JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Indonesia yang berada di wilayah Segitiga Terumbu Karang Dunia memiliki peranan penting sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati laut dan sumber ekonomi penting bagi masyarakat lokal.
Memiliki luas mencapai 2,5 juta hektare dari sekitar 325 juta hektare wilayah perairan, menjadikan terumbu karang berfungsi penting sebagai pelindung alami masyarakat pesisir dari badai, menahan gelombang, dan erosi.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Andi Rusandi mengatakan hal itu saat didapuk sebagai pembicara pada webinar bertema “Peluang Asuransi Pemulihan Terumbu Karang” pada Kamis (2/9/2021).
Menurut Andi, fungsi-fungsi tersebut akan hilang jika terumbu karang mengalami kerusakan akibat bencana alam dan jika tidak dilakukan upaya pemulihan secara cepat. Ketersediaan pendanaan menjadi salah solusi utama untuk menghadapi situasi tersebut.
Dari total luas terumbu karang di Indonesia, seluas 1,1 juta hektare berada di dalam kawasan konservasi dan sisanya di luar kawasan konservasi. Jika terumbu karang rusak, maka akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan kehidupan di muka Bumi.
“Sehingga perlu kita pikirkan bersama, seperti apa mekanisme untuk mendukung keberlanjutan terumbu karang,” kata Andi Rusandi.
Direktur Program Kelautan YKAN, Muhammad Ilman mengamini bahwa perlu dilakukan perbaikan segera terhadap terumbu karang yang rusak. Dan salah satu sumber pendanaan cepat adalah melalui asuransi.
“Ide ini mulai mengemuka ketika Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani Indrawati pada tahun 2018 menyampaikan keinginan pemerintah menyediakan asuransi terumbu karang,” terang Ilman.
Hal itu menjadi relevan, karena asuransi mampu menyediakan dana secara cepat jika terumbu karang mengalami kerusakan, terutama karena bencana. “Terumbu karang yang rusak akibat bencana, perlu secepatnya diperbaiki. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut, perbaikannya jadi lebih sulit,” katanya.
Ilman menambahkan, untuk mendukung upaya pemerintah tersebut, sejak awal tahun 2021, YKAN bersama Cerdas Antisipasi Risiko Bencana (CARI!), Sekolah Bisnis dan Manajemen – Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) serta beberapa mitra lain melakukan kajian mengenai peluang asuransi terumbu karang di Indonesia.
“Kajian ini kami lakukan di 7 wilayah di Indonesia, yaitu Kabupaten Pandeglang, Kota Makassar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Berau, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Rote Ndao, dengan mengadopsi pendekatan Blue Guide,” paparnya
Dari penelitian tersebut, menurut Ilman, dalam kurun tahun 2000-2020, di 7 wilayah tersebut terdapat 1.523 bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami, badai siklon, tanah longsor, dan lainnya yang membuat terumbu karang mengalami kerusakan.
Senada dengan itu, praktisi kebencanaan dari CARI! Mizan Bustanul Bisri menyebutkan, setidaknya ada 123 bencana antropogenik di 7 wilayah tersebut yang membuat terumbu karang rusak. Karena itu, aksi cepat penanggulangan terumbu karang harus dilakukan.
Sementara itu, akademisi SMB-ITB Barli Suryanta mengingatkan bahwa perbaikan terumbu karang yang rusak akibat bencana perlu didukung mekanisme pendanaan yang berkelanjutan.
“Mekanisme pembiayaan atau asuransi untuk restorasi terumbu karang di Indonesia yang lebih memungkinkan adalah dengan menggunakan skema manajemen dana perwalian atau Badan Layanan Umum, karena sudah didukung oleh ketentuan hukum dan regulasi yang ada,” terangnya.
Penjelasan Barli diperkuat oleh Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Dewa Ekayana. “Siapa yang harus membayar premi asuransi terumbu karang ini? Bisa dibayar oleh negara, sebagai penerima manfaatnya,” katanya.
Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi dan valuasi ekonomi terumbu karang sebagai aset negara. “Ini penting untuk mengetahui berapa jumlah kerugian negara jika ada bencana terhadap terumbu karang,” katanya.
Direktur Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non Bank OJK Asep Iskandar mengusulkan agar metode pengasuransian terumbu karang ada pilihannya. “Terkait asuransi ada pilihan-pilihan penerapannya. Misalnya berbasis indemnity atau berbasis kerugian. Kita bisa gunakan polis yang menerapkan berapa pun kerugiannya akan diganti,” paparnya.
Selain itu, menurut Asep bisa menggunakan penerapan parametric, dimana ukuran dibayarnya klaim didasarkan pada kriteria tertentu. Hal ini dikaitkan dengan assessment risiko. Untuk itu para pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan terumbu harus melakukan analisis apakah dalam penerapannya akan menggunakan asuransi berbasis indemnity atau akan menggunakan parametrik,
“Sehingga pilihan itu merupakan yang terbaik dan sesuai,” ujarnya.
Belajar dari Meksiko
Pada kesempatan tersebut juga hadir Fernando Secaira dari The Nature Conservancy Meksiko yang menyampaikan pembelajaran pengembangan asuransi terumbu karang di Quintana Roo.
Meksiko adalah negara pertama di dunia yang mengeluarkan kebijakan asuransi untuk melindungi terumbu karang. ”Pemerintah negara bagian Quintana Roo, Meksiko, membentuk Brigade Terumbu Karang dan mendirikan Coastal Zone Management Trust (CZMT) tahun 2018. CZMT membeli asuransi parametrik untuk terumbu karang untuk membiayai pemulihan setelah badai melanda,” kata Secaira.
Saat itu, klaim pertama asuransi terumbu karang sebesar US$ 800.000 dilakukan di tahun 2020 setelah kejadian Badai Delta.
“Sedangkan Brigade Terumbu Karang mewakili anggota masyarakat yang terorganisasi dan berkualifikasi tinggi yang dilatih dan dibekali kemampuan teknis untuk memperbaiki terumbu karang setelah terjadi bencana,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)