Telaga Warna tidak hanya menarik sebagai objek wisata dengan permukaan airnya yang berwarna plus panorama alam nan indah. Tetapi juga, tempat asik untuk pengamatan burung.
Cuaca agak mendung, saat kami tiba di Taman Wisata Alam Telaga Warna, Puncak Pass. Udara dingin langsung menelusup tubuh begitu pintu mobil dibuka. Segera, perlengkapan pengamatan yang telah kami persiapkan sedia kala seperti binokuler, buku panduan lapangan, alat tulis beserta buku catatan, kamera, dan tak lupa jas hujan, diturunkan. Kami parkir beberapa meter di bawah papan besar bertuliskan Taman Wisata Alam Telaga Warna: SK Mentan No 481/KPTS/UM/VI/1981 Tanggal 9 Juni 1981.
Taman Wisata Alam Telaga Warna yang luasnya 5 hektar memang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Telaga Warna yang arealnya mencapai 268,25 hektar. Secara administratif, kawasan wisata ini terletak di Desa Tugu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pagi itu, di bawah guyuran gerimis dan kabut yang masih menggelayut, kami bergegas menuju pintu masuk.
Seekor elang-ular bido (Spilornis cheela) yang melintas rendah menyambut kedatangan kami. Di sini, melihat elang yang terbang mengitari perkebunan teh merupakan hal lumrah. Bahkan, saat cuaca cerah, jenis elang lain seperti elang brontok (Nisaetus cirrhatus) atau elang jawa (Nisaetus bartelsi) akan terlihat pula.
Mengenai elang jawa, IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan statusnya “Genting” (Endangered/EN). Burung berukuran 60 cm dengan ciri khas jambul menonjol ini merupakan burung endemik Pulau Jawa yang berperan sebagai pemangsa puncak (top predator) dalam siklus rantai makanan. Keberadaannya yang kian langka dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menurut penuturan Enyong, lelaki yang telah menghabiskan waktu sebelas tahun membantu keamanan dan kebersihan kawasan Telaga Warna ini, melihat elang jawa bukanlah pemandangan baru. Namun, tambahnya lagi, kapan elang tersebut muncul tidaklah dapat ditentukan waktunya.
Elang jawa disebut sebagai representasi burung garuda. Dalam Kitab Adiparwa diceritakan bahwa garuda merupakan burung gagah berani yang dijadikan kendaraan sekaligus lambang panji-janji Dewa Wisnu. Burung ini berdiam di surga, setelah misinya membebaskan ibunya dari perbudakan para naga selesai. Dalam cerita budaya Indonesia, garuda diperkirakan mulai menjadi mitologi sejak abad ke-10 masehi. Sedangkan Presiden Soekarno memperkenalkannya kepada khalayak sebagai lambang negara pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.
Bergerak
Kabut sudah reda, saat kami bersiap melakukan pengamatan di bibir Telaga Warna. Sesaat, kami memandangi airnya yang tenang. Warna hijau tampak mendominasi permukaannya yang begitu menggoda. Nuansa alami begitu kental terasa yang dibalur dengan sejuknya udara pegunungan.
Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar suara burung pelanduk. Namun, sebelum melihat aslinya, kami tidak bisa mengatakan bahwa dugaan kami benar. Kami tidak mau berandai apalagi larut dalam tebakan yang tentunya bertentangan dengan konsep pengamatan.
Sebuah kegiatan yang menekankan pada penghayatan untuk benar-benar melihat kehadiran burung sembari menikmati keindahan warna, bentuk, tingkah laku, hingga kicaunya.
Perlahan, kami beranjak, mengikuti rute menanjak berupa jalan bebatuan yang tersusun rapi. Kami agak resah, karena meski telah berjalan sekian lama belum juga berhasil membidik seekor burung secara jelas. Terlebih, kala mengingat penjelasan John MacKinnon yang menekankan bahwa pengamatan burung dapat memberikan sumbangan penting bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dari pengamatan burung, berbagai ilmu pengetahuan seperti teori evolusi, biografi pulau, demografi, serta pemantauan perubahan kondisi lingkungan dapat dipelajari.
Penantian kami terbayar. Seekor burung berciri warna hitam, abu-abu, dan putih terlihat bertengger di atas pucuk pohon setinggi sepuluh meter. Segera, kami arahkan binokuler untuk melihatnya lebih saksama.
Dari binokuler, terlihat jelas bentuknya yang seukuran burung-gereja erasia (Passer montanus) dengan kepala dan kerongkongannya berwarna hitam serta tengkuknya putih. Di bagian wajah ada bercak putih tepat di bawah matanya yang bulat kecil. Paruhnya yang kecil berwarna hitam. Burung ini terlihat lincah melompat dari satu ranting ke ranting lain.
Selengkap mungkin, kami deskripsikan burung tersebut dengan menggambarnya: mulai dari warna bulu sayap, warna perut dan kepala, bentuk paruh, hingga waktu perjumpaan.
Catatan inilah yang kami gunakan untuk mengidentifikasi burung tersebut dengan buku panduan lapangan (field guide) setelah kegiatan usai. Meskipun, kami telah mengenal burung tersebut yaitu gelatik-batu kelabu (Parus major).
Mengamati burung merupakan hobi memikat. Warna bulunya yang indah, suaranya yang merdu, atau tingkahnya yang lucu merupakan serangkaian kepuasan yang hanya didapat saat melakukan pengamatan. Tanpa menjadi hobi pun, burung ada di sekitar kita mulai di pekarangan rumah, taman, pantai, hingga pegunungan.
Masih penasaran, kami bergerak ke perbatasan antara kebun teh dan pinggiran hutan yang lazimnya disebut ekoton. Di sini, peluang melihat kehadiran burung terbuka lebar. Dari sini pula, kawasan Puncak dengan hutan primer bertajuk rapat bertingkat sebagai ciri khas hutan pegunungan, terlihat hijau berseri.
Beberapa jenis burung hasil pengamatan yang telah teridentifikasi membuat kami gembira. Sebut saja raja-udang meniting (Alcedo meninting), munguk loreng (Sitta azurea), cipoh kacat (Aegithina viridissima), sikatan ninon (Eumiyas indigo), juga kipasan ekor-merah (Rhipidura phoenicura). Kami berharap, akan kembali lagi suatu saat nanti.
Foto : Fahrul Amama dan Naskah : Rahmadi | BL