JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM –Koalisi ‘Sulawesi Tanpa Polusi’, yang terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil di Pulau Sulawesi dan Jakarta, kemarin menyerahkan surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4b dalam Perpres 112 Tahun 2022 ke Menteri ESDM dan Menteri Sekretaris Negara RI, ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Sekretariat Negara.
Surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4 dalam Perpres 112 tahun 2022 bertujuan agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian ESDM merevisi atau menghapus pasal mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri pengolahan mineral dalam perpres tentang percepatan pembangunan energi baru terbarukan.
Setelah menyerahkan surat permohonan tersebut, Dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, Muhammad Al Amin, menyampaikan keterangan pers dan menjelaskan bahwa langkah pemerintah saat ini masih sangat jauh untuk mencapai target penurunan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius.
Menurutnya, peraturan presiden ini masih memberi ruang yang sangat lebar bagi swasta membangun PLTU baru untuk kepentingan industri. Situasi ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius dan tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia.
“Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022 memberikan celah yang signifikan dan membuka ruang yang sangat lebar untuk pembangunan PLTU kawasan baru. Proporsi PLTU kawasan dari seluruh kapasitas PLTU batubara di Indonesia telah mencapai hampir 30%,” ungkap Amin (1/10/2024).
Kemudian menurutnya, pembangunan PLTU kawasan yang masif dalam hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik adalah salah satu faktor penghalang terwujudnya transisi menuju energi terbarukan. Selain itu, pengoperasian pabrik smelter dan PLTU kawasan di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara telah meningkatkan pencemaran yang menyebabkan dampak kesehatan yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, dan anak-anak.
“Tanpa intervensi serius, emisi CO2 dari PLTU kawasan diperkirakan akan mencapai 80 Mt per tahun dan terakumulasi hingga 2 Gt antara tahun 2025 hingga 2050. Situasi ini sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar dan memperburuk krisis iklim,” jelas Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan.
Sulawesi Tanpa Polusi telah mengkaji perpres 112 tahun 2022. Amin menekankan bahwa Perpres 112/2022 menunjukan bahwa Presiden Jokowi tidak serius untuk menghentikan pembangunan PLTU sebagai sumber energi di Indonesia, sebagaimana pidato-pidatonya di forum-forum internasional. Poin pengecualian pada Pasal 3 ayat 4 huruf b menunjukkan keberpihakan Jokowi terhadap PLTU yang semakin memperburuk lingkungan di Indonesia.
Dampak lingkungan dari aktivitas PLTU juga sangat besar dan signifikan. Sunardi dari WALHI Sulawesi Tengah menerangkan bahwa PLTU captive di Sulawesi Tengah, di kawasan industri milik PT IMIP dan PT GNI telah menyebabkan perubahan bentang alam dan hilangnya biodiversitas endemik Sulawesi. Bahkan dampaknya sampai mengancam sumber pangan lokal di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.
“Limbah air panas dari PLTU dan aktivitas kapal kapal pengangkut batubara telah menghancurkan ekosistem laut dan berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Selain itu, menurunkan kualitas kesehatan masyarakat sekitar, khususnya nelayan dan perempuan pesisir.” jelas Sunardi
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112 Tahun 2022 adalah langkah mundur dalam komitmen transisi energi bersih Indonesia. Alih-alih mempercepat peralihan dari energi fosil, justru membuka ruang lebih besar untuk investasi pada energi kotor yang merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.
“Greenpeace mendesak Kementerian ESDM untuk konsisten dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan mengutamakan kepentingan lingkungan serta kesehatan publik, bukan kepentingan industri energi fosil.” tegasnya.
Hal yang sama ditegaskan oleh Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien. Ia menambahkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) 112, yang seharusnya menjadi langkah maju dalam mempercepat transisi energi dan mendorong penghentian PLTU batubara secara dini, justru menyisakan celah yang mengkhawatirkan. Pasal 3 Ayat 4b dalam Perpres ini membuka peluang untuk pembangunan PLTU captive baru, yang banyak tersebar di Sulawesi dan Maluku—wilayah yang bukan penghasil batubara. Ini tidak hanya memperpanjang ketergantungan kita pada energi fosil, tetapi juga meningkatkan emisi polusi melalui proses transportasi batubara ke daerah-daerah tersebut.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera merevisi pasal tersebut dan lebih serius mendukung penggunaan energi terbarukan yang sudah tersedia di wilayah tersebut. Pengembangan energi terbarukan di daerah ini tidak hanya akan mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendorong kemandirian energi lokal yang berkelanjutan”, pungkas Andi.
Kemudian, Direktur Celios, Bhima Yudhistira menjelaskan, upaya pemerintah dalam memberikan izin konstruksi PLTU baru di kawasan industri dalam Perpres 112/2022 bertentangan dengan mengejar industrialisasi yang lebih berkualitas.
“Jika presiden tidak segera mencabut Pasal 3 ayat 4 huruf b pada Perpres 112/2022 maka dikhawatirkan produk industri yang dihasilkan dari kawasan hilirisasi akan bernilai rendah dan sulit masuk dalam rantai pasok di negara maju. Masyarakat yang menanggung dampak dari pencemaran udara PLTU juga akan mengalami penurunan produktivitas kerja, serta mengancam perekonomian lokal jangka panjang”, terang Bhima.
Melalui penyerahan surat permohonan ini Amin berharap Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, bersedia menghapus ketentuan mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri yang tertulis di Pasal 3 ayat 4 huruf b, Perpres 112 tahun 2022.
Saat ini, dominasi PLTU kawasan untuk pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah mencapai 77% dari total kapasitas PLTU kawasan di Indonesia, yaitu 88 unit PLTU kawasan yang memiliki total kapasitas 17,6 GW (Marwan Aziz)