Hutan gambut di Riau. Foto : Greenpeace. |
JAKARTA, BL- Asia Pacific Resources International (APRIL) resmi dilarang menggunakan cap sertifikasi hijau dari Forest Stewardship Council (FSC) dalam memasarkan produk pulp dan kertas mereka.
Keputusan FSC yang memutuskan hubungan dengan APRIL itu diperoleh dari laman resmi lembaga sertifikasi hutan Internasional itu yang dirilis pada tanggal 8 Agustus lalu. APRIL merupakan bagian dari grup Royal Eagle Group (RGE), dimiliki oleh pengusaha Indonesia terkenal, Sukanto Tanono, dimana asetnya diperkirakan bernilai sekitar US$12 milyar.
Keputusan tersebut mengikuti protes resmi yang diterima FSC tertanggal 23 Mei 2013 dari Greenpeace, WWF-Indonesia dan Rainforest Action Network dimana APRILdituduh melanggar aturan Policy of Association dan tindakan lanjutan oleh APRIL (13 Juni 2013) untuk meminta badan sertifikasi mencabut sertifikat lacak balak (chain-of-custody) FSCnya.
Keberatan bersama ketiga LSM terhadap FSC berisi dokumentasi dan kritik atas aktivitas deforestasi skala besar, konflik sosial serta pelanggaran hak – hak asasi manusia oleh APRIL dan perusahaan lain dibawah grup RGE di Indonesia.
Policy of Association FSC diberlakukan untuk memastikan bahwa FSC hanya berasosiasi dengan perusahaan – perusahaan yang berkomitmen terhadap prinsip – prinsip dasar pengelolaan hutan bertanggung jawab. Salah satu persyaratan kebijakan mengharuskan perusahaan pemegang sertifikat lacak balak FSC tidak terlibat dalam konversi kawasan hutan bernilai konservasi tinggi dan tidak melakukan konversi hutan alam lebih dari 10.000 hektar dalam lima tahun terakhir.
Keputusan FSC tersebut disambut baik oleh sejumlah LSM yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan hidup seperti Greenpeace, WWF dan RAN. “FSC bereaksi cepat untuk memutuskan asosiasi semua cap FSC dari aktivitas APRIL dan perusaahan – perusahaan terkait yang berafiliasi dengan APRIL,”kata Aditya Bayunanda dari WWF-Indonesia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Namun APRIL hingga kini masih memegang sertifikat lacak balak dari skema sertifikasi hutan PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang lebih didominasi oleh industri. Jika standar PEFC tegas pada prinsip menjaga hutan alam, maka seharusnya PEFC mau mengikuti jejak FSC dan menjaga jarak dengan seluruh perusahaan grup RGE.
Pernyataan terbaru FSC tidak hanya berlaku bagi APRIL untuk tidak berasosiasi dengan semua sertifikasi FSC, namun, berlaku pula untuk seluruh perusahaan pulp dan kertas yang dimiliki kelompok usaha Sukanto Tanoto dalam mencapai sertifikat lacak balak FSC.
Pelangaran ini mencakup tiga perusahaan selulosa global – Sateri International (Cina), Bahia Specialty Cellulose (Brazil) dan Toba Pulp Lestari (Indonesia) yang mengolah bahan – bahan yang digunakan untuk berbagai macam produk sehari – hari seperti filter rokok, tisu bayi dan tisu pembersih kacamata, hingga produk kosmetik, es krim, produk farmasi dan ban.
Juru kampanye hutan Greenpeace Bustar Maitar mengatakan, meski semakin banyak perusahaan – perusahaan global yang menjauhi penghancuran hutan alam pada kegiatan operasional mereka, kerajaan bisnis Sukanto Tanoto masih terus membabat hutan alam di Sumatera dan Kalimantan.
‘Diperkirakan pemasok APRIL saja menghabiskan 60.000 hektar hutan alam, hingga menjadikan Sukanto Tanoto sebagai penyebab terbesar deforestasi untuk pulp di Indonesia, jika tidak di dunia.’ungkapnya.
Menurut Christy Tennery dari Rainforest Action Network (RAN), pemutusan kerja dari FSC itu, merupakan sinyal yang jelas bagi para pembeli kertas dan tekstil, begitu pula bagi komunitas perusahaan yang lebih luas, bahwa APRIL dan bisnis Sukanto Tanoto yang lain merupakan perusahaan yang berkinerja buruk.
“Keputusan FSC, dan kasus – kasus konflik lahan dan konversi hutan lama yang kami dokumentasikan dalam keberatan kami memperlihatkan jelas bahwa berbisnis dengan perusahaan Sukanto Tanoto beresiko tinggi terhadap merek dagang perusahaan para pembeli dan investor-investornya.’tambahnya.
WWF, Greenpeace dan RAN meminta APRIL dan grup RGE untuk segera menghentikan seluruh konversi hutan alam dalam operasional bisnis mereka dan konsesi pemasok-pemasoknya dan berkomitmen terhadap menerapkan kebijakan zero deforestation, sebagai langkah utama membersihkan praktek – praktek bisnis mereka. (Marwan Azis).