Peta tingkat kerentanan perubahan iklim di Indonesia dari EEPSEA |
LIMA, PERU- BERITALINGKUNGAN.COM- Tingkat kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim belum terlalu mengkhawatirkan, karena berada pada urutan ke-63 dari 179 negara, selama pengukuran secara global dalam selama periode tahun 1994-2013. Peringkat itu merupakan hasil penyusunan Germanwatch, yang disampakan dalam Global Climate Risk Index (GCRI) 2014 dan diiluncurkan di Lima, Peru, pada Selasa (2/12).
Namun, Indonesia perlu mengawasi tingkat kerentanannya, karena untuk tingkat kerentanan selama 2013 hasil pengukuran menunjukkan kenaikan drastis ke posisi 25 dari 179 negara yang diukur. Pengukuran indeks tahun 2013 ini, menyatakan bahwa rata-rata terjadi 197 kematian atau dampak fatal lainnya dalam bencana akibat cuaca ekstrem, yang merupakan angka tertinggi kedelapan di dunia untuk kejadian serupa. Indonesia juga daya tingkat daya beli masyarakat yang diukur dengan power purchasing parities (PPP) sebesar 15147,02 atau tertinggi kelima, namun kerugian per unit GDP hanya sebesar 0,096 dan berada pada urutan ke-42.
Ketua Tim Peneliti GCRI Sonke Kreft dari Germanwatch mengatakan, parameter yang dipakai untuk mengukur laporan GCI yang ke-10 ini, antara lain jumlah kematian akibat bencana cuaca ekstrem, jumlah kematian per 100.000 penduduk, tingkat kehilangan PPI dan kerugian per unit GDP.
Laporan itu juga menyebutkan, bahwa selama periode 1994-2013, dunia telah kehilangan lebih dari 530 ribu orang meninggal pada 15 kejadian cuaca ekstrem dan kehilangan UD$ 2,2 triliun PPI.
Berdasarkan parameter itu, selama periode 1994-2013, negara negara seperti Honduras, Myanmar dan Haiti menduduki negara dengan kerentanan tertinggi, karena seringnya kejadian cuaca ekstrim dan korban jiwa yang diakibatkannya relatif lebih besar dibandingkan negara lainnya serta dampaknya untuk GDP mereka. Sedangkan untuk tahun 2013 saja, Filipina, India dan Kamboja menduduki tiga besar negara dengan GCRI tertinggi karena penyebab yang sama.
Sonke Kreft tak menampik adanya keterbatasan cakupan parameter dalam penyusunan GCI ini, antara lain belum memasukkan kenaikan muka air laut, mencairnya gletser, “Jadi index ini tidak dapat disebut sebagai pengukuran kerentanan terhadap perubahan iklim yang sesungguhnya,”katanya kepada Ekuatorial (situs sindikasi Beritalingkungan.com) .
Penasehat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Bidang Pembangunan Rendah Emisi Doddy Sukadri mengatakan, hasil laporan itu senada dengan laporan dari Climate and Development Knowledge Network (CDKN). Menurut CDKN, Indonesia mempunyai kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim. “Tambahan faktor geografis dan kondisi sebagai negara kepulauan yang terancam kenaikan permukaan air laut menjadikan Indonesia jauh lebih rentan,” katanya. Kerentanan ini, menurut proyeksi CDKN tahun 2012, bahkan akan meningkat selama periode tahun 2010-2030.
Negosiator Filipina Heherson Alvarez yang menghadiri acara peluncuran, mengatakan bahwa negaranya bisa menerima hasil penilaian itu, dan sudah seharusnya tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim ini masuk dalam negosiasi, sebagai salah satu ukuran untuk menentukan kinerja program pengurangan emisi dari setiap negara. “ Kami sangat terbuka untuk bekerjasama dengan siapa saja dan menerima bantuan darimana saja, termasuk akses terhadap pendanaan dalam global climate finance,”katanya.
Persetujuan juga dinyatakan oleh wakil menteri asal Honduras Carlos Alberto Pineda Fasquella tentang posisi negaranya pada 10 besar yang paling rentan. Karena itulah, ia meminta konvensi ini tidak hanya sebatas berwacana tentang GCRI tetapi membahas di dalam negosiasi. “ Pengelolaan risiko bencana dan pengelolaan risiko perubahan iklim seharusnya masuk di dalam materi negosiasi, termasuk loss and damage,”katanya.
Honduras, menurut Carlos, telah menjalin kerjasama dengan netgara tetangga sesama Amerika Latin seperti Kolombia dan Meksiko untuk membangun sistem informasi cuaca, untuk mengantisipasi bencana cuaca eksterim yang mungkin terjadi. ( IGG Maha Adi)