Mobil dinas Kejaksaan Agung tampak terparkir di depan Gedung Utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pejompongan Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024). Foto : Tribunnews.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Penggeledahan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) oleh Kejaksaan Agung pada Kamis tanggal 3 Oktober 2024 lalu terkait penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola perkebunan sawit dari 2016 hingga 2024 diduga berhubungan dengan proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan.
Pemutihan ini dilaksanakan melalui Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja, yang sejak awal dianggap WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sebagai celah besar untuk praktik korupsi, apalagi waktu tenggat penyelesaiannya hingga 2 November 2023, yang sarat akan kepentingan transaksional politik. Namun pasca 23 November 2023, KLHK kemudian memberikan keterangan bahwa 2 November 2023 bukanlah batas penyelesaian namun hanya batas terakhir pendaftaran.
Secara historis, sejak 13 tahun lalu pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, yang saat ini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan ruang pengampunan untuk korporasi yang melakukan kejahatan kehutanan. PP Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan. Kedua PP ini memberikan waktu kepada korporasi yang beraktivitas dalam kawasan hutan untuk mengurus kelengkapan administrasi paling lama 6 (enam) bulan untuk PP Nomor 60 Tahun 2012 dan 3 tahun untuk PP 104 Tahun 2015.
Korporasi-korporasi yang beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan dapat beraktivitas secara legal dengan mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan jika mengurus seluruh administrasi yang ditentukan. Namun alih-alih melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi tersebut, pemerintah justru menerbitkan pasal 110 A dan 110 B dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan melalui pasal 110A dan 110B ini juga sangat tertutup. Bukan hanya proses nya yang sangat tertutup, tidak diketahui juga basis data yang digunakan KLHK untuk menghitung luasan konsesi, berapa luas hutan yang ditanami sawit, dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan, itu berasal dari data yang mana dan milik siapa. Apakah data yang dimiliki KLHK sendiri, ataukah data laporan mandiri yang diberikan perusahaan. Jika menggunakan laporan mandiri perusahaan sebagai lampiran dari proses pendaftaran, tidak diketahui juga apakah dilakukan proses pemeriksaan data tersebut.
Selain itu, dalam perjalananya KLHK tiba-tiba menerbitkan SK Menteri LHK Nomor SK.661 yang merupakan penyederhanaan formula perhitungan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR) yang harusnya dibayarkan perusahaan dalam proses pemutihan.
PSDH-DR tidak memerhatikan jenis kayu dari kawasan hutan yang diputihkan. Rumus yang dipakai ialah taksiran volume kayu dikali potensi kayu dan luas areal terbangun. Jika dibandingkan dengan Perhitungan PSDH berdasarkan potensi tegakan yang mengacu pada neraca sumber daya hutan tahun 2022 terhadap jenis tutupan dan status kawasan hutan yang dilihat berdasarkan data tutupan tahun 2000, perhitungan melalui SK.661 ini jauh lebih sedikit, dan sangat meringankan perusahaan.
Hingga 4 Oktober 2023 lalu, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas indikatif perkebunan sawit yang terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan totalnya sebesar 1.679.797 hektare. Luasan tersebut terdiri dari 1.679 unit kebun. Angka-angka itu hasil akumulasi inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan yang tercantum dalam SK datin tahap 1-15 yang ditetapkan Menteri LHK.
Jika melihat subjek hukumnya, dari 1.679 unit kebun sawit itu 1.263 unit kebun terindikasi milik perusahaan atau korporasi dengan luas 1.473.946,08 hektare. 1.132 unit kebun diantarnya telah dinyatakan melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaiannya dengan total luasan 1.374.322,8 hektare.
Dari angka tersebut, sejumlah 969 unit dengan luas 867.313,22 hektare penyelesaiannya ditetapkan menggunakan mekanisme Pasal 110A/Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, dan 162 unit kebun seluas 507.009,58 hektare diselesaikan menggunakan Pasal 110A. Khusus penyelesaian menggunakan mekanisme Pasal 110A, dari 162 unit kebun itu, 78 unit sudah mendapatkan SK Penetapan Batas Pelepasan Kawasan Hutan atau Penetapan Areal Kerja, 29 unit sudah mendapatkan SK Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, dan sisanya 55 unit dalam proses oleh Tim Terpadu.
Sedangkan inventarisasi yang dilakukan terhadap kebun masyarakat hanya 297 unit dengan luas 106.196,90 hektar, dan 119 unit kebun milik koperasi seluas 99.654,47 hektar. Tidak ada kemajuan dari proses pemutihan sawit rakyat, sebab pemerintah lebih mengutamakan memproses kebun milik korporasi.
Terdapat setidaknya sepuluh besar grup yang menanam sawit dalam kawasan hutan, yang ikut dalam proses ini, mereka antara lain Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.
“Penanaman sawit dalam Kawasan hutan ini, bukan hanya menyebabkan deforestasi, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya fungsi hidrologis yang kemudian menyebabkan banjir dan longsor, pelepasan emisi, kerugian negara dan perekonomian negara, konflik dan tidak jarang diikuti dengan intimidasi kepada masyarakat, kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (07/10/2024).
Ia menambahkan meskipun penggeledahan kantor KLHK sebagai terkait dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola perkebunan sawit tahun 2016-2024, termasuk terlambat namun tindakan Kejaksaan ini perlu diapresiasi dan didukung.
“Selanjutnya, menjadi penting bagi Kejaksaan juga memeriksa korporasi-korporasi yang terlibat dalam proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan,”tegasnya. (Marwan Aziz)