Taman Nasional Mutis Timau.
KUPANG, BERITALINGKUNGAN.COM– Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa perubahan fungsi Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional bukan merupakan penurunan status kawasan hutan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, U. Mamat Rahmat, menjelaskan bahwa langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya pelestarian yang lebih komprehensif dengan mengelola kawasan tersebut sebagai satu kesatuan bentang alam melalui sistem zonasi.
“Taman Nasional Mutis Timau, yang terdiri dari bekas wilayah Cagar Alam dan Hutan Lindung, harus dikelola sebagai kesatuan bentang alam. Zonasi ini bertujuan untuk melindungi kondisi habitat, biofisik, dan lanskap, sekaligus memberikan ruang yang lebih luas untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan yang berkelanjutan,” kata Mamat dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (1/10/2024).
Pembentukan Taman Nasional Ke-56 di Indonesia
Pada 8 September 2024, Taman Nasional Mutis Timau resmi dideklarasikan sebagai taman nasional ke-56 di Indonesia. Pembentukan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 946 Tahun 2024.
Taman Nasional tersebut mencakup kawasan seluas 78.789 hektar, terdiri dari eks Hutan Lindung seluas 66.473,83 hektar (84,37%) dan eks Cagar Alam seluas 12.315,61 hektar (15,63%).
Klarifikasi Terhadap Kekhawatiran Publik
Pasca deklarasi, muncul berbagai kekhawatiran dari masyarakat, termasuk komunitas budaya, yang menilai perubahan ini sebagai penurunan status. Selain itu, ada juga kekhawatiran akan eksploitasi sumber daya alam dan pembangunan sarana wisata yang dapat merusak kawasan tersebut.
Menanggapi hal ini, Mamat Rahmat menegaskan bahwa KLHK tidak mengenal istilah “penurunan status” dalam perubahan fungsi kawasan hutan. “Justru perubahan ini dilakukan untuk mengakomodasi kegiatan eksisting masyarakat, seperti pengambilan madu, kayu bakar, dan pelaksanaan ritual adat yang sebelumnya tidak dimungkinkan dalam status Cagar Alam,” jelasnya.
Menurut Mamat, KLHK berkomitmen untuk melibatkan masyarakat lokal melalui proses konsultasi publik, terutama dalam pengaturan zonasi pengelolaan kawasan. Zonasi ini nantinya akan membedakan antara zona perlindungan ketat, zona rimba, serta zona tradisional yang memungkinkan kegiatan masyarakat secara legal.
Prosedur Perubahan Fungsi Sesuai Peraturan
Proses perubahan fungsi ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan. Mamat menjelaskan bahwa kajian lapangan dan penelitian oleh tim terpadu telah dilaksanakan sebelum perubahan fungsi diputuskan.
“Tim terpadu yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari berbagai pihak, termasuk peneliti dari BRIN, perguruan tinggi, serta instansi pemerintah terkait. Mereka bekerja berdasarkan metode ilmiah sehingga hasil kajiannya dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Mamat.
Dukungan Tokoh Adat dan Perlindungan Lingkungan
Di sisi lain, beberapa tokoh adat seperti Pemangku Adat Amfoang, Robby Manoh, dan Pemangku Adat Molo, Fillus Oematan, menyatakan dukungannya terhadap perubahan fungsi ini. Mereka melihat adanya keselarasan antara pengelolaan taman nasional dengan aturan adat yang melarang eksploitasi berlebihan terhadap hasil alam.
Meskipun demikian, Pemangku Adat Miomafo, Willem Kono, memberikan catatan agar pengelolaan taman nasional dapat menghindari keterlibatan investor asing.
Zonasi dan Pengaturan Wisata
KLHK juga menegaskan bahwa kekhawatiran publik terkait pembangunan sarana wisata yang masif tidak berdasar. Dalam pengelolaan taman nasional, ada pembagian ruang yang ketat berdasarkan zonasi. Aktivitas wisata hanya diperbolehkan di zona pemanfaatan, sementara zona inti tetap dilindungi untuk menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem.
“Tidak ada rencana pembangunan wisata masif di Taman Nasional Mutis Timau. Pengelolaan akan tetap sesuai dengan zonasi yang telah ditetapkan, sehingga menjaga keseimbangan antara pelestarian alam dan kepentingan masyarakat,” tandasnya (Marwan Aziz)