Sengketa Laut Cina Selatan semakin memanas, sejumlah anggota ASEAN kembali terlibat dalam perebutan wilayah yang kaya mineral dan tambang itu.
Konflik tersebut ini juga berimbas pada internal ASEAN. Untuk pertama kali dalam sejarah pertemuan tingkat tinggi negara-negara ASEAN yang berakhir Jumat (13/7) lalu tidak menghasilkan pernyataan bersama (join communiqué).
Gagalnya kesepakatan dalam pertemuan itu disinyalir karena isu klaim wilayah Laut China Selatan yang belum menemui titik terang.
Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia berebut wilayah Laut China Selatan yang kaya mineral tambang dan merupakan perlintasan perdagangan laut strategis. Ditambah, China yang juga mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa kecewa terhadap negara-negara ASEAN. “Apa yang baru terjadi bisa menimbulkan friksi (gesekan) antara ASEAN,”kata SBY saat memberikan keterangan pers di Istana Negara, Jakarta.
Meski demikian, Presiden SBY membantah berbagai pemberitaan media asing menyebut kegagalan menghasilkan joint communique sebagai perpecahan negara-negara ASEAN.
Konflik Lama
Laut China Selatan (South China Sea) yang membentang dari Singapura (Selat Malaka) sampai ke Selat Taiwan telah sekian lama menjadi sumber pertentangan bagi beberapa Negara seperti China, Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Taiwan.
Negara-negara tersebut dengan dalih masing-masing mengklaim seluruh atau sebagian dari Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya. Cina sendiri terlihat sangat ambisius dengan klaim yang sangat luas.
Di dalam kawasan laut ini memang tersimpan sejumlah alasan kuat untuk diperebutkan. Sebut saja kandungan gas alam dan minyak bumi yang demikian melimpah tentulah akan menjadi keuntungan besar bagi pemenang dari konflik berkepanjangan ini.
Selain itu, lautan ini merupakan salah satu perairan yang paling sibuk di dunia. Hampir setengah kapal-kapal dunia melalui Laut Cina Selatan yang merupakan penghubung penting perdagangan Asia dan Eropa. Sebagian besar diantara kapal-kapal tersebut berlayar dari kawasan Timur Tengah membawa muatan minyak bumi.
Karenanya bagi banyak negara, kawasan ini sangat strategis untuk dijaga keamanannya. Laut Cina Selatan jelas sangat penting bagi kestabilan ekonomi dan politik global. Dengan kandungan alam dan kekayaan perairannya, tidak heran pula, kawasan ini sering menjadi sumber pertentangan dan konflik, sampai dengan menimbulkan letupan senjata.
Menurut catatan seorang blogger Adeltus Lolok, terhitung sejak tahun 1974 – 2002 terdapat 17 kali konflik senjata di Laut Cina Selatan, 12 diantaranya melibatkan Cina termasuk Indonesia.
Di tahun 1990-an Cina menerbitkan peta resmi versi Cina yang mencaplok hampir seluruh perairan Laut Cina Selatan sampai ke perairan Natuna. Hal tersebut sepertinya sangat mengusik kedaulatan Indonesia. Sebagai respon, tahun 1996 Indonesia menggelar latihan militer besar-besaran di perairan kepualauan Natuna. Sampai saat ini Cina tidak pernah secara resmi menyampaikan kekeliruannya mengenai peta tersebut.
Tak berapa lama kemudian Indonesia mulai mengeksplorasi gas alam di kawasan tersebut tanpa komentar apapun dari pihak Cina yang sebelumnya mengklaimnya. Tahun 2001, Indonesia mulai mengekspor gas melalui pipa bawah laut sepanjang 400 mil ke Singapura.
Dengan semakin berkembangnya kekuatan Cina sebagai ekonomi kedua terbesar kedua setelah Amerika saat ini, berkembang pula pendapat dan kekuatiran akan agresivitas ambisi Cina dalam menyelesaikan konflik perbatasan, termasuk persoalan Laut Cina Selatan. (Marwan Azis).