Ilustrasi petani karet. Foto : serikatpetanikaret.blogspot.com |
Kisah petani terlilit utang pada tengkulak kini tak berlaku di Desa Lubuk Beringin, Muara Bungo, Jambi. Komoditas karetnya, kini berhasil menembus pasar untuk pabrik ban Bridgestone, di Medan, Sumatra Utara.
“Setiap 15 bulan kelompok petani yang beranggotakan 80 orang bisa menghasilkan Rp 4,7 miliar,”kata Bakian, seorang petani karet yang ikut menghadiri Kongres Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), di Semarang akhir pekan kemarin..
Maraknya produski karet alam di Lubuk Beringin berkat upaya agro forestry yang berkembang di situ sejak beberapa dasawarsa lalu. Petani mengembangkan karet dan juga berbagai tanaman lain di lahan hutan desa. Kelompok yang mengelola hutan desa menamakan dirinya “Agro Pores”. Untuk memasuki pasar, Bakian dan kelompoknya mengikuti harga pasar lelang karet, tdak tergantung lagi pada tengkulak.
“Selisih harga tengkulak mencapai Rp 5 ribu per kilo. Dalam satu musim, jika kami memanen 12 ton saja, untung yang diraup dari perbedaan harga pasar dengan tengkulak sebesar Rp 60 juta,” terang Bakian.
Bertani hutan secara berkelanjutan, menjadikan masyarakat yang tinggal sekitar 65 kilometer dari ibukota Kabupaten Muara Bungo, bisa meraup untung sekaligus menikmati jasa lingkungan. Air, Udara serta energi listrik dari kincir air, misalnya.
Kala saat menyadap karet sedang libur, beragam hasil hutan bukan kayu menjadi tumpuan penghasilan masyarakat. Seperti durian, petai, rempah untuk bumbu dapur dan obat-obatan. Hasilnya pun tak kalah menggiurkan, terlebih untuk komoditas jernang, sejenis rotan yang diambil lapisan lilinnya. “Harga jernang mencapai Rp 800 ribu per kilo,” terangnya.
Mahendra Taher, Direktur Eksekutif SSS-Pundi Sumatra, sebuah lembaga pendamping masyarakat, mengatakan, karet di Indonesia, 80 persen berasal dari kebun rakyat. Ia juga menambahkan, hasil karet rakyat secara nasional, berkontribusi besar untuk produk pomestik bruto (PDB), mencapai Rp 6 triliun per tahun.
Selain itu, kebun karet rakyat juga menyerap tenaga kerja tak sedikit, setidaknya ada 1,6 juta tenaga kerja di sektor perkebunan karet nasional. Maka perputaran uang dari karet akan berada di masyarakat kecil, bukan perusahaan atau pemilik modal. (Andhika Vega Praputra).