Pak Haji Mit.
Memang ada dua macam pondokan di Pulau Tidung. Yang pertama, rumah berkamar dua yang sedikit lebih besar dari rumah tipe 42. Harga sewanya Rp 500 ribu. Pondokan yang kedua, lebih kecil dan berkamar satu. Harga sewanya Rp 350 ribu.
Semula, rombongan kami menyewa rumah Rp 500 ribu itu. Tapi mendadak, 3 personil kelompok kami membatalkan niatannya berlibur, sehingga anggota kelompok tersisa 7 orang saja. Alhasil kami berusaha membujukrayu Pak Haji Mit untuk menukar pondokan sewa kami menjadi pondokan yang lebih kecil. Tapi apa mau dikata, Haji Mit kukuh menolak.
“Dan ingat-ingat saja, satu permintaan saya: yang perempuan tolong jangan pakai celana pendek kalau mau keluar rumah, yah,” kata Pak Haji Mit.
Tangannya mulai membuka pintu rumah sewaan. Kami berpandang-pandangan heran. Masak iya di pantai pakai celana panjang?
Vonny diam-diam menyenggol lengan saya. Di pintu depan rumah, terpampang tulisan berspidol merah : Dilarang Berzinah. Doaku, Tuhan, tolong kutuk aku jika sampai melakukan perbuatan hina itu. Alamak.
Wanti-wanti Pak Haji rupanya belum berakhir. Memasuki ruang tamu, dinding-dindingnya penuh pesan sponsor. Ada trik-trik mengatasi kemiskinan lewat doa, petunjuk arah kiblat dan sekali lagi, tulisan-tulisan berspidol merah: Janji, Saya Tidak Akan Berzinah. Tuhan tolong kutuk aku jika melakukan perbuatan hina itu.
Iseng-iseng saya hitung, ada 5 pesan anti zinah di rumah Pak Haji. Pertama, dipampang di pintu depan. Selanjutnya, satu di ruang tamu, dan tiga lainnya dipasang di dua kamar tidur.
“Perasaan, pondokan lain nggak seketat ini deh,” kata Hari, salah satu personil kelompok kami mengomel diam-diam.
Setelah berhasil memaksa kami berjanji tak berzinah berjamaah, Pak Haji Mit akhirnya beranjak pergi. Makan siang kami segera diantar ibu katering dekat rumah, dengan harga seporsi Rp 15 ribu. Namun saat makan siang datang, kami kecewa. Ikan dan ayam goreng sudah terasa dingin. Sayur asemnya tak terasa mantap di lidah. Nasinya pun dingin.
Dengan kekuatan menu yang terbatas itu, sang ibu katering masih berusaha menjerat kami untuk memesan makan malam. Sang ibu mengklaim semua rumah makan di Pulau Tidung akan tutup setelah pukul 7 malam. “Jadi, pesan sama saya saja”, begitu alasan ampuh sang ibu.
Sebenarnya tak usah takut bakal kelaparan di Pulau Tidung, atau sampai harus menangkap ikan sendiri ke laut. Sampai subuh pun, pinggir Pantai Tidung penuh dengan pondok-pondok bambu penjual ikan bakar, ayam bakar sampai penganan ala jagung bakar dan aneka minuman. Deretan pondok bambu yang mereka sebut kafe itu, juga jadi tempat pas untuk menghabiskan malam bercengkerama di Pulau Tidung yang sunyi. Daripada bengong di pondokan.
Siang harinya, kegiatan di Pulau Tidung bisa diisi dengan snorkeling di tengah laut. Biar mantap, kami menyewa perahu dan pemandunya seharga Rp 350 ribu untuk menuju Pulau Karang Beras. Untuk perlengkapan snorkeling, kami menyewa alat seharga Rp 35 ribu per orang lengkap dengan jaket pelampung dan kaki katak. Kalau jijik menggunakan alat snorkeling berjamaah itu, siap-siap saja membasuhnya dahulu dengan tisu basah antiseptik.
Kalau mau membandingkan, terumbu karang di Karang Beras memang lebih menarik dibandingkan di Pulau Tidung. Terumbu karang sekitar Tidung rupanya sudah habis dilucuti para nelayan setempat untuk dijual kembali. Sekalipun tetap ada saja ikan-ikan laut yang nongol sesekali, yang cukup untuk memicu teriakan-teriakan norak ala anak kota yang jarang akrab dengan alam. Pakaian yang basah kuyup akhirnya membuat kami enggan mengenakan kembali kain pantai untuk menutupi celana pendek saat bersepeda pulang.
“Biarin deh, toh Pak Hajinya lagi sholat,” kata Barli Bachsin, salah satu personel kami dengan jahil.
Untuk hari kedua, kegiatan di Pulau Tidung bisa diisi dengan bersepeda keliling pulau. Pulau Tidung sebenarnya terdiri dari dua gugusan pulau, yaitu Tidung Besar dan Tidung Kecil. Tidung Besar ramai dihuni sementara Tidung Kecil tak berpenduduk sama sekali. Kedua pulau ini dihubungkan dengan sebuah jembatan panjang, sehingga kami pun bersepeda melewatinya sambil menikmati matahari terbit.
Di Tidung Kecil inilah kami kembali bermain dengan laut. Pantai pasir putih yang sepi turis menawarkan daya tarik besar. Tapi sayang, sepanjang jalan tercecer satu dua sampah kiriman Jakarta. Sepanjang pantai saya menemukan tas ransel hitam rusak, sandal jepit, bungkus-bungkus plastik hingga celana pendek. Seakan semua itu tak cukup menggelisahkan, beberapa turis seenaknya membuang tongkol jagung bakar ke laut.
Toh, semua itu tetap tak menghapus kecantikan Tidung. Wajah cantik salah satu gugusan Kepulauan Seribu itu bagai wajah remaja yang berjerawat. Cuilan-cuilan sampah terasa mengganggu, tapi tidak sampai menghancurkan keindahan alamnya.
Panasnya matahari mulai membakar kulit saya, tapi tetap saja rasanya tak jera untuk kembali ke sana. Mudah-mudahan ‘jerawat sampah’ Tidung tak menghebat, sehingga tak perlu dibawa ke dokter lingkungan. Semoga*
Naskah : Veby Mega Indah. Foto : Vonny Ratna Indah